Puisi, perjalanan, dan segala entah
Menjejak Puncak Lawu Setelah 35 Tahun
Minggu, 6 Oktober 2024 08:19 WIB
Perlu beberapa penyesuaian saat kembali mendaki Gunung Lawu di usia lebih dari setengah abad. Semua terbayar lunas saat menikmati keindahan sepanjang pendakian dan di kawasan puncak Hargo Dalem.
Oleh Tulus Wijanarko
Dengan sisa tenaga yang ada kuentakkan tubuh ke atas bertumpu pada kaki kiri, hups! Lalu sesaat terpampanglah di depanku sebuah konstruksi yang jadi impian setiap pendaki gunung untuk berfoto di sampingnya: sebuah tugu setinggi dua meter dan bertuliskan Puncak Lawu, Hargo Dumilah, 3265 mdpl.
Berdiri tegak di tengah area melingkar seluas kira-kira separo lapangan bulu tangkis, tugu tersebut jadi penanda puncak gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah ini. Dan, inilah juga yang jadi ujung penantianku selama sekitar 35 tahun terakhir, setelah menjejakkan kakiku di sini pada 1989 silam. Saat itu aku masih kuliah di Yogyakarta dan berusia 23 tahun.
Pelan kugumamkan kalimat hamdalah dan takbir karena ternyata masih diberi waktu dan tenaga untuk bisa datang ke sini lagi. Begitu pelan sehingga hanya telingaku sendiri yang mendengar doa syukurku itu. Kutengok penanda waktu pada telepon genggamku, tertera di sana 06 Agustus, pukul 07.10.
Angin tak bertiup begitu kencang, langit biru belaka, dan cahaya matahari demikian terang langsung menerpa semua yang ada di sini. Suhu mungkin sekitar 17 derajat, tapi tak terasa dingin meski saat itu aku hanya mengenakan kaos lengan pendek. Kuhirup udara yang bergitu bersih ini sepuas-puasnya.
Gunung Lawu
Mendaki Gunung Lawu yang ada di perbatasan Kabupaten Karanganyar (Jawa Tengah) dan Kabupaten Magetan (Jawa Timur) ini cukup sering kulakukan saat masih duduk di bangku SMA dulu. Setidaknya dalam sebulan sekali aku menyambangi puncak Hargo Dumilah (sebutan untuk puncak Lawu) ini. Kebiasaan yang masih kulanjutkan saat kuliah meski tak begitu kerap lagi.
Bersama teman-teman kuliah, pada 1989, aku mendaki Lawu dan seingatku itu kunjungan terakhirku ke Hargo Dumilah. Beberapa kali memang, setelah belasan tahun kemudian, aku hiking ke lereng Lawu, tapi memang tak diniatkan sampai ke atas. Saat itu aku meragukan kemampuan fisikku, apakah masih bisa diajak berjalan lebih tinggi dari sekadar Pos 2 atau 3 saja.
Tetapi, dalam dua tahun terakhir, puncak Hargo Dumilah seperti membayangiku. Ia menanacap dalam benak dan keinginan. Ada hasrat kian besar untuk kembali menjejak kawasan atap Kabupaten Karanganyar ini. Apalagi beberapa saudara kandungku juga sudah menyambangi lagi ke sana beberapa waktu terakhir. Jadi ketika mereka merencanakan akan mendaki Lawu awal bulan Agustus, aku memutuskan ikut serta.
Nafsu besar, tenaga tak boleh kurang. Aku sadar tak bisa mengandalkan kemampuan fisik yang selama ini hanya kuat untuk hiking ke bukit-bukit berketinggian sekitar 2000 mdpl saja. Sebuah ketinggian yang sebenarnya pun kutempuh dengan cukup berat. Jadi, aku memutuskan melakuan persiapan fisik selama sekitar dua bulan sebelum pendakian Lawu.
***
Ahad, 4 Agustus, sekitar pukul 09.00, kami sudah bersiap di gerbang pendakian Cemoro Kandang. Usai melapor dan mendaftar pada petugas di basecamp, kami meriung sejenak untuk berdoa sebelum memulai perjalanan. Ini bisa disebut pendakian keluarga, karena kami berlima terikat hubungan darah: ada kakak dan adik kandungku, adik ipar dan anak bungsuku. Ada dua porter, yakni mas Pendi dan mas Tri, yang menemani kami.
Cuaca sangat cerah saat itu dan suhu mungkin sudah di bawah 20 derajat Celsius. Cukup dingin, sih, tapi aku memutuskan tak mengenakan jaket dan cukup dengan kaos lengan pendek. Saat mendaki nanti kalori dalam tubuh pasti terbakar dan itu membuat badan akan berkeringat. “Dua hari lalu turun hujan pak, jadi nanti jalurnya enak, tidak berdebu,” kata mas Pendi.
Jalur Cemoro Kandang (di Kabupaten Karanganyar) adalah satu diantara beberapa lintasan menuju puncak Hargo Dumilah. Jalur lainnya yang biasa ditempuh pendaki adalah Candi Cetho (Karanganyar), Singolangu (Ngawi), Cemoro Sewu dan Jagaraga (Kabupaten Magetan).
Jalur Cemoro Kandang dikenal cukup landai dibanding –katakanlah-- Cemoro Sewu yang curam. Tapi konsekwensinya jarak yang ditempuh akan lebih panjang. Kami nanti akan menempuh 9 kilometer perjalanan. Sedang kalau lewat Cemoro Sewu mungkin hanya sekitar 6 kilometer.
Jalur ini memiliki lima pos perhentian, berturut-turut adalah: Tamansari Bawah (Pos 1), Tamansari Atas (Pos 2), Penggik (Pos 3), Cokrosuryo (Pos 4), Hargo Dalem (Pos 5). Pos Hargo Dalem ini sebenarnya tentatif, karena diantara Pos 4 dan 5 ada percabangan, salah satu arahnya menuju puncak. Para pendaki tek-tok (tidak menginap) biasanya langsung mengambil jalur ini.
Tapi kami memutuskan akan nge-camp alias menginap saja. “Rencananya kita nanti mendirikan tenda di Hargo Dalem, dan baru menuju puncak esok pagi,” kata Mas Putut, kakakku.
Sekitar pukul 09.00 kami mulai pendakian. Untuk menuju Pos 1 di ketinggian 2205 mdpl itu kurang lebih membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam. Cuaca cerah tak terlihat tanda-tanda akan hujan. Aku berjalan dengan kecepatan sedang, begitu juga yang lain. Sebaiknya di awal perjalanan memang tak usah langsung tancap gas agar badan tak kaget. Kami juga perlu aklimatisasi dulu dengan lingkungan.
Etape pertama ini seperti ditujukan untuk pemanasan. Diawali dengan kontur medan yang landai lalu sudut elevasi pelahan menaik. Ini membuat atot kaki tak terkejut dan pelahan menysuaikan dengan medan. Sepanjang kiri dan kanan jalur tumbuh pohon-pohon besar yang rimbun daunnya melindungi pendaki dari terpaaan langsung cahaya matahari.
Bunga Edelweis di Gunung Lawu
Dan benar kata mas Pendi, trek tanah tak mengepulkan debu saat terinjak kaki-kaki. Aku berusaha menikmati yang ada: desau angin, suara serangga, aroma hutan dataran tinggi, dan kadang mendongak ke atas menikmati nuansa biru bersih milik keluasan langit. Warna yang jarang sekali kita temukan di perkotaan.
Lalu mulailah muncul tanjakan-tanjakan cukup panjang namun tidak curam. Kecepatan berjalanku masih konstan, tapi yang lain mulai meningkat. Jika menuruti hasrat, mungkin aku juga ingin lebih cepat. Tapi aku tau kondisi kakiku, terutama lutut kanan yang dalam keseharian pun kadang terasa nyeri. Aku tak ingin nyeri itu muncul saat ini karena pendakian masih panjang. Aku tak gendak memberikan tekanan berlebih dengan berjalan cepat.
Nantinya, strategiku ini terbukti berhasil. Dengkulku aman sampai puncak, dan juga di sebagian besar perjalanan turun esoknya. Dia baru terasa nyeri di etape terakhir saat turun, yakni antara pos 1 hingga basecamp di bawah.
Meski di posisi belakang aku tak sendirian, karena selalu ada yang (sabar) menemani. Sabar? Ya, sifat itulah yang mutlak dipunyai para pendaki gunung. Kerap muncul cerita bukan bahwa ada pendaki yang ditinggal rombongannya karena berjalan paling lambat dan lalu terjadi peristiwa naas?
Satu jam kemudian kami mendarat di Pos 1 Taman Sari Bawah. Di area ini terdapat bangunan dari kayu dan atap seng seluas kira-kira 12 meter persegi. Ada warung di bagian depan yang menjual makan-minum seperlunya. Kulihat beberapa pendaki duduk-duduk di sana mengudap gorengan atau sekedar minum teh hangat.
Aku senang karena sejauh ini masih terasa fit. Dalam beberapa kesempatan hiking dulu, untuk sampai di pos 1 ini nafas sudah ngos-ngosan. Dengkul kanan tak jarang juga mulai nyeri. Aku yakin, ini berkat latihan squat yang diselang-seling jogging selama dua bulan masa persiapanku. Alhamdulillah.
Hanya kurang dari setengah jam istirahat dan kami segera melanjutkan perjalanan. Trek berikutnya ini akan lebih banyak tanjakan. Lalu, hutan mulai lebat meskipun jenis vegetasinya berbeda dengan etape sebelumnya. Di beberapa bagian kami juga harus melintasi “lorong” yang merupakan jalur air jika hujan deras tiba.
Banyak trek berupa cekungan dengan pijakan yang tak rata. Baik saat naik dan turun nanti, perlu kecermatan memilih tumpuan kaki agar tak terpeleset. Saat seperti inilah, antara lain, terasakan faedah mengenakan sepatu gunung yang memadai. Daya cengkeram (traksi) sepatu itu pada tanah mampu mengurangi resiko kaki selip. Juga jangan lupakan kontribusi trackpole (tongkat gunung) yang membantu memberikan tumpuan saat melangkah,
Aku berjalan dengan kecepatan yang sama seperti etape sebelumnya. Matahari sudah sepenggalah dan kulihat anggota rombongan lain mulai melepaskan jaket masing-masing.
Kecepatan langkahku mulai sedikit berkurang dalam perjalanan antara Pos 3 (Penggik) ke Pos 4 (Cokrosuryo). Boleh disebut di ruas trek inilah pendakian gunung yang sesungguhnya terasakan. Ini adalah etape terpanjang dalam jalur Cemoro Kandang dengan elevasi semakin curam. “Kita akan menjalani rute yang terpanjang,” kata mas Pendi sesaat sebelum kami beranjak dari Pos 3 tadi.
Dan seperti rute antara Pos 2 ke Pos 3 tadi, ada banyak jalan pintas yang akan meringkas waktu pendakian. Bayangkanlah sebuah kerucut dan lalu anda menggambar lintasan berkelok-kelok dari dasar ke arah puncak, nah jalur lurus yang memotong kelokan itu adalah jalan pintas. Di era pendakian tahun 80-an silam, jalur semacam ini disebut kros-krosan, mungkin diambil dari kata cross dalam Bahasa Inggris.
Puncak Gunung Lawu
Ondorante adalah kros-krosan paling legendaris di rute ini, saking panjang dan tingginya. Di luar itu banyak kros-krosan pendek dan medium. Aku memilih melintasi jalur regular saja, meski harus banyak memutar dan melambung, Tak apalah butuh waktu lebih lama, yang penting kondisi kakiku aman.
Meski jalur terpanjang, tapi di bagian inilah juga tersuguhkan panorama yang kian menakjubkan. Pohon besar sudah hampir tidak ada, sehingga alam mendadak seperti terbuka luas. Di depan mata, akan tersuguhkan kanvas raksasa dengan lukisan alam mempesona. Hal itu kian terasakan saat melintas di gigir jurang. Sejauh mata memandang terlihat lembah, punukan bukit, dan rumah-rumah jauh di bawah sana bagai perkampungan liliput. Di horizon, langit biru menjadi pembatas tak tepermanai.
Rumpun bunga edelweiss juga mulai terlihat di trek ini. Saat memandangnya seperti ada rasa kangen yang tertunaikan. Lama sekali tak melihat langsung bunga abadi ini di hebitatnya. Perdu edelweiss makin terlihat banyak di jalur antara Pos 4 ke Pos 5 (Hargodalem). Mereka ada di sisi kiri dan kanan trek yang kami lintasi. Kadang aku berhenti sejenak untuk menghirup aromanya yang khas itu.
Angin sore dan matahari yang kian condong ke barat lalu membawa pendakian ini berubah syahdu. Bayangkan, di bawah cahaya tembaga sang surya, di sebuah lembah dengan lautan edelweiss, di ketinggian 3200an mdpl, dan engkau sendirian di sana menikmati kesunyian itu. Kesenyapan yang benar-benar menjadi milikmu. Tadi, aku memang sempat berhenti sejenak, membiarkan rombongan berjalan dulu. Aku hanya ingin menemukan diri berasyik-masuk dengan alam nan hening ini.
Kami sampai di Hargodalem menjelang maghrib. Kawasan ini seperti kampung kecil yang terdiri dari belasan bangunan terbuat dari kayu dan seng . Ada beberapa warung makan sekaligus tersedia ruang untuk menginap para pendaki, salah satunya Warung Mbok Yem yang terkenal itu. Tapi kami memilih mendirikan tenda untuk istirahat malam ini, sebelum summit esok hari.
Sisanya adalah sebuah epilog yang butuh ruang tersendiri untuk dikisahkan. Inilah saat kami melawan hawa dingin yang terasa tembus ke tulang, saat di dalam tenda di area puncak gunung. Itu adalah seni bertahan yang sulit tapi asyik. Dan kami segera menemukan bahwa malam berat semacam itu akan langsung terbayar lunas saat menikmati keindahan detik-detik matahari terbit untuk menyapa bumi dan kehidupan ketika fajar tiba.
Saat bangun tidur aku cukup merasa segar untuk menuntaskan pendakian pagi ini. Dari Hargo Dalem ini pendakian ke puncak hanya membutuhkan waktu kurang dari 1 jam. Medan cukup curam dengan trek berupa tanah yang sedikit berdebu. Oleh sebab aku tetap mengatur nafas dan tenaga agar tubuh tetap rileks. Agar kaki tidak mendadak kram, misalnya, karena terlalu excited dan ingin cepat sampai.
Setelah beberapa waktu, kulihat bayangan tugu itu di area puncak. Lalu dengan sisa tenaga yang ada, kuentakkan tubuh ke atas bertumpu pada kaki kiri, hups! Dan, inilah Puncak Lawu di ketinggian 3265 mdpl itu. Inlah aku yang kembali lagi, wahai Hargo Dumilah, desau angin, cahaya matahari, kuncup edelweiss, dan seluruh kenangan pendakian masa silam...

Editor Indonesiana
1 Pengikut

Gelombang Tuntutan Pecat Miftah Makin Besar, Prabowo Belum Merespon
Jumat, 6 Desember 2024 06:30 WIB
Menjejak Puncak Lawu Setelah 35 Tahun
Minggu, 6 Oktober 2024 08:19 WIBArtikel Terpopuler