Obituari Harry Wibowo: Kamus Berjalan Aktivis Mahasiswa dan Gerakan Sosial
Minggu, 1 Juni 2025 15:35 WIB
Dia sosok penting yang mengembangkan ide-ide progresif gerakan mahasiswa 1980-an. Mengajak kita untuk optimistis berjuang bagi masyarakat sipil.
Beberapa waktu setelah azan zuhur, mobil ambulan yang membawa jenazah Harry Wibowo berangkat dari rumah duka di Jalan Sibayak, Menteng, Jakarta Pusat menuju tempat pemakaman Tonjong di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ratusan orang yang bertakziah, yang sebagian besar adalah aktivis masyarakat sipil, untuk melepas kepergian Harwib, begitu almarhum dipanggil pada Senin siang, 19 Mei 2025.
Harwib wafat pada Senin subuh di RSCM Kencana karena sakit. Berita lelayu itu langsung menyebar ke grup-grup WhatsApp dan media sosial. Para tokoh dan aktivis berdatangan ke rumah duka. Tampak Ismid Hadad (85 tahun, pendiri LP3ES dan jurnal Prisma), Thamrin Amal Tomagola (79, dosen FISIP UI), Rizal Malik, Alexander Irwan, Nur Iman Subono, Dolorosa Sinaga, Halida Hatta, Sandra Moniaga, Tati Krisnawaty, Nug Katjasungkana, Rachland Nasidik, Usman Hamid, Wilson Obrigado, Wahyu Susilo, Atnike Nova Sigiro dan lainnya.
Hingga siang hari, rumah duka yang luasnya tidak sampai 100 meter menjadi tempat berkumpul para tokoh dan aktivis. Ini merupakan rumah milik almarhum Setiadi Reksoprodjo, ayah Nikensari Setiadi, istri Harwib. Setiadi adalah Menteri Penerangan dalam kabinet Amir Sjarifuddin dan Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan kabinet Dwikora. Pada 1966-1977, Setiadi ditahan tanpa proses pengadilan. Setelah reformasi, Setiadi Reksoprodjo bersama H.M. Sanusi, Soedibjo, dan lain-lain mendirikan organisasi Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba).
Takziah ke rumah duka ini menjadi tempat berkumpul dan saling kangen, para aktivis yang di era Orde Baru, bersama-sama melawan rezim Jenderal Soeharto. Saya datang sebelum jenazah Harwib, Pemimpin Redaksi Prisma, dimandikan. Saya ucapkan bela sungkawa kepada Nikensari, kawan sekolah saya di SMA 8 Bukitduri dan Jurusan Sosiologi FISIP UI angkatan 1983. Niken menjelaskan bahwa jenazah suaminya akan diberangkatkan siang hari, usai zuhur dan dilakukan salat jenazah di rumah.
Siapa Harry Wibowo atau Harwib? Mengapa banyak intelektual dan aktivis pro-demokrasi dan HAM hormat dan mengagumi perjuangannya di ranah masyarakat sipil? Mengapa Harwib dengan portofolio-nya tidak bersedia masuk ke dalam Istana atau Kementrian, seperti dilakukan sejumlah kawan-kawannya sesama alumnus ITB dan aktivis lainnya? Warisan apa yang ditinggalkan bagi mahasiswa, aktivis muda dan gerakan masyarakat sipil di Tanah Air?
Dari Komik sampai Buku Sosial Politik
Harry Wibowo lahir pada 27 Maret 1961. Ayahnya adalah pegawai Kementrian Pertanian dan ibunya seorang guru. Mereka tinggal di komplek perumahan Kementrian Pertanian di Jalan Sebret, Pasar Minggu. Dia menjadi murid SMA Pangudi Luhur di Jakarta Selatan.
Harwib adalah anak tertua dan laki satu-satunya dari empat bersaudara. Orang tuanya memfasilitasi anak-anaknya untuk membaca komik dan buku bacaan lain. Harwib juga membaca buku-buku sastra dan sosial politik. Kamarnya menjadi perpustakaan. Ibunya paling keras mendorong Harwib untuk rajin belajar dan membaca buku. “Mas Wiek (Harwib) itu menjadi harapan ibu karena anak laki-laki satu-satunya,” kata seorang adiknya, dalam acara Tahlilan 7 Hari Wafatnya Harwib.
Pada tahun 1979, Harwib diterima sebagai mahasiswa ITB jurusan arsitektur. Saat itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef baru menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang membubarkan Dewan Mahasiswa dan melarang mahasiswa melakukan kegiatan bernuansa politik di kampus. Pemerintah mengganti rektor-rektor yang pro-mahasiswa.
Beleid itu merupakan respon dari peristiwa Malari dan unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah menjelang Pemilu dan Sidang Umum MPR 1977. Para mahasiswa Kampus Ganesha menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden. Tentara menduduki kampus ITB dan menangkap aktivis mahasiswa, antara lain Rizal Ramli, Heri Akhmadi, Sukmadji Indro Tjahjono dan lainnya. Harwib kos di Jalan Aceh dan berlangganan koran Kompas. Dia ikut menyaksikan jalannya persidangan para seniornya di ITB yang berlangsung hingga tahun 1981.
Sebagai mahasiswa baru, Harwib banyak mengikuti kegiatan di Student Center ITB. Pada 1981, Hendardi (masuk ITB tahun 1978) dan Harwib mendekralarasikan diri sebagai Ketua Dewan Mahasiswa (DM) ITB “kembar”. Aksi nekat di Lapangan Basket ITB dilakukan karena Majelis Permusyawaratan Mahasiswa membekukan DM dan ketua terpilihnya karena ancaman pemecatan oleh Rektor. Hendardi dan Harwib ingin menunjukkan adanya perlawanan dari mahasiswa terhadap kebijakan NKK/BKK. Harwib lantas memimpin demonstrasi mahasiswa ITB memperingati Hari Pahlawan, 10 November 1983. Dia juga aktif dalam Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) ITB.
Kelompok Diskusi Sabtu dan Literatur Kiri
Menghadapi represi pemerintah yang makin keras, sejumlah mahasiswa yang kritis kemudian membentuk kelompok-kelompok studi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Salatiga dan Surabaya. Bersama dengan Suryadi Radjab (mahasiswa Teknik Geologi ITB tahun 1980) dan kawan ITB lainnya, Harwib mendirikan Kelompok Diskusi Sabtu pada 1984. Pada tahun ini juga Harwib menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran di Sumedang.
Setiap Sabtu siang, mereka berdiskusi dengan narasumber yang berasal dari mantan mahasiswa dan aktivis mahasiswa. Antara lain Heri Akhmadi, Umar Juoro, Amir Sambodo, Jusman SD, dan lainnya. Aktivis dari Universitas Padjadjaran biasanya ikut sebagai peserta diskusi. “Harwib juga menjadi narasumber,” kata Suryadi Radjab dalam tulisan obituarinya di majalah Tempo (26 Mei 2025).
Suryadi Radjab menjelaskan pada Sabtu malam, kadang-kadang mereka mengunjungi Rahman Tolleng untuk ikut “kuliah politik.” Abdul Rahman Tolleng yang lahir 1937 pernah kuliah di ITB dan perintis berdirinya Gerakan Mahasiswa Sosialis yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia. Tolleng bergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dan menjadi mentor bagi aktivis mahasiswa angkatan 1966 dan sesudahnya. Saat itu, Rachman Tolleng membentuk Kelompok Studi Tamblong bagi aktivis mahasiswa Bandung.
Kelompok Diskusi Sabtu ini pernah menggelar acara bedah buku Pendidikan Kaum Tertindas terbitan LP3ES. Buku Pedagogy of the Oppressed yang terbit tahun 1970 ini ditulis oleh Paulo Freire, seorang pendidik dan filosof Brasil. Kelompok diskusi ini juga berinteraksi dengan Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK) dan Kelompok Studi Pertanahan ITB, Kelompok Diskusi Pojok Dago dan Kelompok Diskusi Sukaluyu.
Pada suatu kesempatan mereka mengumumkan Deklarasi Flores yang menegaskan bahwa gerakan mahasiswa sebagai bagian dari gerakan rakyat. Mereka kemudian mengadakan kolokium bertempat di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung untuk menyambut 40 Tahun Kemerdekaan RI pada 1985. Hendardi yang sudah masuk LBH dan Rambun Tjajo (pengacara) membantu mendatangkan intelektual yang sering menulis di jurnal Prisma untuk mengisi kolokium. Antara lain Farchan Bulkin, Dawam Rahardjo dan Aswab Mahasin.
Suryadi Radjab mengatakan bahwa dirinya bersama Harwib lantas mengunjungi sejumlah kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Salatiga, mereka ke rumah Arief Budiman. Di sini bertemu dengan aktivis dari Jakarta, yaitu Vedi Hadiz, Bonnie Setiawan dan Sumarsono. Di Solo, mereka bertemu dengan Halim HD dan Wiji Thukul. Di Yogyakarta, mereka diskusi dengan Priyambudi Sulistiyanto, Ifdhal Kasim dan lainnya.
Para aktivis di Bandung mengadakan Latihan Pengembangan Masyarakat dan Bantuan Hukum pada 1986. Setelah itu, Harwib, Suryadi, Tina Rosdiana dan Enin Supriyanto membentuk Free School for Socioanalysis. Sementara itu Helmy Fauzi, Noer Fauzi Rachman dan Boy Fidro membentuk Front Pemandu Latihan. Free School menyelenggarakan diskusi bertajuk ‘The Police dan Resistensi Sosial’ tentang pembangkangan The Police, grup musik yang saat itu digandrungi kaum muda.
Pada 28 Oktober 1987, Kompas menurunkan tulisan panjang dengan judul “Kelompok-kelompok Studi Mahasiswa: Membangun Tradisi Intelektual.” Koran ini melakukan reportase dan mewawancarai aktivis kelompok studi dan aktivis kampus di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Malang dan Ujungpandang. Foto tiga pentolan aktivis kelompok studi terpampang di Kompas, yaitu Harwib (Bandung), Denny Januar Akhir (Jakarta) dan Taufik Rahzen (Yogyakarta). Kompas juga mewawancari Arief Budiman, Ariel Heryanto, Ichlasul Amal, Kuntowijoyo, Adi Sasono dan lainnya
Ketika diwawancara Kompas tersebut, Harwib mengatakan bahwa model kelompok diskusi mahasiswa ini serupa dengan kelompok studi tahun 1920-an, 1966 (Kelompok Studi Tamblong), 1974, dan 1978. Kelompok studi mahasiswa tahun 1980-an terlihat menonjol, karena kegiatan mahasiswa yang sifatnya politis menurun secara drastis akibat kebijakan NKK/BKK oleh rezim Orde Baru.
Kelompok studi ini bisa berkembang, kata Harwib, menjadi transdisiplin ilmu. Tapi mustahil kalau mengharap dari kelompok studi menyamai gerakan mahasiswa sebelumnya. Itu hanya mitos. “Kelompok studi tetaplah sebuah kelompok diskusi, yang melakukan kajian teoritis, penelitian kecil-kecilan, sifatnya terbatas,” kata Harwib kepada Kompas ketika itu. Memang, kelompok studi bisa menjadi sarana belajar apa saja secara individual sebagai mahasiswa calon intelektual yang bermanfaat.
Sebagai calon intelektual, bersama kawan-kawannya di kelompok studi Free School for Socioanalysis, Harwib mencari buku-buku dan bacaan mengenai teori-teori sosial dan politik. “Kami mulai mencari literatur kiri,” kata Harwib dalam wawancaranya dengan Tirto pada 21 Mei 2019. Antara lain membaca diktat Marxisme yang ditulis Franz Magnis-Suseno. Selain itu juga pemikiran ilmu sosial kritis Frankfurt School yang dibahas Sindhunata.
Harwib menjelaskan mereka juga membahas disertasi Arief Budiman di Universitas Harvard pada 1980. Buku ini kemudian diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chili di Bawah Allende yang terbit tahun 1986. Sekembali dari Universitas Harvard, Arief mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dan gencar mengkampanyekan perspektif kiri di Tanah Air. Di kampus ini juga terbentuk kelompok studi mahasiswa.
Belajar dari People Power di Filipina
Sepanjang 22-25 Februari 1986, terjadi revolusi people power rakyat Filipina yang menumbangkan rezim diktator Ferdinand Marcos. Peristiwa ini menarik perhatian masyarakat, termasuk aktivis mahasiswa di Tanah Air. Harwib mengkliping koran Kompas yang memberitakan kejatuhan Presiden Ferdinand Marcos. “Kami mendiskusikan juga soal Filipina di kampus, di kelompok-kelompok studi itu,” kata Harwib kepada Tirto. Menurut dia, sejak itu terjalin kontak-kontak antara mahasiswa Indonesia dan Filipina.
Apalagi pada tahun 1986 itu Harwib menjadi peserta konferensi Asia Student Association (ASA) di Hong Kong. Organisasi ini isinya orang-orang kiri. Dari konferensi ini, dia mendapat kontak organisasi mahasiswa kiri di Filipina. Termasuk National Democratic Front (NDF), Kilusang Mayo Uno (organisasi buruh) dan Jose Maria Sison (pendiri Partai Komunis Filipina). Dari sini Harwib mendapat informasi bagaimana mereka mengorganisir diri dan bergabung dalam aliansi strategis sehingga punya andil dalam menjatuhkan Presiden Marcos. Bagaimana kaum kiri, termasuk Jose Sison, dapat menaruh orang-orangnya di dekat dan masuk ke kabinet Presiden Cory Aquino.
Kasus gerakan rakyat di Filipina menjadi pelajaran penting kelompok studi di Indonesia. Beberapa kawan Harwib diundang ke Filipina untuk belajar dan mendalami seluk beluk gerakan sosial dan bagaimana metode analisis sosial yang kritis menjadi bagian penting gerakan perlawanan. Menurut Harwib, ini semua membuka ruang lebih besar untuk mahasiswa berjejaring. “Kemudian mengalami radikalisasi. Dalam artian bukan hanya membaca buku. Itu yang menarik dari people power,” katanya.
Memang, pada saat itu, terjadi kasus-kasus penggusuran tanah milik rakyat untuk pembangunan infrastruktur dan industri. Mulai dari pembangunan waduk Kedung Ombo di Sragen Boyolali, kasus tanah Badega di Kabupaten Garut, proyek perkebunan sawit di Cimerak dan lainnya. Aktivis LSM dan mahasiswa mendampingi warga yang menjadi korban. “Gerakan protes mahasiswa yang tadinya sangat campus-oriented kini turun ke lapangan,” kata Harwib yang ikut terlibat membantu LBH Bandung mendampingi warga Badega.
Aktivis kelompok studi mahasiswa ini kerapkali kumpul di kantor LBH Bandung yang berdiri tahun 1981. Memang, dengan konsep bantuan hukum struktural, LBH Bandung di bawah kepemimpinan Amartiwi Saleh melakukan program-program penguatan masyarakat. Secara rutin LBH mengadakan diskusi dengan kelompok buruh, petani, kelompok diskusi mahasiswa dan juga dengan profesi hukum. Sejumlah tokoh nasional pernah mengisi acara di LBH Bandung, antara lain Abdurrahman Wahid, Arif Budiman, Mulyana Kusumah dan Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Para mahasiswa membantu Divisi Non Litigasi LBH Bandung menangani perkara besar di Jawa Barat. Pada 1983, Hendardi, senior Harwib, ditarik ke LBH Bandung oleh Adnan Buyung Nasution. Buyung mengapresiasi perjuangan Hendardi yang memimpin KPM ketika membela Heri Akhmadi dan kawan-kawan mahasiswa ITB yang dipenjara pemerintah Orde Baru. Tidak berapa lama kemudian, Hendardi pindah ke Yayasan LBHI di Jakarta.
Nur Iman Subono yang saat itu menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Indonesia bertemu Harwib dalam satu forum diskusi. Mereka kemudian berkawan akrab. Setiap Boni, panggilan Iman Subono, ke Bandung, dia menginap di tempat kos Harwib di Jalan Aceh. “Ketika itu saya kagum dengan pikiran-pikiran dan tulisan Harwib di buletin TESA yang kaya dengan referensi teori-teori ilmu sosial kritis,” kata Boni yang saya wawancarai di rumah duka pada 19 Mei 2025.
Menurut Boni, sahabatnya itu fasih berbicara tentang buku-bukunya Ivan Illich dan Paulo Freire serta tokoh-tokoh mahzab Frankfurt. Ivan Illich, filsuf Austria, terkenal dengan bukunya bertajuk "Deschooling Society" (Masyarakat Tanpa Sekolah). Buku ini terbit tahun 1971 yang mengkritik sistem pendidikan formal dan mengusulkan pendekatan pendidikan yang lebih fleksibel dan informal. Ivan juga mendorong perhatian terhadap kebebasan dan kemandirian individu, serta menjadi inspirasi bagi para pemikir dan praktisi yang ingin menciptakan masyarakat yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Sementara itu, Paulo Freire menyoroti sistem pendidikan konvensional yang sering kali menjadi alat untuk mempertahankan ketidakadilan dengan memperlakukan siswa sebagai penerima pasif pengetahuan, bukan sebagai peserta aktif dalam proses belajar. “Harwib itu yang konsisten dan menerapkan pikiran Ivan Illich dan Paulo Freire dalam bidang pendidikan, sehingga dia tidak menyelesaikan gelar sarjananya,” kata Boni. Menurutnya, Harwib adalah sosok mahasiwa yang pintar, dilihat dari nilai-nilai mata kuliahnya. Namun keterlibatannya yang intens di kelompok studi dan LSM membuat kuliahnya di ITB dan Universitas Padjadjaran jadi terbengkalai. Dia kena drop out.
Dalam tulisan obituari untuk mengenang almarhum Harwib, Denny Januar Akhir menulis bahwa sahabatnya itu adalah wajah khas dari gerakan mahasiswa tahun 1980-an. “Di setiap pertemuan, di setiap diskusi, ia seperti tak pernah datang sendiri. Ia membawa bersamanya pemikiran Karl Marx, Max Horkheimer, Erich Fromm, Ivan Illich, Paulo Freire. Mereka semua hidup dalam cara Harwib berbicara,” kata Denny JA dalam tulisannya yang disebar di grup-grup WhatsApp.
Menurut Denny, kota Bandung menjadi ladang tempat Harwib menanam ide-ide progresif dengan cara yang elegan. Harwib, katanya, bukan tukang teriak, tapi pemantik bara. Dengan bicaranya yang tenang, penuh kutipan, namun suaranya membuat ruang menjadi sunyi. “Karena kami tahu, kami sedang menyimak seseorang yang bukan hanya membaca buku, tapi dihidupi oleh buku. Kala itu orang luar menyebut generasi kami ‘perpustakaan berjalan.’ Dan Harwib adalah jilid lengkapnya,” kenang Denny terhadap Harwib.
Denny menilai bahwa Harwib adalah pembaca setia Pedagogy of the Oppressed. Ia meyakini pendidikan bukan alat domestikasi, tapi alat pembebasan. Dalam pikiran Harwib, mahasiswa tidak cukup sekadar turun ke jalan. Ia harus turun ke akar gagasan. “Jika tidak, ia hanya jadi megafon, bukan mercusuar,” ujar Denny. Kawan-kawannya jika berkunjung ke tempat kost Harwib ada yang mem-fotokopi buku-buku ilmu sosial kritis dan ekonomi-politik dari dalam dan luar negeri. Selain itu, Harwib rajin mengkliping Kompas dan media cetak lainnya.
Boni mengatakan bahwa saat itu Harwib menjadi jembatan antar aktivis mahasiswa, baik di dalam Bandung, maupun dengan kota-kota besar lainnya. “Harwib dan Hendardi itu jadi mentor yang sangat peduli. Harwib itu kamus berjalan,” kata Farhan Hilmy yang masuk ITB tahun 1982, ketika saya wawancara pada 20 Mei 2025. Di angkatan 1982 ini ada Pramono Anung, Theodorus Jacob Koekerits (Ondos), Didi Yakub dan Fazrul Rachman. Farhan masih ingat bagaimana Harwib mendorong juniornya untuk masuk ke gerakan politik melalui kelompok-kelompok studi. Saat itu, Harwib juga menjadi bagian jejaring intelektual muda (mahasiswa) di berbagai kota besar di Jawa.
Wahyu Susilo yang menjadi mahasiswa Universitas Negeri Sebelasmaret (UNS) Solo tahun 1987, berjumpa pertama kali dengan Harwib di Surabaya. Pada Desember 1988, dia dikenalkan oleh Halim HD pada acara seminar nasional transformatif di Kenjeran. Harwib menjadi salah seorang pembicara. “Aku senang banget karena Harwib memberi buletin Free School for Social Analysis edisi The Police,” kata Wahyu Susilo yang saya wawancara di rumah duka pada 19 Mei 2025.
Wiji Thukul, kakak Wahyu Susilo, kemudian membagikan resensi yang ditulis Harwib atas buku Richard Robison berjudul Indonesia: The Rise of Capital yang terbit pada 1 Januari 1986. Harwib sudah membaca tuntas buku Robison tersebut dan menulis resensi di buletin TESA dengan judul “Kapitalisme Indonesia, Mengembun Kemana”. Harwib juga menyunting kumpulan tulisan-tulisannya tentang gerakan mahasiswa di awal 1980-an ke dalam satu buku bertajuk “Paham Kebangsaan: Sudut Pandang dan Pengalaman Mahasiswa Purna 1978.”
Fotokopi tulisan-tulisan Harwib itu tersebar ke jaringan aktivis mahasiswa dan kelompok lainnya di berbagai kota. Menurut Wahyu, peran Harwib saat itu adalah mendorong mahasiswa junior untuk tidak hanya anti-Soeharto, tetapi juga berpikir kritis. “Dia sosok penting dalam mengembangkan ide-ide progresif gerakan mahasiswa tahun 1980-an,” kata Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE dan peraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA tahun 2007.
Harwib ikut menjadi tim pembuat pledoi enam mahasiswa ITB yang ditangkap karena Aksi 5 Agustus 1989. Ratusan mahasiswa demonstrasi di Gedung Serba Guna ITB memboikot kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini. Mereka menuduh menteri terlibat dalam konflik tanah dan penggusuran permukiman rakyat di berbagai daerah.
Harwib menjadi salah satu koordinator tim penyusun naskah pembelaan yang diisi mahasiswa dan alumnis ITB. Ada juga aktivis dari luar ITB, seperti Priyambudi Sulistiyanto dan Rocky Gerung. Harwib juga menghubungi Ariel Heryanto, dosen di UKSW, untuk menjadi saksi meringankan bagi para mahasiswa. Selama berpekan-pekan menulis pledoi dan persidangan menjadi pengalaman penting bagi mahasiswa-aktivis berusia 25-30-an tahun itu tentang relasi antara teori-aksi-praksis.
Kasus Marsinah dan Pangkalan Data Pelanggaran HAM
Setelah tidak lagi menjadi mahasiswa ITB, Harwib terlibat di LBH Bandung. Ini mengikuti jejak seniornya di ITB, yaitu Hendardi yang bergabung ke LBH Bandung tahun 1985. Tidak berapa lama kemudian, Hendardi bergabung ke Yayasan LBH Indonesia di Jakarta. Harwib diminta membantu YLBI sebagai sebagai Koordinator Tim Pencari Fakta “Pembunuhan Marsinah” YLBHI. Di sini, Harwib dan YLBHI menolak peradilan sesat yang dijalankan aparat keamanan dalam kasus pembunuhan Marsinah, buruh pabrik di Sidoarjo yang tewas pada 8 Mei 1993. Setelah selesai sebagai koordinator tim pencari fakta, Harwib aktif di kelompok buruh di wilayah Tangerang bersama Nikensari, yang kemudian menjadi istrinya.
Harwib menjadi editor di jurnal Prisma milik LP3ES pada 1991. Namun dia hanya bertahan tiga tahun karena perbedaan pendapat dengan pengelola Prisma. Sekitar tahun 1994, Harwib ditarik Todung Mulya Lubis untuk menjadi pengurus Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham). Todung memintanya untuk memperbaiki kinerja Yapusham khususnya program database mengenai HAM. Keterampilannya membuat kliping koran sejak kecil, dimanfaatkannya. Dia mengumpulkan data ‘pelanggaran HAM sehari-hari’ dari kliping koran dan media cetak lainnya, karena belum ada sumber digital. Program pusat informasi HAM, Yapusham ini juga digunakan untuk melakukan penjaringan tokoh masyarakat yang berjuang dalam penegakan HAM sehingga layak mendapat Yap Thiam Hien Award.
Terjadi konflik internal di tubuh YLBHI sepanjang 1993-1995. Bersama dengan Hendardi, Mochtar Lubis, Mulyana Kusuma, Suryadi Radjab, Harwib ikut mendirikan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Harwib didapuk menjadi Wakil Ketua PBHI bidang Monitoring HAM. PBHI mendampingi Xanana Gusmao sebagai kuasa hukum dalam proses politik jajak pendapat rakyat Timor Timur pada 1999, termasuk rangkaian penangkapan dan penahanan mahasiswa Timor Timur di Semarang dan Yogyakarta.
Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Timor Timur untuk menyelidiki pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur, pasca referendum. PBHI menugaskan Harwib sebagai anggota tim asistensi. KPP HAM Timor Timur berhasil menyelesaikan tugas menyusun Laporan Akhir Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur pada tahun 2000. Harwib juga ikut mengkompilasi data kekerasan kerusuhan yang menjadi bagian penting dari Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, yang dibentuk Presiden BJ Habibie.
Dalam pengumpulan dan pengelolaan datanya, Harwib menggunakan sistem HURIDOCS yang dipelajarinya secara otodidak. HURIDOCS adalah strategi dan alat untuk memfasilitasi pemantauan dan dokumentasi hak asasi manusia serta meningkatkan akses terhadap sumber informasi hak asasi manusia.
Harwib menjadi koordinator dari Perhimpunan International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965). Ini merupakan pengadilan hak asasi manusia yang bertujuan untuk mengungkap kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Indonesia pasca peristiwa 30 September 1965. Tribunal ini didirikan untuk menyoroti impunitas yang dinikmati oleh para pelaku dan untuk memberikan suara bagi para korban yang selama ini dibungkam. IPT 1965 mengadakan sidang di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015, di mana berbagai kesaksian dari korban dan ahli hukum dipresentasikan.
Menurut Harwib pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang disertai dengan koersi tergolong sebagai tindak pidana atau kejahatan. Hal inilah yang menjadi logika dari penggabungan antara kerangka hukum hak asasi manusia dan hukum kejahatan internasional. Pemahaman mengenai konsep dasar dari HAM menjadi langkah penting bagi kita untuk dapat memahami peristiwa 1965-1966 dengan dimensi kejahatannya yang begitu masif.
“Dasar dari International People’s Tribunal waktu itu adalah riset-riset dan sekian banyak bukti yang diajukan setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap peristiwa 65-66 sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Menariknya, waktu itu dalam International People’s Tribunal, peristiwa 65-66 juga bisa dikatakan sebagai kejahatan genosida,” ujar dalam diskusi di kantor Kontras pada 1 Oktober 2024. Di sini Harwib memunculkan istilah polisida, pemusnahan massal terhadap kelompok orang tertentu berdasarkan label identitas politik.
Upaya Mewujudkan Koperasi dan Prisma Digital
Pada November 2015, Harwib ditarik kembali menjadi Redaktur Pelaksana jurnal Prisma, mendampingi Daniel Dhakidae yang menjadi pemimpin redaksi. Namun Harwib tetap aktif di Perhimpunan-IPT 65, menjadi Kordinator Ruang Diskusi Beranda Rakyat Garuda dan membantu Yayasan Ciliwung Merdeka dalam kasus penggusuran paksa warga Kampung Pulo dan Bukit Duri oleh Gubernur Basuki Purnama (Ahok) pada 2015 dan 2016. Kantor Prisma yang ketika itu masih di Jalan Pejaten Barat Raya, Pasar Minggu menjadi markas dan kerapkali tempat menginap.
“Harwib itu sealiran dan sejalan dengan Daniel Dhakidae, saling mengisi. Daniel adalah pemikir, analis yang mendalam, substantif dan kritis. Namun Daniel tidak bisa menterjemahkan pemikirannya dalam tematik atau tulisan-tulisan penunjang topik utama dalam Prisma. Di sinilah peran Harwib yang penting,” kata Ismid Hadad, pendiri Prisma, yang saya wawancara di rumah duka pada 19 Mei 2025. Walhasil selain artikel utama, cover story Prisma seringkali dilengkapi dengan dialog, laporan khusus (berupa hasil diskusi atau reportase) dan tinjauan buku.
Pada 6 April 2021, Daniel Dhakidae meninggal. Harwib kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Prisma. Dia melanjutkan ide Daniel untuk melengkapi edisi cetak dengan Prisma digital, seperti yang dilakukan media cetak. Pada suatu hari Harwib menelpon saya (Untung Widyanto) untuk membantunya mewujudkan Prisma digital. Kami bertemu di kantor Prisma. Seperti dengan tamu lainnya, dia memanggil saya dengan sebutan “Bung”.
Saya pertama kali mengenal Harwib pada rapat Zoom, membahas rencana penulisan buku memoar Theodorus Jakob Koekerits atau dikenal sebagai Ondos, aktivis mahasiswa ITB tahun 1980-an. Ondos yang pernah melakukan mogok makan di kampus ITB, meninggal dalam kecelakaan mobil di Sidoarjo pada September 2012, saat mengunjungi konstituennya sebagai anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
Yayasan 5 Agustus yang didirikan rekan-rekan Ondos di ITB, berencana menerbitkan buku perjuangan Ondos. Mereka meminta Harwib, Suryadi Radjab, dan Fauzi menjadi tim penulis. Buku memoar tersebut selesai dicetak terbatas untuk memperingati wafatnya Ondos. Beberapa tahun kemudian, Farhan Helmi, Didi Yakub dan Ammarsjah menghubungi saya. Mereka ingin menerbitkan buku Ondos secara luas.
Mereka meminta saya menyunting buku yang telah ditulis Harwib dan kawan-kawan agar tidak terlalu “ilmiah atau textbook”. Mereka meminta ada sisi humanis yang ditonjolkan. Memang, naskah buku tersebut kaya dengan data-data mengenai aktivis gerakan mahasiswa di Bandung tahun 1980-an. Mereka juga membuat analisis mendalam berdasarkan tematik. Saya kemudian mewawancarai Andi Mallarangeng dan Oswar Mungkasa, kawan Ondos saat SMP dan SMA di Makkasar. Saya juga mewawancarai seorang perempuan, aktivis mahasiswa di Yogyakarta yang pernah singgah di hati Ondos.
Saya menggunakan seluruh bahan yang ditulis Harwib dan kawan-kawan. Saya sunting berdasarkan kronologi agar tidak tumpang tindih antar-bab. Kemudian ada bab mengenai masa kecil dan sekolah menengah Ondos di Makassar, serta perempuan-perempuan yang dekat dengan politikus PDIP itu. Naskah buku yang selesai saya buat kemudian didiskusikan dengan Didi Yakub, Ammarsjah, Harwib dan istri Ondos lewat Zoom. Pada 24 September 2021 buku setebal 272 halaman dengan judul “Keteguhan Hati Yang Teruji, Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1980-an, Memoar Ondos” dan diterbitkan Grasindo, diluncurkan secara daring.
Pada pertemuan pertama kali di kantor Prisma, Bung Harwib menjelaskan road map Prisma digital. Dia menyajikan presentasi mengenai hasil survei pembaca Prisma dan kompetitor Prisma. Rencananya bakal dilakukan perubahan kelembagaan pengelola Prisma, menjadi bentuk koperasi. Dia mengundang saya untuk ikut beberapa kali rapat dengan perusahaan konsultan media yang disewa. Begitu juga rapat dengan Suroto, ahli koperasi, mengenai pembentukan koperasi Prisma.
Di sela-sela rapat, Harwib meminta saya menulis di Prisma untuk edisi khusus 100 Tahun Soedjatmoko. Dia meminjamkan kepada saya buku-buku dari Perpustakaan LP3ES mengenai Soedjatmoko dan buku Ignas Kleden berjudul Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka. Pada Maret 2023, Prisma Edisi 100 Tahun Soedjatmoko itu terbit dengan satu tulisan saya bertajuk “Jurnalisme Makna di Dalam Siasat dan Konfrontasi”.
Beberapa bulan kemudian, Harwib meminta saya terlibat dalam penerbitan edisi khusus Prisma tentang koperasi. Kami rapat dengan menghadirkan Halida Hatta dan sejumlah calon penulis. Saya diminta menulis analisis mengenai tiga edisi Prisma tentang koperasi yang terbit pada Juli 1978, Juni 1981 dan Juli 1986. Harwib juga meminta saya menulis satu bagian dari laporan khusus mengenai koperasi perumahan di Kampung Susun Akuarium, Jakarta Utara yang menerima World Habitat Award dan Innovation Awards. Pada awal 2024, Prisma terbit dengan cover story berjudul Gerakan Koperasi dan Pendemokrasian Ekonomi.
Harwib sempat mengajak saya meliput Lokakarya Reforma Agraria Perkotaan yang dilenggerakan oleh Jaringan Rakyat Miskin Kota di Kampung Susun Akuarium pada 21 Juli 2024. Topik ini rencananya akan menjadi laporan khusus Prisma edisi mendatang. Saya sudah mengirimkan ke Harwib tulisan saya soal ini. Selain itu dia mengajak rapat untuk membahas kembali rencana Prisma digital. Namun hingga akhir tahun 2024, saya belum mendapat informasi mengenai perkembangan rencana Prisma dan pembentukan koperasi.
Warisan Harwib bagi Masyarakat Sipil
Ismid Hadad menjelaskan Harwib mampu membuat oplah Prisma naik untuk edisi Soedjatmoko, Sukarno, Koperasi, dan 20 tahun Reformasi. Dia mencatat tiga sumbangan penting Harwib bagi Prisma. Pertama, totalitas dalam bekerja, tidak setengah-tengah. Menurut Ismid, Harwib sampai mengorbankan keluarga untuk tidur di kantor Prisma ketika majalah akan terbit. Dia sudah disediakan ruang Pemimpin Redaksi peninggalan Daniel Dhakidae. “Namun karena merokok, Harwib mengokupasi satu ruang lagi yang jendelanya menghadap ke taman,” kata Ismid menggeleng-gelengkan kepala.
Kedua, Harwib mampu menggabungkan ide dan gagasan menjadi konten tulisan. “Ketiga, action-nya dalam bentuk tulisan mampu mempengaruhi kepentingan publik,” ujarnya. Ismid Hadad mengakui bahwa kantor Prisma telah menjadi markas bagi aktivitas sosial Harwib dengan jejaringnya. Memang, kantor Prisma di Jalan Pangkalan Jati, Cinere, Kota Depok, yang menyatu dengan kantor LP3ES menjadi tempat persinggahan aktivis progresif dari berbagai kota di Tanah Air dan luar negeri.
Sejak mahasiswa sampai akhir hayatnya, kata Iman Subono, Harwib memiliki komitmen dan tegak lurus dengan idealismenya pada hak asasi manusia. “Dia bukan tipe orang yang suka minta-minta jabatan dan uang. Sosok semacam ini semakin langka,” kata Boni. Harwib ikut mendukung pasangan Jokowi-Ahok dalam Pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2012. Setelah itu dia menjaga jarak dan mendorong gerakan “Golput” dalam pemilihan presiden. Sementara itu, sejumlah aktivis mahasiswa dan gerakan sosial yang pernah menjadi kawannya, berbondong-bondong ke Istana atau menjadi konsultan politik.
Thamrin Amal Tomagola yang melayat ke rumah duka, sangat kehilangan sosok Harwib. Dia mengenal almarhum dalam diskusi-diskusi di Komunitas Beranda Rakyat Garuda. “Dia sosok yang tidak tergantikan dalam pemikiran dan aksi. Harwib tidak pernah meninggalkan masyarakat sipil,” kata Thamrin, mantan dosen sosiologi di FISIP UI dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Menurutnya, Harwib mewariskan semangat untuk tidak pantang menyerah dan terus menyalakan harapan bagi perjuangan masyarakat sipil di Tanah Air.
- Untung Widyanto adalah wartawan lepas, penulis, peneliti dan pengajar jurnalisme. Dia dapat dikontak melalui email [email protected].
Referensi:
Wawancara dengan narasumber: Ismid Hadad, Thamrin Amal Tomagola, Nur Iman Subono, Farhan Helmy dan Wahyu Susilo.
Suryadi Radjab, Ujung Pencarian Keadilan Harry Wibowo, Tempo, 26 Mei 2025.
Ismail Hasani dan Halili, Jejak Aktivisme Hendardi: Dari Gerakan Mahasiswa ke Advokasi Hukum dan HAM, KPG, 2020.
Denny JA, In Memoriam Harry Wibowo: Jejak Langkah Aktivis-Pemikir yang Tak Pernah Mundur.
Kompas 28 Oktober 1987, Kelompok-kelompok Studi Mahasiswa, Membangun Tradisi Intelektual.
https://tirto.id/people-power-sekarang-slogan-kosong-saja-tidak-ada-isinya-dRvd
https://kontras.org/aktivitas/Mengingat-Tragedi-1965-1966:-Ragam-Upaya-Merawat-Ingatan-Kolektif

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Obituari Harry Wibowo: Kamus Berjalan Aktivis Mahasiswa dan Gerakan Sosial
Minggu, 1 Juni 2025 15:35 WIB
Pertemuan London Mendukung Aktivitas Pramuka yang Berdampak Bagi Masyarakat
Sabtu, 24 Mei 2025 15:27 WIBArtikel Terpopuler