Seniman Pinggiran Surabaya yang Bermimpi Cerdaskan Pembecak

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sumadi, seniman pinggiran Surabaya, pembecak, laki-laki tua yang tak lelah menulis, melukis, dan berkarya.

Di rumah di kawasan Ampel, Surabaya, laki-laki tua terlihat sibuk. Bangunan rumah dua lantai berukuran 3.5 x 5 di dalam gang sempit itu, ia tinggal bersama isteri dan keempat anaknya. Ialah Sumadi, seniman pinggiran Surabaya yang tak lelah menghasilkan karya.

Siang itu, Pakdhe Madi sapaan akrabnya, tampak merapikan perkakas rumah. Di beberapa sisi terlihat buku-buku, koran, gulungan lukisan, album foto, juga beraneka warna kaleng cat. Di lantai dua rumah itu, puluhan lukisan berbingkai digantung di tembok. Beragam tema. Ada seorang pembecak tengah mengayuh becak dengan dua orang penumpang, sekelompok anak-anak yang menerbangkan layang-layang, interaksi para perempuan di pasar, dan terlihat segerombol perempuan berpakaian terbuka yang tak saya paham maksudnya.

“Ya ini yang sedang kukerjakan sekarang. Ada peminat ya, syukur,” ujarnya sambil menggulung kembali lukisan yang diperlihatkan kepada saya. Sebuah lukisan yang mengambarkan sekelompok anak-anak sedang menerbangkan layang-layang dengan mimpi-mimpi tertulis di layang.

Di sisi yang lain masih di lantai yang sama, seorang perempuan duduk di depan kompor sambil mengupas beberapa jenis macam sayur. Duduk di sebelahnya seorang anak laki-laki seumuran SD. Perempuan itu adalah Muslihah, istri Sumadi.

“Hasil kreatifitas memang harus dipamerkan. Kalau tidak, mana bisa dilihat orang lain,” ujar Madi.

Saya mengenal Pakdhe Madi tahun 2014. Waktu itu, di hari sumpah pemuda, ia bersama rekan-rekan mahasiswa menggelar pertunjukan pembacaan puisi di depan gedung kebudayaan salah satu kampus kenamaan di Surabaya. Dalam pembacaan puisi itu, ia tak lepas dari becak miliknya. Becak bercat putih, hitam, merah, itulah yang senantiasa menjadi pendamping kala memenuhi undangan pembacaan puisi di beberapa tempat di wilayah Surabaya.

“Aku menyebut semua kegiatan sastra yang kujalani dengan istilah sastra kabur kanginan. ‘Kabur’ karena kegiatannya ada dimana-mana, ‘kanginan’ berarti akan banyak reverensi yang masuk supaya banyak dijadikan ide untuk nulis,” kurang lebih begitu ujarnya ketika itu.

Ia memang sering memenuhi undangan untuk membacakan puisi. Undangan itu datang dari mahasiswa hingga komunitas-komunitas seni ‘pinggiran’ di Surabaya. Karena kecintaan terhadap puisi dan kegilaan berekspresi, secara pribadi ia sering menggelar beragam diskusi, baik di warung kopi, jembatan, jalan, halaman gedung.

“Aktivitas apapun bisa dimanapun. Kita tak harus mengunakan gedung-gedung mewah,” ujar Madi yang pernah menggelar diskusi di jalanan depan gang rumahnya bersama rekan-rekan mahasiswa dan komunitas itu.

Belasan tahun jadi pembecak

Sudah sejak tahun 2004 Madi menghidupi keluarga dengan mengayuh becak. Melalui becaklah ia menggantungkan hidup, meski tak banyak yang ia dapat dari sana. Isterinya adalah perempuan yang ia akui tak banyak mengeluh ataupun menuntut. Muslihah, mencari tambahan penghasilan keluarga dengan memanfaatkan mesin jahit. “Nyonya buka konfeksi, permak baju-baju tetangga,” ujar Madi.

Bagi Madi, isterinya serupa berlian dalam hidupnya. “Lha income piro ae gak ngomel,” ujarnya dengan logat khas suroboyoan.

Jauh sebelum jadi pembecak, Madi adalah seorang petugas foto keliling. Pekerjaan itu paling lama ia geluti. Permintaan foto prawedding sering ia terima kala itu. Dari album foto yang ia tunjukkan, saya berkesimpulan bahwa jiwa seni telah tumbuh dalam diri Madi bahkan sejak ia masih remaja. Salah satu foto dari tumpukan album itu, memperlihatkan Madi yang sedang membaca puisi bersama kawan-kawan sejawatnya.

“Itu sekitar awal tahun 80’an, membaca puisi dengan kawan-kawan kampung,” jelasnya dengan menunjuk salah satu foto yang sedang saya perhatikan.

Nampaknya ia paham betul, sebuah poto akan menjadi sejarah, membawa cerita hingga puluhan tahun mendatang, maka ia buat album-album foto itu. Dari album foto itu, saya melihat profesi ini menjadi hobi sekaligus ladang rezeki baginya. “Seperempat abad aku menggeluti profesi ini,” tandas laki-laki kelahiran Mei 1961 itu.

Namun, kisaran awal tahun duaribuan, profesi tukang foto keliling mau tak mau harus Madi tinggalkan. “Harusnya aku berinovasi dan mengikuti kemajuan teknologi. Tapi teknologi canggih butuh biaya,” ucapnya sambil tertawa.

Sepinya peminat foto keliling membuat kreatifitas Madi ikut diuji. “Aku bertanya ke isteriku, bagaimana kalau aku membecak? Kerjo opo ae sing penting halal. Kata isteriku. Itulah mengapa aku sebut isteriku adalah berlian dalam hidupku,” tambah Madi.

Ia sadari, kemajuan teknologi menuntut profesi tukang foto keliling juga mesti melek teknologi. Sebab di tahun-tahun itu, teknologi semakin berkembang, ditambah degan munculnya beragam handphone dengan beragam tipe dan jenis. Profesi Madi sebagai tukang foto keliling akhirnya tumbang.

Saya kemudian asal bertanya, “Mengapa Pakdhe memilih untuk menjadi membecak?” Jawaban yang ia lontarkan tak pernah saya duga. “Empati saya lahir dari becak. Empati saya terhadap pengemis, penggelandang, lahir dari becak,” ucapnya.

Selanjutnya, dari becak lah Madi banyak menulis puisi. Ia membaca saat tak ada penumpang, menulis saat tak ada orderan.

Suatu ketika, Madi menampilkan kreatifitasnya dengan perform di car free day Taman Bungkul, Surabaya, jujugan warga Surabaya yang ingin berolahraga di Minggu pagi. Ia membaca puisi dengan becak miliknya.

“Hasilnya mengagetkan karena bisa untuk hidup. Keanehan itu datangnya dari mereka, yang tak garis bawahi dengan kata ikhlas. Mungkin aku harus perform lain untuk membalas budi mereka,” ucapnya.

 

Menulis, melukis, dan berekspresi

Hingga kini, ratusan puisi ia hasilkan, baik yang tercetak dalam buku maupun yang tertulis tangan dalam buku catatan pribadi mliknya. Salah satu buku antologi puisi miliknya berjudul 99 Antologi Puisi Pleidoi Becakan. Kata pengantar buku dengan nama pena penulis ‘Madi Omdewo’ itu, ditulis oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan salah seorang dosen sastra di Universitas Airlangga, Surabaya, Bramantio.

Kini, Madi banyak menyalurkan kreatifitas dan ide-ide melalui lukisan. Akunya, keinginan melukis itu tak bisa ia bendung. Keterbatasan tak membuat ia berhenti untuk membuat karya. Saya pun nyaris tak percaya, beberapa gulung lukisan yang ia perlihatkan bukan dilukis di atas kain kanvas, melainkan di atas kain sarung.

Madi, tukang becak sekaligus seniman pinggiran Surabaya, memiliki cita-cita sederhana yang bahkan tak saya duga sebelumnya.

“Aku punya rencana membeli buku-buku motivasi. Misalnya seperi ternak lele, perkebunan. Per-100 buku kubagikan ke tukang becak. Kenapa buku? Dari 100 buku yang kubagikan itu, akhirnya mereka akan berfikir. Nah, satu tukang becak bisa termotivasi. Bagaimana kalau seratus buku itu bisa bertambah?,” ujarnya yang tentu membuat saya menelan ludah.

Sumadi, lelaki tua dengan keinginan hidup yang tak muluk-muluk. Lelaki tua yang ingin terus berkarya: menulis, melukis, berdiskusi, dan berekspresi.

“Separuh badan kita memang punya kita. Tapi setengahnya adalah milik rang lain,” katanya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Binti Quryatul Masruroh

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Urban

Lihat semua