Energi Nasional dalam Jerat Geopolitik
Senin, 9 Juni 2025 12:21 WIB
Impor energi dari AS cerminan krisis kedaulatan energi. Indonesia butuh transisi berkeadilan, bukan ketergantungan jangka pendek
***
Keputusan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menambah volume impor minyak dan elpiji dari Amerika Serikat yang nilainya diperkirakan mencapai Rp167 triliun tidak bisa hanya dilihat sebagai langkah dagang semata.
Kebijakan ini justru berpeluang membuka ruang debat publik yang sangat relevan tentang arah kemandirian energi nasional, integritas strategi kebijakan luar negeri Indonesia dalam sektor energi, serta kegamangan negara dalam menjalankan prinsip-prinsip kedaulatan sumber daya alam sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Indonesia, sebagaimana diketahui, masih mengimpor sekitar satu juta barel minyak per hari karena produksi dalam negerinya hanya berkisar 600 ribu barel per hari.
Defisit produksi ini sudah lama menjadi persoalan klasik yang menahun dan belum juga mendapat solusi struktural yang tuntas. Ironisnya, dalam situasi tersebut, pemerintah justru memperbesar ketergantungan terhadap satu negara, yakni Amerika Serikat, untuk menambal kebutuhan energi dalam negeri, tanpa mengiringinya dengan lompatan strategis dalam pembangunan industri hilir, penguatan kapasitas produksi nasional, atau transformasi energi menuju kemandirian berkelanjutan.
Tentu saja, dalam logika ekonomi jangka pendek, keputusan ini bisa dipahami. Amerika Serikat memberlakukan tarif tinggi terhadap berbagai produk ekspor Indonesia, dan impor minyak dari AS dapat menjadi semacam “kompensasi diplomatik” agar relasi dagang kedua negara menjadi lebih setara. Namun dalam kacamata strategis yang lebih luas, Indonesia justru sedang menempatkan dirinya dalam posisi rentan, subordinatif, dan tidak berdaulat secara energi.
Ketika pasokan energi sangat tergantung pada satu negara, terutama negara adidaya yang penuh kalkulasi geopolitik dan kepentingan jangka panjangnya sendiri, maka sesungguhnya kita sedang menyandarkan masa depan energi nasional pada ketidakpastian dan tekanan eksternal.
Lebih dari itu, ketergantungan ini juga mengandung paradoks. Indonesia adalah negara yang memiliki cadangan energi cukup besar, baik dalam bentuk migas konvensional, energi terbarukan, maupun potensi bioenergi yang luar biasa. Namun lemahnya kapasitas produksi, stagnasi pembangunan kilang, serta kurangnya insentif serius untuk eksplorasi dan pengolahan energi dalam negeri telah membuat negeri ini menjadi importir kronis selama dua dekade terakhir.
Dalam pidatonya baru-baru ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahkan menyebut bahwa kerugian negara akibat impor minyak dan LPG mencapai Rp500 triliun per tahun. Angka yang sangat besar ini seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak untuk memprioritaskan kemandirian energi sebagai tujuan strategis nasional, bukan malah melanggengkan praktik impor sebagai “jalan pintas” mengatasi defisit energi.
Peningkatan porsi impor LPG dari 54 persen menjadi 85 persen dan minyak mentah dari 4 persen menjadi 40 persen dari Amerika Serikat seperti yang dicanangkan pemerintah, justru semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai konsumen energi global yang tidak berdaya.
Ketika negara-negara lain berlomba-lomba membangun resilien energi nasional melalui diversifikasi sumber energi, investasi besar-besaran dalam energi baru dan terbarukan, serta penguatan riset dan teknologi dalam negeri, Indonesia malah terus memutar roda energi nasional di lintasan impor dan ketergantungan yang stagnan.
Evaluasi Tata Kelola Migas
Padahal, jika pemerintah sungguh-sungguh menaruh perhatian pada pembangunan kilang dalam negeri, memperbaiki iklim investasi migas, memberantas tata kelola migas yang koruptif dan renteistik, serta mempercepat transisi energi secara bertahap dan berkeadilan, maka ketergantungan terhadap impor bisa ditekan signifikan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Sayangnya, pendekatan struktural semacam ini seringkali dikalahkan oleh kebijakan pragmatis jangka pendek yang lebih mudah, cepat, dan tidak menimbulkan gejolak politik jangka pendek.
Kritik terhadap kebijakan ini bukan berarti menutup mata atas kebutuhan praktis dan urgensi pemenuhan energi nasional saat ini. Namun justru karena urgensinya tinggi, maka kebijakan energi harus dibangun secara kokoh dengan fondasi kedaulatan, bukan kepentingan sesaat. Dalam konteks ini, penting untuk diingat kembali mandat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Maka menjadi kewajiban negara untuk tidak menyerahkan kedaulatan energi ke tangan pasar global atau aktor asing, betapapun kuat daya tawarnya.
Satu hal lain yang tak kalah penting ialah bahwa ketergantungan impor energi juga sangat rentan terhadap gejolak harga dunia dan fluktuasi geopolitik internasional. Lihatlah bagaimana konflik Rusia-Ukraina, ketegangan di Timur Tengah, atau kebijakan suku bunga The Fed bisa langsung memengaruhi harga energi yang pada akhirnya membebani APBN Indonesia. Maka, strategi ketahanan energi harus berbasis pada kemampuan produksi dalam negeri, diversifikasi sumber energi, dan keberanian mengambil langkah-langkah transformasional meski tidak populis dalam jangka pendek.
Proyeksi EBT dari Desa
Namun di tengah ketergantungan struktural terhadap energi fosil impor, Indonesia sesungguhnya memiliki jalan lain yang lebih menjanjikan, lebih merdeka, dan lebih berkelanjutan: memperkuat energi baru dan terbarukan (EBT) berbasis masyarakat lokal dan kearifan lokal. Dalam konteks ini, transisi energi bukan sekadar pergantian sumber energi dari fosil ke non-fosil, tetapi juga harus menjadi proses demokratisasi energi di mana rakyat menjadi subjek utama, bukan objek pasif dari pembangunan energi nasional.
Kita harus mulai memandang desa-desa di Indonesia bukan sebagai titik konsumsi energi semata, tetapi sebagai pusat produksi energi terbarukan yang terhubung erat dengan kultur lokal, ekosistem sosial, dan nilai-nilai kebersamaan. Sebenarnya banyak contoh praktik baik seperti mikrohidro berbasis komunitas di pedalaman Sulawesi, pembangkit biomassa dari limbah pertanian di Jawa Tengah, atau panel surya komunal di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa dengan dukungan teknis, kelembagaan, dan pendanaan yang tepat, masyarakat mampu menjadi aktor utama dalam memastikan kemandirian energi mereka sendiri.
Strategi ini sebenarnya bukan gagasan baru, sesungguhnya mendekatkan sumber energi ke sumber daya manusia sebagaimana prinsip keadilan energi, tetapi juga memperkecil ketimpangan antarwilayah, mengurangi tekanan fiskal akibat impor energi, serta membuka lapangan kerja hijau yang kontekstual dengan kondisi lokal.
Lebih jauh, pemerintah perlu merumuskan kerangka besar transisi energi yang tidak semata berorientasi pada target angka gigawatt, melainkan menempatkan desa sebagai pusat transformasi dan inovasi. Ini dapat dilakukan melalui penguatan regulasi Peraturan Desa Energi Bersih, pendampingan kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam pengelolaan energi lokal, hingga insentif fiskal bagi pelaku usaha kecil menengah yang menggunakan atau memproduksi EBT.
Kearifan lokal masyarakat adat juga harus ditempatkan sebagai sumber inspirasi bukan hambatan dari sistem tata air berbasis subak di Bali, filosofi “tana ulen” di Kalimantan, hingga tradisi gotong royong dalam membangun infrastruktur desa di Sumatera dan Papua. Energi, dalam konteks ini, bukan hanya urusan listrik atau kilowatt-jam, tetapi bagian dari cara hidup yang harmonis dengan alam, terintegrasi dengan budaya, dan berakar kuat dalam semangat kedaulatan rakyat. Maka, transformasi energi nasional tidak akan pernah utuh tanpa meletakkan fondasinya di akar rumput.
Jika pemerintah berani atas rumusan kebijakan energi yang baru-baru ini mengalami revisi dan mengeksekusi strategi transisi energi berbasis masyarakat dan kearifan lokal ini secara sistematis, maka dalam satu dekade ke depan Indonesia bisa keluar dari lingkaran ketergantungan impor dan menciptakan sistem energi yang adil, mandiri, dan berkelanjutan. Dalam semangat ini, energi bukan lagi sekadar komoditas dagang yang diperjualbelikan antarnegara, tetapi menjadi penopang utama peradaban bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Sudah saatnya Indonesia menempatkan isu energi dalam kerangka politik kedaulatan, bukan semata-mata persoalan teknokratik. Energi adalah instrumen kekuasaan, alat tawar dalam diplomasi internasional, sekaligus fondasi bagi kemandirian ekonomi nasional.
Oleh karena itu, keberanian untuk mengurangi ketergantungan impor, mempercepat hilirisasi, membangun industri dalam negeri, dan mengembangkan energi terbarukan harus menjadi agenda besar negara. Ini adalah kerja lintas kementerian, lintas sektor, dan membutuhkan keberpihakan politik yang kuat dari Presiden hingga ke tingkat kepala daerah.
Dalam banyak hal, energi adalah urusan hidup-mati bangsa. Kebijakan impor minyak dari AS hari ini bisa jadi akan dibaca sejarah sebagai contoh keputusan negara yang lebih memilih kenyamanan jangka pendek ketimbang membangun fondasi jangka panjang. Maka, jika pemerintah tidak segera membalik haluan dan mengambil langkah korektif, kita bukan hanya akan kehilangan kedaulatan energi, tapi juga kehilangan peluang untuk meletakkan energi sebagai tulang punggung kemandirian bangsa.
Penulis :
Rifqi Nuril Huda
Email : [email protected]
Instagram : @rifqinurilhuda
Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS), Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Ketua Umum Akar Desa

Penulis Indonesia, Pegiat Desa, Pengamat Energi
0 Pengikut

Energi Nasional dalam Jerat Geopolitik
Senin, 9 Juni 2025 12:21 WIB
Memperbaiki Tata Kelola Mangrove yang Belum Membumi
Senin, 9 Juni 2025 12:20 WIBArtikel Terpopuler