Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas Singaperbangsa Karawang
Algoritma Galau Meracuni Pikiran, Generasi Muda Kita Jadi Denial
Senin, 9 Juni 2025 12:14 WIB
Sosial media dan konten galau merusak mental anak muda. Data menunjukkan 15,5 juta remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental.
Oleh: [email protected]
Indonesia sedang menghadapi krisis kesehatan mental yang serius di kalangan generasi muda. Indonesia-National Andolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) mencatat sebanyak 15,5 juta remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Di era digital yang serba cepat ini, jumlah identitas pengguna media sosial di Indonesia mencapai sekitar 143 juta, yang setara dengan 50,2% dari total populasi pada Januari 2025.
Yang mengkhawatirkan, algoritma random di balik platform media sosial seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts telah menciptakan sebuah fenomena berbahaya: munculnya generasi yang kecanduan konten galau dan denial terhadap realitas diri mereka sendiri.
Fakta di Balik Layar
Berdasarkan data terbaru dari berbagai penelitian, sebanyak 6,1% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental. Studi oleh Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Universitas Indonesia pada tahun 2021 menemukan bahwa 95.4% remaja usia 16-24 tahun pernah mengalami gejala kecemasan, dan 88% dari mereka pernah mengalami gejala depresi. Angka ini menunjukkan betapa luasnya dampak masalah kesehatan mental pada generasi muda Indonesia.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penelitian terbaru oleh Mardiana dan Maryana pada tahun 2024 mengungkapkan bahwa sekitar 60-70% remaja yang sering menggunakan TikTok tercatat mengalami stres dan gangguan kecemasan. Penelitian Chen et al. tahun 2024 juga menemukan bahwa remaja yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari berisiko tinggi terhadap masalah kesehatan mental, terutama masalah internalisasi atau citra diri negatif.
Fenomena Konten Galau di Media Sosial
Konten galau ini merujuk pada berbagai jenis konten yang menampilkan emosi negatif, kesedihan, kekecewaan, atau drama personal. Konten ini hadir dalam berbagai bentuk seperti video dengan musik sedih dan caption menyayat hati, quote-quote tentang patah hati dan kekecewaan hidup, cerita drama relationship yang berlebihan, konten "aesthetic sad girl/boy" yang meromantisasi kesedihan, hingga meme tentang mental health yang justru memperdalam stigma.
Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan engagement dan waktu yang dihabiskan pengguna di platform. Konten galau memiliki karakteristik yang sangat "algoritma-friendly" karena emotional hook yang kuat dimana konten yang memicu emosi mendapat respons lebih tinggi dari pengguna, baik dalam bentuk like, comment, maupun share. Selain itu, ada faktor relatability dimana banyak remaja yang merasa "seen" atau dipahami ketika melihat konten yang mencerminkan perasaan mereka, serta validation seeking dimana konten galau memberikan ruang bagi pengguna untuk mencari validasi atas perasaan negatif mereka.
Dampak Psikologis Konsumsi Berlebihan Konten Galau
Paparan konstan terhadap konten galau membuat generasi muda menganggap kesedihan dan drama sebagai hal yang normal, bahkan menarik. Media sosial sering kali menyajikan gambaran hidup yang sempurna dan ideal, yang dapat memengaruhi cara pandang remaja terhadap diri mereka sendiri. Hal ini menciptakan normalisasi negativitas dimana mereka mulai mengidentifikasi diri dengan karakter sad aesthetic dan merasa aneh jika tidak mengalami drama dalam hidup.
Generasi muda kemudian mulai mengadopsi persona "galau" sebagai bagian dari identitas mereka, menciptakan pembentukan identitas palsu. Mereka merasa perlu untuk selalu tampak sedih atau bermasalah agar mendapat perhatian dan validasi dari lingkungan sosial online. Konsumsi berlebihan konten galau juga menciptakan filter negatif dalam memandang kehidupan, dimana hal-hal positif dalam hidup mereka menjadi terabaikan, sementara masalah kecil diperbesar secara dramatis.
Lingkaran Setan Digital
Denial dalam konteks ini bukan hanya penolakan terhadap realitas, tetapi juga penolakan terhadap potensi positif dalam diri. Generasi muda yang kecanduan konten galau cenderung menolak mengakui kemampuan dan prestasi mereka sendiri, selalu mencari alasan untuk merasa tidak bahagia, menganggap optimisme sebagai sesuatu yang "fake" atau tidak autentik, dan merasa tidak layak mendapat kebahagiaan.
Self-Esteem atau harga diri generasi muda mengalami penurunan drastis akibat Comparison Culture dimana mereka membandingkan Behind the scenes kehidupan mereka dengan highlight reels orang lain di media sosial. Harga diri menjadi bergantung pada jumlah like, comment, dan engagement di media sosial, menciptakan validation dependency yang tidak sehat. Mereka juga mengalami impostor syndrome digital dimana merasa tidak autentik jika tidak mengalami drama atau kesedihan seperti yang ditampilkan di konten viral.
TikTok sebagai Platform Paling Berbahaya
TikTok memiliki dampak yang paling signifikan terhadap kesehatan mental remaja dibandingkan platform lainnya. Berdasarkan penelitian Mardiana dan Maryana pada tahun 2024, terdapat hubungan yang kuat antara lama penggunaan TikTok dengan kesehatan mental, yakni stres dan gangguan kecemasan.
TikTok menggunakan algoritma yang sangat agresif dalam menyajikan konten berdasarkan interaksi pengguna. Jika seorang remaja menunjukkan ketertarikan pada konten galau, algoritma akan terus menyajikan konten serupa, menciptakan echo chamber negatif yang sulit dihindari. Hal ini menyebabkan pengguna terjebak dalam spiral konten negatif yang semakin memperdalam masalah kesehatan mental mereka.
Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat mengarah pada perilaku adiktif dengan gejala serupa kecanduan substansi. Remaja mungkin mengalami keinginan kuat yang tidak terkendali untuk mengecek notifikasi dan scroll feed, serta gangguan pola tidur akibat penggunaan gadget sebelum tidur. Mereka juga mengalami withdrawal symptoms ketika tidak bisa mengakses media sosial dalam waktu lama.
Studi Kasus: Profil Generasi Galau Digital
Berdasarkan observasi terhadap perilaku digital generasi muda di Indonesia, dapat diidentifikasi pola konsumsi konten yang mengkhawatirkan. Mereka menghabiskan 3-5 jam setiap hari untuk scrolling konten galau, menyimpan dan membagikan quote-quote sedih, mengikuti akun-akun yang konsisten posting konten dramatis, dan mendengarkan playlist musik sedih secara berulang-ulang.
Perilaku mereka di media sosial juga menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan seperti caption Instagram yang selalu bernuansa melankolis, story Instagram dengan musik sedih dan teks galau, posting di Twitter tentang kehampaan hidup, dan sharing meme depression sebagai coping mechanism yang tidak sehat.
Dampaknya pada kehidupan nyata sangat signifikan dimana mereka sulit menikmati momen bahagia tanpa merasa guilty, cenderung mencari drama dalam relationship, menghindar dari aktivitas yang bisa membuat bahagia, dan merasa tidak normal jika tidak sedang galau. Hal ini menciptakan siklus negatif yang sulit untuk diputus.
Faktor-Faktor Penyebab
Generasi Z merupakan tumpuan masa depan dan digadang-gadang bakal memimpin Indonesia Emas 1945. Namun, banyak anak kelahiran tahun 2000-2010 ini mengalami masalah kesehatan mental. Fase pencarian identitas membuat mereka mudah mengadopsi persona "galau" yang tersedia di media sosial sebagai identitas "ready-made" yang mudah diadopsi tanpa perlu usaha keras untuk memahami diri sendiri yang sebenarnya.
Media sosial dipenuhi dengan influencer yang menjual drama dan kesedihan sebagai konten. Sangat sedikit role model yang menunjukkan bagaimana menghadapi hidup dengan resiliensi dan optimisme yang sehat. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam role model positif yang bisa dicontoh oleh generasi muda.
Fear Of Missing Out (FOMO) tidak hanya berlaku untuk hal-hal menyenangkan, tetapi juga untuk drama dan kesedihan. Generasi muda takut dianggap "boring" jika hidup mereka terlalu damai. Tekanan sosial ini membuat mereka merasa perlu untuk selalu memiliki masalah atau drama untuk diceritakan.
Banyak generasi muda yang tidak memahami bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana konten yang mereka konsumsi mempengaruhi kesehatan mental mereka. Kurangnya literasi digital dan mental health awareness membuat mereka tidak sadar bahwa mereka sedang terjebak dalam spiral negatif yang diciptakan oleh algoritma media sosial.
Dampak Jangka Panjang pada Masyarakat
Masalah kesehatan mental pada generasi Z bisa berdampak sosial dan ekonomi berkepanjangan serta merugikan masa depan Indonesia. Ketika generasi penerus bangsa mengalami masalah mental yang serius, produktivitas dan inovasi bangsa akan terhambat. Mereka yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan justru terhambat oleh masalah kesehatan mental yang bisa dicegah.
Meningkatnya jumlah remaja dengan masalah kesehatan mental akan membebani sistem kesehatan nasional yang sudah terbatas. Diperlukan investasi besar-besaran dalam infrastruktur kesehatan mental untuk mengatasi krisis ini, yang sebenarnya bisa dicegah dengan edukasi dan awareness yang tepat sejak dini.
Respons Pemerintah dan Stakeholder
KemenPPPA dan UNICEF telah melakukan kolaborasi untuk sinergikan dukungan kesehatan mental dan psikososial, dengan membahas kebijakan dan reviu kegiatan dukungan kesehatan mental serta isu kesehatan mental pada RPJMN Tahun 2025-2029. Namun, upaya ini masih perlu diperkuat dengan program-program yang lebih konkret dan terukur.
WHO telah merilis prinsip konten kesehatan mental pemuda yang menekankan aksesibilitas konten bagi kelompok tertentu, termasuk generasi muda penyandang disabilitas, serta penyelarasan dengan hak asasi manusia. Panduan ini memberikan framework yang bisa diadopsi oleh platform media sosial dan pembuat konten.
Solusi dan Langkah Preventif
Melakukan digital deyox bukan berarti berhenti total menggunakan media sosial, tetapi menentukan waktu khusus tanpa gadget seperti satu jam sebelum tidur, satu hari dalam seminggu tanpa media sosial, dan mengurangi waktu scrolling secara bertahap dari 3+ jam menjadi maksimal 1 jam per hari. Hal ini membantu memutus siklus kecanduan dan memberikan ruang untuk aktivitas lain yang lebih produktif.
Kurasi konten yang sehat sangat penting dilakukan dengan cara unfollow akun yang konsisten posting konten negatif, follow akun yang memberikan konten edukatif dan inspiratif, menggunakan fitur Not Interested" untuk melatih algoritma, dan diversifikasi jenis konten yang dikonsumsi seperti edukasi, hobi, dan olahraga.
Praktik Self-Awareness bisa dilakukan melalui journaling untuk memahami pola pikir dan emosi, refleksi harian tentang hal-hal positif yang terjadi, mindfulness practice untuk stay present, dan terapi atau konseling jika diperlukan. Membangun support system yang real juga penting dengan menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman dan keluarga secara offline, bergabung dengan komunitas yang memiliki interest positif, mencari mentor atau role model dalam kehidupan nyata, dan terlibat dalam aktivitas sosial yang bermanfaat.
Edukasi literasi digital perlu ditingkatkan dengan memahami cara kerja algoritma media sosial, belajar tentang dampak media sosial terhadap mental health, mengembangkan critical thinking terhadap konten yang dikonsumsi, dan sharing awareness kepada teman sebaya.
