Crazy Little Heaven - Pandangan Bule tentang Indonesia Saat Ini
Kamis, 20 Agustus 2020 16:10 WIBBuku kisah perjalanan membelah Borneo yang menggambarkan kondisi sejarah, sosial, budaya dan alam Indonesia karya Mark Hewrad. Mark adalah seorang Tasmania (Australia) yang lama bermukim di Indonesia.
Judul: Crazy Little Heaven – an Indonesian Journey
Penulis: Mark Heyward
Tahun Terbit: 2013
Penerbit: Transit Lounge Publishing
Tebal: xv + 253
ISBN: 978-1-921924-50-7
Seperti halnya India dan Tiongkok, Indonesia adalah sebuah kawasan yang sangat kaya dengan alam, budaya dan sejarah. Indonesia – yang dulunya lebih sering disebut sebagai Nusantara adalah sebuah wilayah yang eksotik untuk para pelancong yang mengagumi kebudayaan, keindahan alam dan sejarah. Bahkan Indonesia memiliki keunggulan dibanding dengan Tiongkok dan India. Sebab Indonesia adalah engeri kepulauan, sementara Tiongkok dan India adalah negara daratan. Sebagai negeri kepulauan tentu Indonesia memiliki keragaman yang lebih kaya daripada kedua wilayah eksotik tersebut. Seperti halnya India dan Tiongkok, Indonesia sudah menjadi sasaran para pelancong. Catatan I-Tsing yang mengunjungi Sriwijaya, Ibnu Batutah yang mengunjungi Aceh dan Ma Huan yang mendampingi Cheng Ho bermuhibah ke Jawa adalah beberapa pengelana yang pernah menorehkan pena tentang Nusantara.
Tapi harus diakui bahwa catatan perjalanan yang ditulis oleh para pengelana tak sebanyak tulisan tentang Tiongkok dan India. Apalagi di jaman modern ini. Lebih-lebih sebuah catatan perjalanan yang mengungkap alam, budaya dan sejarah secara sastrawi. Sangat jarang!
Memang ada beberapa karya catatan para pejalan yang menorehkan pengalamannya tentang nusantara. Salah satu contohnya adalah catatan perjalanan Alfred Russel Wallace yang ditulisnya dalam buku The Malay Archipelago yang diindonesiakan menjadi Kepulauan Nusantara. Wallace adalah seorang pengelana yang cermat mencatat tentang flora dan fauna yang ditemuinya saat menjelajah Nusantara. Dari pengamatannya tentang flora dan fauna Nusantara, Wallace berhasil menggagas teori evolusi. Wallace jugalah yang mengusulkan adanya garis imajiner yang memisahkan Nusantara menjadi dua bagian. Bagian yang bernuansa Asia dan bagian yang bernuansa Australia. Dalam buku tersebut Wallace juga menyinggung tentang budaya dan kodisi sosial yang ditemuinya.
Di abad 21 ini muncul lagi sebuah buku catatan perjalanan yang menggambarkan Indonesia dengan cara yang sangat menarik. Buku tersebut adalah “Crazy Little Heaven” karya Mark Heyward. Menarik karena ditulis dalam alur perjalanan petualangan membelah Borneo selama tujuhbelas hari. Melalui catatan perjalanan tersebut Mark merefleksikan penemuannya akan Indonesia sebagai orang asing yang cukup lama tinggal di Indonesia. Mark bahkan telah menjadi bagian keluarga Indonesia karena ia menikah dengan gadis Indonesia asal Jogja.
Mark adalah orang Tasmania yang berkarier panjang di Indonesia. Mula-mula ia menjadi guru di Sekolah Internasional yang didirikan oleh sebuah perusahaan tambah di Sangatta di Kalimantan Timur dan kemudian selama hampri 20 tahun menjadi konsultan pendidikan di Indonesia. Keluarga keduanya adalah bersama dengan seorang gadis Jogja dan dua anak lelaki hasil perkawinannya. Mark tinggal di Lombok, tetapi lebih sering berada di Jakarta karena tuntutan pekerjaan.
Mark menuturkan pengalamannya melakukan perjalanan melintasi jantung Borneo dari timur (Samarinda) ke barat (Pontianak) yang dilakukan dengan beberapa orang pada bulan Agustus 1994. Ia menelusuri jalur sungai Mahakam dari Kalimantan Timur menuju perbatasan Kalimantan Barat, kemudian turun menelusuri alur Sungai Kapuas menuju ke Pontianak. Tim terdiri dari 5 orang bule, satu orang Jawa dan ditemani oleh satu orang Flores dan 3 orang Dayak. Tiga orang Dayak tersebut, selain sebagai penunjuk jalan juga sebagai tukang bawa barang (porter).
Mengapa saya menyebut bahwa buku ini sangat menarik? Sebab Mark menuliskan Indonesia sebagai sebuah sorga kecil yang gila melalui alur yang jelas, yaitu alur perjalanan penjelajahan membelah Borneo yang dilakukannya di tahun 1994. Dalam penuturan penjelasajahnya tersebut, Mark membuat lorong-lorong pengamatannya tentang Indonesia sambil berefleksi tentang kehidupan. Mark sangat lincah memasukkan pandangannya tentang sejarah, budaya dan kondisi sosial Indonesia serta pandangannya tentang hidup. Sebuah kejadian kecil dalam perjalanan bisa kemudian memberinya ruang untuk menyampaikan pengalamannya tentang Indonesia mengalir dalam kalimat-kalimatnya. Contohnya, kekecewaan kepada Petros - seorang Flores yang menyertainya dalam perjalanan, membawanya berkisah tentang orang-orang Flores. Ketika ia melewati perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, ia menggunakan momentum tersebut untuk mengisahkan perubahan hidupnya dari keluarganya yang lama ke keluarganya yang baru. Ia menuliskan renungan-renungannya saat harus memutuskan menikah secara Islam dengan seorang gadis Jawa yang mengawali hidup barunya dengan gairah barunya. Jadilah catatan perjananan, pandangan Mark tentang Indonesia yang indah tetapi penuh kegilaan dan pandangan tentang kehidupan menyatu dalam rangkaian manis paragraf-paragraf yang disusunnya.
Dalam buku ini Mark menggunakan alur yang jelas, yaitu kronologi perjalanan lintas Borneo dari timur ke barat. Dengan alur kronologis dan geografis, saya bisa mengikuti bagaimana sesungguhnya perjalanan yang penuh petualangan tersebut dilakukan. Rombongan Mark ini menempuh jalur yang berlawanan dari jalur yang ditempuh oleh Anton William Nieuwinhuis. Nieuwinhuis menjelajahi Kalimantan dari Pontianak ke Samarinda pada tahun 1896-1897. Karya A. W. Nieuwinhuis telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Dari Pedalaman Borneo: Penjelajahan dari Pontianak ke Samarinda 1894” oleh Gramedia pada tahun 1994. Ia menggambarkan kesulitan medan yang dilalui, tawar-menawar harga yang seringkali penuh tipu dengan orang-orang yang menjadi pengantarnya dan orang-orang yang disinggahi selama perjalanan, keindahan alam dan detail perjalanan lainnya yang sangat menarik. Ia menggambarkan suasana sungai yang dilewatinya, lanskape alam, gua-gua kapur, desa/kota kecil yang disinggahinya dan kerusakan hutan yang ditemuinya. Mark menuliskan kisah perjalanannya ini dengan begitu baik, sehingga imajinasi saya terhadap sebuah lokasi, kejadian atau suasana perjalanan tersebut terangsang. Seakan saya sendiri yang berada di dalam tim penjelajah tersebut.
Mark menuangkan fakta dan pendapatnya tentang sejarah Indonesia. Ia memasukkan kepingan sejarah Indonesia yang diketahuinya dari para pelaku langsung, atau dari pengalamannya sendiri. Kisah Benny Murdani yang seharusnya sudah tertembak mati saat berperang di Borneo didapatnya dari Terry Holland, seorang Manager Umum Sumber Daya Manusia di sebuah pertambangan di Sangata yang sebelumnya adalah tentara yang sudah membidikkan senjatanya kepada perahu yang didalamnya ada Benny Murdani. Kisah terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti ditulisnya berdasarkan kejadian yang disaksikan langsung oleh kawannya yang bernama Billy yang berada di lokasi. Kepedihan tsunami Aceh ditulisnya berdasarkan kisah Pak Ridwan yang keluarganya selamat dari gulungan ombak tsunami. Kerusuhan rasialis di Jakarta menjelang runtuhnya Orde Baru dan kerusuhan bernuansa agama di Lombok yang adalah pengalaman pribadinya. Masih banyak kepingan sejarah yang diabadikan oleh Mark dalam buku ini. Dalam memandang sejarah Indonesia, Mark tak segan memberi komentar yang kadang cukup keras.
Tentang hutan dan orangutan, Mark banyak menyoroti hancurnya hutan Kalimantan, khususnya di era Orde Baru. Kerakusan akan kayu hutan dan pengembangan perkebunan sawit telah menghancurkan hutan Kalimantan. Bukan hanya hutan yang hilang, tetapi masyarakat asli yang hidup di dalam hutan juga tergagap dalam upayanya masuk ke jalur hidup modern. Ia berkisah tentang orang-orang Punan yang semakin sulit mendapatkan hasil buruan karena hutan semakin jarang. Mark secara khusus berkisah tentang orangutan. Ia mengisahkan perjumpaannya dengan orangutan saat ia menjadi guru di Sangatta, saat ia berjumpa dengan Willie Smith di Balikpapan serta kunjungannya ke Camp Leakey di Taman Nasional Tanjungputing.
Mark adalah seorang pengamat sosial yang jeli. Ia mengamati budaya Jawa yang dikenalnya cukup baik karena ia telah menjadi bagian di dalamnya. Mark menggambarkan dengan sangat baik bagaimana orang Jawa dan orang Indonesia mengelola perbedaan pendapat dan kemarahan. Orang Jawa dan orang Indonesia pada umumnya cenderung mengabaikan perbedaan pendapat dan kemarahan dengan cara mendiamkannya daripada mendialogkannya. Dengan cara menghindari perbedaan pendapat maka diharapkan akan hilang sendirinya ditelan waktu. Namun jika perbedaan dan kemarahan tersebut tak bisa ditahan, akan meledak menjadi sebuah kemurkaan yang parah.
Dalam hal budaya, Mark menggambarkan betapa Indonesia saat ini sedang mengalami situasi krisis budaya. Dua budaya dominan yang diungkapkan adalah budaya Barat dan budaya Arab. Generasi sekarang yang ada di Indonesia sedang menggandrungi dua budaya dari luar tersebut dan kurang memahami budaya asli yang selama ini telah terbukti mampu menjaga harmoni. Ia menggunakan pengalaman keluarga istrinya yang memegang teguh budaya Jawa, tetapi generasi yang sekarang mulai meninggalkannya. Salah satu adik istrinya lebih suka bermain gitar dan mendengarkan lagu-lagu bergenre Barat. Sedang adik lainnya tega bertengkar dengan keluarganya karena menganggap bahwa keluarganya tidak sungguh-sungguh menjalankan ajaran agama. Di tataran publik pun kegandrungan akan budaya modern dari Barat dan budaya Arab yang berbalut agama sangat terlihat nyata.
Judul yang dipilih oleh Mark untuk menggambarkan isi bukunya memang sangat tepat. Crazy Little Heaven. Indonesia memang sebuah sorga dengan segala kegilaannya. Mark menikmati tinggal dan menjadi bagian dari kegilaan di sekeping sorga yang bernama Indonesia. Bukan begitu Mark?
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Merah Putih Golek Kencana - Peran Orang Tionghoa di Masa Perjuangan Kemerdekaan
Rabu, 17 Januari 2024 12:48 WIBAssalamualaikum Beijing - Ketika Cina bertemu dengan Islam dalam Cinta
Minggu, 14 Januari 2024 16:17 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler