Yang Absen dari Opini Menteri Raja Juli

Kamis, 5 Juni 2025 23:34 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
hutan arcamanik
Iklan

Pemerintah mau menyimbangkan pelestarian hutan, pembangunan berkelanjutan, dan kesejahteraan masyarakat. Mustahil tanpa transformasi radikal.

***

Dalam artikel opini di satu koran nasional Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni memaparkan dengan ringkas dan mengandung optimisme birokratis rencana besar pemerintah untuk mengatasi ancaman krisis iklim, khususnya melalui cara pengelolaan hutan--atau, dalam kata-katanya, ”good forest governance”. Rencana itu bertumpu pada keseimbangan dari tiga hal (yang dinamai pilar) berikut ini, yang disebut sebagai wanti-wanti dari Presiden Prabowo Subianto: pelestarian hutan, pembangunan berkelanjutan, dan kesejahteraan masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Satu hal yang tak terungkap secara eksplisit tapi sebetulnya bisa disimpulkan ke mana arahnya adalah hal paling mendasar, terkait dengan problem yang bersifat sistemis, yakni sikap pemerintah terhadap praktik ekonomi kita yang sejauh ini jelas hanya memperlihatkan kemampuannya untuk mengeruk sumber daya alam, tidak demokratis dan mengeksploitasi tenaga kerja, serta menghancurkan lingkungan--yang juga berkontribusi kepada penyebab krisis iklim. Mencermati uraian Pak Menteri, dan memperhatikan apa yang sedang dilakukan pemerintah, sikap itu tiada lain kecuali maju tak gentar membela yang punya modal cetar.

Dengan kata lain, kita tidak akan melihat perubahan kebijakan yang signifikan, apalagi radikal dan transformatif; atau, dari tahun ke tahun pada masa pemerintahan kali ini, kita akan menyaksikan penggundulan atau “alih fungsi” hutan dengan segala konsekuensinya, termasuk timbulnya konflik dengan masyarakat adat dan komunitas lokal, yang semakin luas. 

Data yang dihimpun Forest Watch Indonesia memperlihatkan, selama periode 2017-2021, Indonesia telah menanggung deforestasi--hilangnya tutupan hutan alam--2,54 juta hektare setiap tahun (setara dengan enam kali luas lapangan sepakbola per menit). Tren regresi berlanjut: Auriga Nusantara, misalnya, menunjukkan pada 2024 deforestasi mencapai 261,57 ribu hektare, terjadi bahkan di area yang oleh pemerintah dibuka untuk pembangunan. Ini meneruskan kecenderungan dari dua tahun sebelumnya.

Dengan lenyapnya tutupan hutan alam ikut amblas pula fungsi-fungsinya yang sangat luas (FWI, 20240): sebagai pengatur iklim mikro, sumber pangan dan papan masyarakat adat serta masyarakat lokal, konservasi air dan tanah, area bernilai konservasi tinggi, keanekaragaman hayati, potensi obat-obatan, sumber pangan dan gizi, energi, serta nilai sejarah-kebudayaan, bahkan sumber pengetahuan yang belum tercatat.

Raja Juli memang menyebutkan pilar-pilar yang terdengar indah sebagai dasar rencana pemerintah untuk pengelolaan hutan. Pada dirinya, masing-masing dari ketiga pilar itu, bisa dibilang mengandung truisme; semuanya merupakan tujuan mulia, yang rasanya tidak ada yang berkeberatan. Tapi bagaimana merealisasikannya adalah pertanyaan penting. Yang lazim, sebagai jawaban, pada detailnyalah rencana yang sebagus apa pun dari pemerintah dari masa ke masa bakal tampak kedodoran, tidak serius, atau bahkan cuma ingin terlihat gagah.

Detailnya, tentang bagaimana rencana yang diuraikan Pak Menteri itu bakal direalisasikan dan seperti apa lini masanya, misalnya dalam konteks komitmen dalam Perjanjian Paris, sejauh ini terlihat scattered, berperai-perai, bukan strategi yang sifatnya integral. Peluang semakin bertambahnya deforestasi malah membesar karena meningginya intensitas dari target pemerintah untuk menggenjot produksi biodiesel dan bioetanol serta pengerukan nikel demi “transisi energi”, yang sebetulnya hanya upaya untuk memperpanjang “nyawa” dari kepentingan industri bahan bakar fosil. Karenanya, untuk sementara, yang bisa dilakukan adalah menganggap opini Pak Menteri sebagai sesuatu yang manis di kata-kata belaka.

Secara fundamental, bahkan sebelum sampai di pertanyaan-pertanyaan tersebut pun, hal krusial yang perlu digariskan, terkait, itu tadi, sikap terhadap praktik ekonomi yang telah berlangsung sejak masa Orde Baru, adalah komitmen ini: mengakui kesalahan pilihan pada masa itu; bahwa ekonomi yang kita jalankan sebagai alat pembangunan adalah keliru. Ini berlaku, terutama, kalau memang ada kesungguhan hendak melindungi hutan dan lingkungan, juga menyelamatkan bumi dari triple planetary crisis--krisis perubahan iklim; krisis alam, lahan, dan kehilangan biodiversitas; serta krisis polusi dan sampah.

Selama puluhan tahun pilihan yang salah itu, dengan sistem produksi di dalamnya yang tidak demokratis, eksploitatif, dan, ya, tentu saja, ekstraktif, tidak merealisasikan kesejahteraan kelas pekerja, apalagi setiap orang. Yang terjadi justru timbulnya ketimpangan yang kian lebar--mereka yang tergolong paling kaya, 1 persen dari total penduduk dewasa, telah menguasai setengah dari kekayaan negara.

Itulah yang harus dikoreksi. Diperlukan tindakan radikal untuk ini, tidak bisa hanya mereparasi di sana-sini. Ekonomi, bagaimanapun, bukan sesuatu yang terjadi begitu saja; ia merupakan hasil dari rancangan.

Amerika Serikat bisa menjadi contoh bagaimana reparasi di sana-sini gagal mengatasi akar masalah dari ekonominya. Dulu, pada zaman malaise 1930-an, F.D. Roosevelt melakukannya, antara lain melalui upah minimum dan jaminan sosial. Kini hampir semua yang dia setujui, demi menghindari tuntutan perubahan radikal dari gerakan buruh, ditambah kebijakan lain-lain yang dibuat belakangan, misalnya jaminan kesehatan yang diselenggarakan pemerintah, sudah terdesak di tubir. Mereka yang menguasai ekonomi, dan karenanya juga politik, yakni para pemilik modal, kaum konservatif, dan ekstrem kanan, sudah tinggal menyepaknya ke dalam jurang.

Untuk menghindari situasi serupa, yang secara mendesak harus dilakukan adalah mewujudkan kondisi baru yang bukan saja lebih baik ketimbang yang berlaku, melainkan juga yang secara fundamental berbeda. Demokratisasi ekonomi, terutama melalui transformasi dalam sistem produksinya, merupakan keniscayaan.

Chico Mendes, aktivis lingkungan dari Brasil, sudah mengingatkan bahwa tanpa perjuangan kelas, upaya untuk melindungi atau menyelamatkan lingkungan--atau, katakanlah, upaya menyeimbangkan pelestarian hutan, pembangunan berkelanjutan, dan kesejahteraan masyarakat--“hanya [semacam] berkebun”. Satu meme yang beredar di media sosial memberikan variasinya: “Environmentalisme tanpa perjuangan kelas adalah menggunakan sedotan kertas, sementara orang-orang kaya terbang sembilan menit dengan jet pribadinya.”

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

4 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua