Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Diamnya Presiden, Matinya Aspal Buton, dan Sumringahnya Aspal Impor

Senin, 9 Juni 2025 08:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Prabowo
Iklan

Maka matinya aspal Buton sejatinya bukan karena takdir, melainkan karena ketidakberanian seorang Presiden Prabowo Subianto untuk berpihak.

***

Di ujung tenggara Sulawesi, tanah Buton menyimpan harta karun terpendam yang tidak dimiliki banyak negara: aspal alam. Kekayaan ini telah dikenal sejak masa kolonial Belanda dan bahkan sempat menjadi komoditas ekspor. Namun, ketika pembangunan infrastruktur di Indonesia tengah berpacu, potensi aspal Buton justru seperti hilang dalam senyap.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aspal Buton bukan sekadar material tambang. Ia adalah sumber daya strategis nasional. Dengan cadangan lebih dari 650 juta ton, Buton sejatinya mampu menyuplai kebutuhan aspal dalam negeri selama ratusan tahun. Namun, hingga hari ini, potensi itu belum mendapat tempat yang semestinya dalam peta besar pembangunan Indonesia.

Aspal dari berbagai negara terus berdatangan mengisi proyek-proyek strategis nasional. Sementara itu, kekayaan lokal hanya menjadi penonton dari kejauhan. Padahal, persoalannya bukan terletak pada kemampuan atau kualitas, melainkan pada arah kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada sumber daya sendiri.

Ketika Presiden Prabowo Subianto mengawali pemerintahannya, publik sempat berharap akan muncul babak baru dalam pemanfaatan sumber daya lokal. Janji-janji kampanye tentang kemandirian ekonomi, hilirisasi, dan nasionalisme ekonomi memberi secercah optimisme. Namun, optimisme itu masih menunggu realisasi yang nyata.

Belum terdengar pernyataan resmi yang menolak potensi aspal Buton. Namun dalam ranah kebijakan, diam bisa bermakna. Ketika tidak ada langkah afirmatif, ketika tidak ada regulasi yang membela, maka diam itu perlahan mematikan. Bukan hanya mematikan tambang, tetapi juga memadamkan harapan masyarakat lokal.

Aspal Buton bukan sekadar batuan bitumen yang menanti diolah. Ia mewakili impian banyak anak muda Buton untuk turut serta dalam pembangunan nasional, membuka lapangan kerja baru, serta mengangkat daerah mereka dari ketertinggalan. Ia juga mencerminkan harapan pemerintah daerah yang menanti keberpihakan nyata dari pusat.

Berbagai uji coba dan kajian telah membuktikan bahwa aspal Buton bisa diolah menjadi produk berkualitas. Bahkan beberapa jalan nasional dan tol telah menggunakan material ini dengan hasil memuaskan. Artinya, potensi ini bukan lagi gagasan mentah. Ia telah teruji, tinggal diberi ruang.

Namun kenyataannya, akses ke proyek-proyek besar tetap sulit bagi produsen lokal. Regulasi teknis dan mekanisme pengadaan seringkali menjadi pagar yang tidak mudah ditembus. Sementara aspal impor, dengan segala kemudahannya, tampak lebih diterima dan tersenyum lega di berbagai proyek jalan negara.

Masalah ini bukan soal kemampuan industri lokal semata. Ini menyentuh aspek mendasar tentang arah dan keberpihakan. Swasembada aspal bukan hanya mimpi, tetapi bisa menjadi kebijakan nasional jika negara mau mengambil peran aktif, bukan sekadar menjadi penonton pasar.

Presiden Prabowo Subianto adalah pemimpin yang memahami narasi Paradoks Indonesia: negara kaya yang belum mampu mensejahterakan rakyatnya. Dalam konteks ini, aspal Buton adalah salah satu wajah dari paradoks tersebut. Di saat kekayaan lokal tersedia, mengapa justru kita membuka lebar pintu untuk aspal luar?

Buton tidak menuntut keistimewaan. Yang mereka inginkan hanyalah kesempatan yang adil. Agar pembangunan nasional tidak hanya terkonsentrasi di pusat, tetapi benar-benar merata, hingga menyentuh pulau-pulau yang selama ini tertinggal dalam narasi besar pembangunan.

Negara memiliki tanggung jawab untuk membina dan memperkuat industri lokal. Termasuk memastikan bahwa kualitas dan kontinuitas pasokan aspal dari dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan nasional. Ini bukan soal proteksi berlebihan, tetapi keberanian untuk percaya pada kekuatan sendiri.

Jika ketergantungan pada aspal impor terus dipelihara, maka bukan hanya devisa yang tergerus. Kita juga kehilangan peluang membangun ekosistem industri aspal nasional, menghidupkan ekonomi daerah, dan menegaskan kembali makna kemandirian ekonomi dalam arti yang konkret.

Mungkin sikap diam selama ini lahir dari kehati-hatian. Namun, kehati-hatian yang berlebihan dan berkepanjangan bisa menjadi bentuk pembiaran. Dan pembiaran terhadap potensi strategis dalam negeri adalah kerugian yang tidak seharusnya diwariskan kepada generasi berikutnya.

Sudah saatnya narasi kemandirian ekonomi menyentuh sektor-sektor yang tersembunyi dari gemerlap sorotan. Tidak hanya nikel, emas, atau energi hijau. Tetapi juga aspal Buton yang selama ini bertahan dalam senyap, menunggu pengakuan dan kesempatan.

Negara tidak perlu menunggu semua hal menjadi sempurna untuk memulai. Justru keputusan yang tegas dan terukur akan menjadi pijakan awal untuk membangun kepercayaan dan kapasitas industri dalam negeri. Langkah kecil dari pusat bisa membawa perubahan besar di daerah.

Aspal Buton tidak meminta dielu-elukan. Ia hanya menginginkan kehadiran negara. Karena di balik senyum lebar aspal impor, ada kegamangan yang harus dijawab: apakah Indonesia ingin terus menjadi pasar bagi dunia, atau bangkit sebagai bangsa yang berdiri di atas potensi sendiri?

Presiden Prabowo Subianto masih memiliki ruang dan waktu. Kondisi sekarat yang sedang dialami Buton belum terlambat untuk disembuhkan. Tetapi keberpihakan tidak cukup dinyatakan hanya dalam pidato. Ia harus hadir dalam kebijakan nyata, keputusan strategis, dan keberanian untuk melawan arus nyaman.

Sejarah bangsa ini mencatat bukan hanya keberhasilan membangun jalan, tetapi juga keberanian untuk menentukan jalan mana yang paling layak ditempuh. Pertanyaan yang tersisa kini: "Akankah Presiden Prabowo Subianto tetap memilih diam, atau mulai menunjukkan nyali untuk melangkah bersama aspal Buton?"

Diamnya Presiden adalah isyarat yang paling nyaring bagi matinya aspal Buton: ketika suara rakyat tidak digubris dan potensi lokal terus diabaikan, maka jalan menuju kemandirian nasional justru ditutup oleh kebijakan yang permisif terhadap impor aspal. Di saat Buton merintih menanti kematian, aspal impor justru bersorak sumringah menyambut anggaran triliunan rupiah dari negara.

Maka matinya aspal Buton sejatinya bukan karena takdir, melainkan karena ketidakberanian seorang pemimpin untuk berpihak. Jika diam adalah sikap Presiden, maka sejarah akan mencatat: Indonesia pernah punya sumber daya alam besar, tetapi mirisnya, lebih percaya pada kapal asing daripada emas hitam di tanah sendiri.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indrato Sumantoro

Pemerhati Aspal Buton

6 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua