Student Hidjo, Cinta dan Identitas di Era Kolonial

Minggu, 25 Mei 2025 11:10 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Hidjo
Iklan

Kisah pemuda pribumi yang mengejar cinta dan jati diri di tengah pengaruh budaya Barat dan tekanan kolonial.

Student Hidjo merupakan roman yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo, salah seorang pengarang Indonesia yang karya-karyanya digolongkan sebagai bacaan yang terbit di luar Balai Pustaka atau sering juga disebut sebagai bacaan pembohong oleh pihak Balai Pustaka.

Munculnya roman-roman ini dan juga roman-roman Melayu Tionghoa yang mendorong pemerintah kolonial Belanda membangun Balai Pustaka. Roman ini pertama kali disebar luaskan dalam bentuk cerita yang bersambung dalam surat kabar Sinar Hinia pada tahun 1918 dan terbit dalam bentuk buku tahun 1919 di Semarang oleh penerbit NV Boekhandel en Drukkerij Masman & Stroink. Roman ini kemudian mengalami cetak ulang dan kini dapat dibaca ulang oleh masyarakat di masa sekarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada tahun 2000, roman atau novel ini diterbitkan oleh Bentang Budaya, Yogyakarta, dengan ketebalan buku 182 halaman. Pada tahun 2010, roman ini diterbitkan oleh Penerbit Narasi, Yogyakarta.

Karya Mas Marco ini mengisahkan perjalanan hidup seorang pemuda bernama Raden Hidjo dan pertunangannya, Raden Ajeng Biroe. Raden Hidjo adalah seorang pemuda bumiputera lulusan Hogere Burger School (HBS). Demi masa depan, pemuda ini melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan meninggalkan ikatannya.

Novel ini selanjutnya mengisahkan bagaimana dua orang pemuda ini mempertahankan cintanya. Raden Hidjo digoda gadis Belanda, Raden Ajeng Biroe juga digoda oleh seorang Controleur Belanda. Namun, riman ini tidak semata-mata hanya menampilkan kisah cinta saja, gambaran sosial masyarakat golongan atas—priyayi—dalam masarakat jawa—Solo Khususnya—yang sedang mencari identitasnya sebagai warga dunia dengan meniru-niru budaya modern terlihat dengan jelas.

Di dalam roman ini pasangan muda-mudi ini digambarkan hidup dengan meniru budaya Barat. Mereka berbicara dengan menggunakan bahasa Belanda dan berperilaku seperti orang-orang Belanda. Di dalamnya pula muncul persoalan-persoalan hubungan antara bumiputera dan Belanda yang dijadikan bahan pembicaraan tokoh-tokohnya. Harsja W. Bachtiar (1977) dalam tulisannya yang berjudul "Kesusastraan Indonesia dalam Masyarakat Indonesia" menggolongkan roman ini sebagai karya kesusasteraan Melayu baru.

Sementara itu, W. Sikorsky (1970) dalam disertasinya menggolongkan roman ini sebagai karya yang memakai bahasa Melayu rendah. Menurut Sikorsky roman-roman berbahasa Melayu Rendah ini mencerminkan protes terhadap pemikiran kolonial dahn diskriminasi rasial. Di sisi lain, dikisahkan kebangkitan nasional dan perjuangan sosial di kalangan masyarakat Indonesia. Khusus Studen Hidjo dikatakannya memiliki tendensi nasional yang tinggi. Hal itu terbukti dari akhir kisah ini yang menyatukan kembali Raden Hidjo dengan Raden Ajeng Biroe.

Tokoh lain yang juga membicarakan roman ini adalah A. Teeuw (1980) dalam bukunya Sastra Modern Indonesia Jilid 1. Sementara itu,Rachmat Djoko Pradopo (1986) dalam sebuah tulisannya berjudul Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah sastra Indonesia mengatakan bahwa Student Hidjo dapat digolongkan sebagai sedikit dari karya sastra Indonesia yang bersifat nasional dengan menggunakan bahasa Indonesia, meskipun bahasa Indonesia baru dicanangkan pada tahun 1928, lewat Sumpah Pemuda.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Royan Raiskhana

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua