Memperbaiki Tata Kelola Mangrove yang Belum Membumi
Senin, 9 Juni 2025 12:20 WIB
Mangrove, benteng sunyi pesisir, menyerap karbon, redam gelombang, dan rawat keanekaragaman hayati. Namun, sering diabaikan dalam kebijakan.
***
Ada yang tumbuh diam-diam di pesisir, menyimpan karbon dalam senyap, menahan gelombang tanpa banyak suara, dan menjadi rumah bagi jutaan makhluk tanpa pernah menuntut lebih. Itulah mangrove hutan pesisir yang kerap luput dari narasi besar pembangunan, namun justru menjadi benteng terakhir yang tak tergantikan dalam menghadapi krisis iklim dan bencana ekologis.
Sayangnya, dalam lanskap tata kelola lingkungan kita yang kerap berorientasi sektoral dan berwajah eksploitatif, mangrove terlalu lama berdiri dalam ambiguitas antara dilindungi atau dikorbankan, antara dibiarkan atau diperebutkan. Ironisnya, semua itu terjadi ketika dunia semakin menyadari pentingnya blue carbon dan urgensi menjaga kawasan pesisir.
Rehabilitasi yang Diupacarakan, Tapi Tak Ditanamkan
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mencanangkan program besar rehabilitasi mangrove sebagai bagian dari aksi iklim. Targetnya tidak tanggung-tanggung 600.000 hektare dalam lima tahun. Retorikanya adalah kolaboratif melibatkan kementerian, masyarakat, hingga dunia usaha.
Namun, laporan WALHI pada 2024 mengingatkan kita untuk tidak terlalu cepat percaya pada angka dan seremoni. Di banyak daerah, program rehabilitasi dilakukan secara top-down, minim partisipasi warga pesisir, dan sering kali menanam bibit yang tidak sesuai dengan karakter ekologis setempat. Rehabilitasi yang mestinya menjadi penyembuh luka ekosistem, justru berisiko menjadi luka baru bila tak berpijak pada kearifan lokal dan prinsip ekologi.
Apalagi jika proyek-proyek ini hanya menjadi instrumen pencitraan politik atau bagian dari “greenwashing” investasi tambak, pariwisata, atau energi. Banyak warga mengeluh karena program restorasi justru mengusir mereka dari lahan kelola tradisional padahal mereka yang selama ini menjaga.
Salah satu penyebab utama kerusakan mangrove adalah ekspansi tambak khususnya udang dan bandeng yang sejak dekade 1980-an menjadi andalan pembangunan pesisir. Alih-alih berbasis keberlanjutan, tambak-tambak tersebut sering muncul dengan cara menggunduli mangrove dan mengubah tata air pesisir secara drastis.
Kini, wajah lama itu bersembunyi di balik baju baru bernama “ekonomi biru”. Konsep ini menjanjikan sinergi antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Namun dalam praktiknya, ekonomi biru justru kerap melanggengkan investasi skala besar tanpa tata kelola yang adil. Mangrove yang rusak tidak direstorasi oleh pelaku bisnisnya, tetapi dibebankan ke negara melalui proyek rehabilitasi. Sementara itu, masyarakat lokal hanya menjadi penonton.
Kita harus jujur selama kepemilikan dan kendali ruang pesisir masih timpang, selama pelaku korporasi belum bertanggung jawab, maka ekonomi biru hanya akan mewarnai ulang status quo.
Yurisdiksi yang Terpecah dan Regulasi yang Hampa
Masalah besar lainnya dalam tata kelola mangrove adalah kaburnya yurisdiksi hukum. Di Indonesia, mangrove bisa berada dalam kawasan hutan (di bawah KLHK), atau kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (di bawah KKP), atau bahkan lahan milik (di bawah ATR/BPN). Akibatnya, terjadi tumpang tindih kewenangan, pengawasan lemah, dan nihil akuntabilitas.
Yang lebih parah, belum ada satu pun undang-undang khusus yang mengatur mangrove secara holistik. Rencana-rencana strategis nasional pun tidak memiliki kekuatan memaksa atau ruang partisipatif yang kuat. Bahkan data spasial mangrove yang seharusnya menjadi dasar pengambilan kebijakan seringkali tidak terbuka untuk publik. Transparansi masih menjadi barang mewah di sektor ini.
Padahal, konstitusi Pasal 33 Aayat 3 kita jelas sumber daya alam harus dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk korporasi atau elit tertentu. Keadilan ekologis hanya mungkin hadir jika hukum menjadi alat untuk melindungi yang lemah, bukan membentengi yang kuat.
Langkah pertama yang perlu ditempuh adalah memperkuat kerangka hukum mangrove dengan semangat keadilan sosial dan ekologis. Indonesia membutuhkan Undang-Undang Mangrove bukan sebagai instrumen birokrasi baru, tapi sebagai wujud pengakuan negara atas peran strategis mangrove dalam pembangunan berkelanjutan.
UU ini harus menjamin hak kelola masyarakat pesisir dan adat, mendorong perhutanan sosial pesisir, serta menetapkan tanggung jawab restorasi bagi pelaku usaha yang merusak. Pemerintah daerah juga perlu diberi peran nyata, tetapi dengan dukungan kapasitas dan sumber daya yang memadai.
Langkah kedua adalah reformulasi pendekatan rehabilitasi mangrove. Tidak bisa lagi kita mengandalkan model “tanam lalu tinggal”. Restorasi harus berbasis ilmu ekologi pesisir dan partisipasi aktif warga. Artinya, bukan sekadar proyek tanam, melainkan upaya jangka panjang untuk memulihkan tanah, air, dan relasi sosial-ekologis.
Langkah ketiga, dan ini sangat krusial, adalah keterbukaan informasi. Peta mangrove nasional, data perizinan tambak, hingga laporan pemantauan harus dapat diakses oleh publik. Keterbukaan ini menjadi dasar bagi pengawasan independen oleh masyarakat sipil dan media.
Belajar dari Negara Tetangga
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi tantangan dalam pengelolaan mangrove. Beberapa negara tetangga telah menunjukkan pendekatan yang patut dicermati.
Vietnam, misalnya, berhasil memperluas hutan mangrove baru seluas 18.000 hektare. Upaya ini tidak hanya mengurangi tinggi gelombang badai dari 4 menjadi 0,5 meter di sepanjang tanggul laut tertentu, tetapi juga menurunkan biaya pemeliharaan tanggul hingga US$7,3 juta per tahun .
Di Thailand, pemerintah menghentikan pemberian konsesi pesisir pada akhir 1990-an dan mendorong inisiatif konservasi berbasis masyarakat. Hasilnya, luas mangrove meningkat sekitar 50% sejak 1996, mencapai 248.400 hektare .
Sementara itu, Filipina menghadapi penurunan luas mangrove dari 450.000 hektare pada 1920 menjadi sekitar 311.400 hektare saat ini. Namun, negara ini mengakui pentingnya mangrove sebagai solusi berbasis alam untuk perubahan iklim dan telah mengembangkan berbagai mekanisme perlindungan dan rehabilitasi .
Menjaga yang Menjaga Kita
Ketika dunia memanas dan permukaan laut naik, mangrove menjadi pertahanan alami yang tak tergantikan. Ia menyerap karbon lebih banyak dari hutan daratan, melindungi pesisir dari abrasi dan tsunami, serta menjadi tempat bertelur bagi ikan dan udang. Namun peran strategis ini tidak berarti apa-apa jika kebijakan publik terus menempatkan mangrove hanya sebagai “lahan kosong” yang bisa diubah kapan saja.
Kita sering lupa bahwa menjaga mangrove berarti menjaga diri kita sendiri. Ketika mangrove roboh, yang terdampak pertama bukanlah gedung pencakar langit atau industri besar, melainkan kampung-kampung nelayan dan masyarakat adat pesisir.
Mangrove adalah pelajaran paling sederhana namun paling penting dari alam bahwa yang diam bukan berarti lemah, dan yang kecil bukan berarti tidak penting.
Maka, menata ulang tata kelola mangrove sejatinya adalah upaya menata ulang harapan kita sebagai bangsa bahwa pembangunan bisa adil, bahwa alam bisa pulih, dan bahwa masyarakat kecil bisa menjadi bagian utama, bukan korban, dari masa depan yang kita rancang bersama.
Penulis :
Rifqi Nuril Huda
Email : [email protected]
Instagram : @rifqinurilhuda
Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS), Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Ketua Umum Akar Desa Indonesia

Penulis Indonesia, Pegiat Desa, Pengamat Energi
0 Pengikut

Energi Nasional dalam Jerat Geopolitik
Senin, 9 Juni 2025 12:21 WIB
Memperbaiki Tata Kelola Mangrove yang Belum Membumi
Senin, 9 Juni 2025 12:20 WIBArtikel Terpopuler