Peran Orang Tua dan Pendidik
Orang tua perlu memahami platform media sosial yang digunakan anak, menciptakan komunikasi terbuka tentang dampek media sosial, memberikan contoh penggunaan teknologi yang sehat, tidak judgmental terhadap perasaan anak, dan mengenali tanda-tanda early warning masalah kesehatan mental. Pendidik juga memiliki peran penting dalam mengintegrasikan literasi digital dalam kurikulum, mengadakan workshop tentang mental health dan media sosial, menciptakan safe space untuk diskusi terbuka, mengenali tanda-tanda digital mental health issues pada siswa, dan bekerja sama dengan psikolog sekolah untuk program preventif.
Rekomendasi Kebijakan
Pemerintah perlu mempertimbangkan regulasi yang lebih ketat terhadap algoritma media sosial, terutama untuk pengguna di bawah 18 tahun. Hal ini bisa meliputi pembatasan waktu penggunaan harian untuk remaja, algoritma yang lebih aman untuk konten kesehatan mental, dan mandatory warning untuk konten yang berpotensi memicu gangguan mental.
Diperlukan investasi signifikan dalam pelatihan tenaga kesehatan mental yang kompeten, program deteksi dini masalah kesehatan mental di sekolah, kampanye awareness yang masif tentang bahaya konten galau berlebihan, dan riset berkelanjutan tentang dampak media sosial pada kesehatan mental.
Kesimpulan
Fenomena generasi muda yang kecanduan konten galau dan mengalami denial terhadap diri sendiri merupakan masalah serius yang didukung oleh data penelitian terkini. Dengan 15,5 juta remaja Indonesia yang mengalami masalah kesehatan mental dan 60-70% remaja pengguna TikTok yang mengalami stres dan gangguan kecemasan, krisis ini tidak bisa diabaikan lagi.
Dampaknya tidak hanya terbatas pada penurunan self-esteem individu, tetapi juga dapat mempengaruhi masa depan bangsa secara keseluruhan. Masalah kesehatan mental pada generasi Z bisa berdampak sosial dan ekonomi berkepanjangan jika tidak ditangani dengan serius.
Solusi untuk masalah ini membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak: individu, keluarga, sekolah, pemerintah, dan platform media sosial itu sendiri. Yang terpenting adalah meningkatkan awareness tentang dampak konsumsi konten terhadap kesehatan mental dan memberikan alternatif yang lebih positif dan konstruktif.
Generasi muda perlu diingatkan bahwa kehidupan yang bahagia dan damai bukanlah sesuatu yang harus disembunyikan atau merasa bersalah karenanya. Setiap remaja adalah unik, dan pendekatan yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu mereka. Mereka berhak untuk merasakan kebahagiaan dan mengembangkan potensi terbaik dalam diri mereka tanpa terjebak dalam lingkaran setan konten galau digital.
Pada akhirnya, media sosial seharusnya menjadi alat untuk terhubung, belajar, dan berkembang - bukan menjadi sumber kesengsaraan yang meracuni pikiran generasi penerus bangsa. Dengan kesadaran, edukasi, dan tindakan yang tepat, kita dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat untuk generasi mendatang.
Referensi
1. Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), 2024
2. Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Universitas Indonesia, 2021
3. Penelitian Mardiana dan Maryana tentang TikTok dan Kesehatan Mental, 2024
4. Chen et al. Research on Social Media Usage and Mental Health, 2024
5. Kementerian Kesehatan RI - Sehat Negeriku, 2023-2024
6. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & UNICEF, 2024
7. World Health Organization (WHO) Mental Health Content Guidelines, 2024

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas Singaperbangsa Karawang
0 Pengikut

Algoritma Galau Meracuni Pikiran, Generasi Muda Kita Jadi Denial
Senin, 9 Juni 2025 12:14 WIBArtikel Terpopuler