Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Alumnus Universitas Sebelas Maret. Menekuni isu sains, bahasa, dan kebudayaan. Buku terakhir yang ditulis adalah Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), Bersandar pada Sains (2022), dan Dari Luar Bioskop: Menonton Oppenheimer dari Jarak yang Jauh (2023).
Simulakra Seoul dan Ilusi Akademik
Minggu, 8 Juni 2025 09:22 WIB
Betapa sering mimpi studi ke luar negeri dimaknai sebatas pada teknis dan administratif serta kepentingan individu lainnya.
***
Kita terus berada dalam sebuah simulakra, sebagaimana gagasan Jean Baudrillard (1981) yang terus bertransformasi. Di dalamnya berhubungan tren dan gaya hidup: mode pakaian, makanan, musik, hingga cara berbahasa. Kesan itu didapatkan selesai menonton film Cinta Tak Seindah Drama Korea (2024), garapan Meira Anastasia dan Ernest Prakasa. Film ini menghadirkan kisah menarik seputar pengaruh budaya Korea, sekaligus menggugat romantisme berlebihan terhadapnya.
Drama Korea telah menjadi fenomena budaya di Indonesia. Fenomena ini pernah menjadi bagian kajian Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (Kepustakaan Populer Gramedia, 2015). Ariel menyigi akan meruyaknya budaya korea tak lepas dari kelompok musik yang lazim disebut dengan K-POP.
Hal itu kemudian memberikan pengaruh pada angan-angan akan identitas. Jelas Ariel berupa, “identitas baru sebagai seorang Asia modern dan kosmopolitan.” Dalam konteks film, tentu seiring berjalannya waktu, drama Korea adalah tayangan yang membuat loncatan imajinasi bagi para penonton. Imajinasi itu bisa jadi tak terskema di film-film produksi dalam negeri.
Film Cinta Tak Seindah Drama Korea mengisahkan tiga perempuan yang berlibur ke Seoul, Korea Selatan dengan nasib asmara. Tokoh Dhea, misalnya, semula menjalin hubungan serius dengan Bimo. Namun selama di sana, ia bertemu Julian—teman lama semasa SMA. Kembali bersemi rasa di antara mereka, hingga akhirnya terungkap bahwa Bimo adalah penyebab kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua Dhea. Kisah ini tak berakhir manis seperti drama Korea: Dhea meninggalkan Bimo dan memilih Julian. Realitas tak seindah fiksi.
Sebagaimana dalam film, kita sering menjadikan luar negeri sebagai ruang fantasi dan pencapaian ideal. Namun bagaimana kenyataan ketika fantasi itu bersinggungan dengan dunia akademik yang konkret? Saya merasa dejavu dalam percakapan daring dengan dua teman yang sedang menempuh program pascasarjana—masing-masing di Inggris dan Amerika Serikat, mengambil program master di bidang fisika dan biologi molekuler. Pengalaman mengikuti buku-buku garapan para saintis dari kedua negara tersebut—meski sebatas bentuk terjemahan—terus terang saya berkepentingan pada mereka.
Kepentingan itu dilandasi rasa penasaran terhadap keberadaan tiap tokoh yang pernah terbaca hingga budaya akademik di sana. Ini tentu sebagai bagian kecil skeptisisme untuk memperoleh jawaban bahwa betapa pun gagasan mereka telah melintasi banyak negara lewat upaya penerjemahan, bisa jadi tersibak kisah lain yang belum tersentuh.
Misalkan pada teman saya yang di Inggris, pernah saya lontarkan pertanyaan apakah sejauh berada di sana sudah sempat mengunjungi tempat persemayaman Isaac Newton. Fisikawan lewat mahakaryanya, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica (1687), Newton melandasi perkembangan fisika klasik. Saya berangan-angan, teman saya setidaknya mengirim potret makamnya, bahkan syukur-syukur berkisah representasi keberadaan Newton di publik sekitar dalam konteks kini.
Saya juga bertanya sosok Jim Al-Khalili, ahli fisika kuantum di Universitas Surrey, Inggris. Beberapa bukunya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Saya penasaran dengan aktivitas kesehariannya yang selain mengajar, juga menulis sains untuk kalangan publik melalui media yang ada di Inggris. Pikir saya, mumpung berada di sana, teman saya mengikuti atau bahkan ia sangat berpeluang besar andaikata berencana menemui Jim. Namun, ternyata yang terjadi tidak sebagaimana dalam bayangan saya.
Begitu pula teman saya di Amerika Serikat. Beberapa nama saintis tersebar di kampus sana yang populer di Indonesia pun belum pernah ia dengar sebelumnya. Saya tak menyalahkan mereka. Namun, apa yang terjadi pada dua kawan tersebut bisa jadi membababarkan refleksi mendasar akan motif studi di luar negeri bagi banyak orang Indonesia. Betapa sering mimpi studi ke luar negeri dimaknai sebatas pada teknis dan administratif serta kepentingan individu lainnya. Namun, mau apa dan bagaimana kadang tak dipikirkan dengan matang.
Kita dirundung pada tantangan kolektif, bahwa yang paling penting adalah ke luar negeri. Kita mungkin lupa, sosok macam Amien Rais, Ahmad Syafi’i Ma’arif, hingga Nurcholish Madjid ketika berkesempatan melanjutkan studi di Amerika Serikat berimajinasi panjang—menautkan orientasi pendidikan dan visi keindonesiaan. Gus Dur menuliskan esai berjudul “Tiga Pendekar dari Chicago” (Majalah Tempo, 27 Maret 1993) sebagai rekaman biografi intelektual mereka yang merupakan generasi awal cendekiawan Indonesia berkuliah di Universitas Chicago.
Sosok Amien Rais lah yang berkepentingan menerjemahkan gagasan intelektual progresif dari Iran, Ali Syariati. Ahmad Syafi’i Ma’arif membawa gagasan Fazlur Rahman, pembimbingnya saat di Chicago. Sementara Nurcholish Madjid membawa semangat pembaharuan Islam. Tiga sosok itu menjadi contoh saat melanjutkan studi dengan tidak sebatas dalih, “yang penting kuliah di luar negeri”. Walakin, didasari akan visi keintelektualan dan pertanggungjawaban saat kembali ke Indonesia.
Keteguhan sikap yang naga-naganya makin sulit di era kini, dan perlu dijadikan refleksi bersama bagi pendidikan kita. Itu berkelindan pada arus percepatan teknologi digital. Hasrat beberapa pihak mengajak dan memengaruhi para mahasiswa yang sedang menempuh sarjana untuk melanjutkan studi di luar negeri sering dijadikan forum hingga konten dalam media sosial. Sayangnya, mereka acap mengabsenkan misi keilmuan, keberpihakan, dan keindonesiaan.
Mereka yang punya privilese untuk belajar ke luar negeri itu sejatinya menjadi harapan bagi masa depan Indonesia dengan segenap tantangan yang terjadi. Namun, dengan pengabaian tadi, mereka dapat berpeluang gagal menunaikan harapan intelektual. Sebab, imajinasi yang dibangun sebatas pemenuhan hasrat akan orientasi pribadi. Bisa jadi, mereka justru dari kejauhan malah mengidap logika internalisasi kolonialisme—membanggakan negara yang ditinggali saat ini, tapi merendahkan negaranya sendiri.[]

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Simulakra Seoul dan Ilusi Akademik
Minggu, 8 Juni 2025 09:22 WIB
Mekanisasi Ilmu dan Kekosongan Kebudayaan
Sabtu, 3 Mei 2025 11:50 WIBArtikel Terpopuler