Semangat Belajar Bapak Penjual Buku
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBCerita ini merupakan bukti bahwa pada terkadang, orang yang tidak mampu mengakses pendidikan secara formal justru dapat memaknai pendidikan itu sendiri.
Indonesia. Negara dimana keragaman masyarakatnya membentuk sebuah dinamisme tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara yang saat ini tengah berkembang di berbagai bidang. Perkembangan di bidang ekonomi hingga pendidikan terus ditingkatkan untuk kemajuan bangsa. Negara yang sesungguhnya memiliki jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbilang memadai untuk memajukan negara ini menjadi negara maju. Pendidikan sebagai parameter utama SDM bangsa menjadi salah satu hal yang harus dipertanyakan, apakah keberjalanannya sudah baik dan mampu meningkatkan kualitas SDM bangsa atau belum.
Jika berbicara lebih lanjut tentang pendidikan, ada satu hal yang menurut saya menarik untuk ditinjau. Yaitu bagaimana orang-orang yang telah terakses oleh pendidikan tidak mampu memanfaatkan hal tersebut dengan baik. Bahkan sebaliknya, orang-orang yang tidak mampu mengakses pendidikan secara formal justru terkadang mampu memaknai pendidikan itu sendiri dengan baik. Mengapa saya bisa berkata demikian? Sebentar lagi akan saya ceritakan pengalaman yang membuat saya berpikir seperti ini.
13 Desember 2015. Hari itu saya sudah memiliki janji dengan salah satu teman kuliah yang berasal dari jurusan Mikrobiologi, Reskha namanya. Kami sudah berjanji akan pergi ke salah satu seminar bersama. Karena letak kosan saya yang dekat dengan Balubur Town Square (Baltos) Bandung, akhirnya kami berjanji bertemu di Baltos pukul 15.00.
Ada satu hal yang menarik perhatian saya setiap melewati Baltos. Di beberapa minggu terakhir, saya sering melihat seorang bapak tua yang menjajakan buku juz ‘amma dan buku panduan shalat. Dan selama beberapa minggu itu pula, ketika melewati bapak tersebut dan ditawari jualannya, saya selalu menolak. Tapi tidak sore itu. Entah kenapa saya merasa iba dan akhirnya memutuskan untuk membeli salah satu buku jualannya. Dan dari pengalaman ini pulalah saya belajar banyak.
“Pak, mau beli bukunya satu ya, pak. Berapaan pak?”
“Oh boleh, 5 ribu neng.”
Saya kemudian membayar uang bukunya. Tidak berapa lama setelah itu, beliau lalu berkata:
“Kuliah ya neng? Dimana?”
“Iya pak, di ITB, hehehe” , ujar saya sambil cengengesan.
“ITB, excellent!” ujar bapak tersebut.
Saya hanya tersenyum kecil. Lalu bapak itu melanjutkan pertanyaannya:
Saya hanya tersenyum kecil. Lalu bapak itu melanjutkan pertanyaannya:
“Jurusan apa?”
“Teknik Fisika pak.”
“Ooohh Physics.......Engineering ya”, ujarnya sambil terbata-bata.
“Hehehe iya pak, Engineering Physics”, ujar saya membetulkan ucapannya.
“Udah tingkat berapa neng?”
“Tingkat 4 pak.”
“Wah udah mulai nyusun dong ya. Topik tugas akhirnya apa neng?”
“Iya pak hehehe. Tentang akustik rumah sakit pak.”
“Oh, hospital acoustics ya. Excellent!”
Semakin lama, saya semakin tertarik dengan pembicaraan ini. Beliau selalu berusaha menggunakan bahasa Inggris di setiap kalimat yang ia utarakan. Saya kemudian menanyakan asal daerahnya. “Bangka Belitung, neng”, ujarnya. Beliau lalu menceritakan berbagai hal mengenai Bangka Belitung. Mulai dari alamnya, hingga menceritakan mengenai pengiriman surat ke Pulau Belitong yang seringkali tersasar ke Pulau Bangka. Karena penasaran darimana beliau belajar bahasa Inggris, saya kemudian bertanya padanya.
“Bapak belajar bahasa Inggris darimana, pak?”
“Belajar otodidak neng. Hmm...self-learning. Saya cuma sekolah sampai SD, jadinya kalau mau belajar ya belajar sendiri neng. Kalau anak sekarang mah enak, akses pendidikan gampang, bisa belajar dari internet juga. Jaman saya internet mana ada, neng. ”
Pernyataan bapak itu membuat saya berpikir mengenai apa yang beliau ucapkan. Memang benar apa yang beliau katakan. Anak zaman sekarang memiliki akses pendidikan yang sebenarnya lebih mudah dibanding dengan zaman bapak tersebut bersekolah. Namun sayangnya, tidak semua orang yang terakses mampu memanfaatkannya dengan baik. Bahkan tidak jarang mereka menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar dan bersekolah. Dan seketika saya kagum dengan bapak ini. Beliau tidak memiliki akses pendidikan yang memadai, bahkan beliau hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar, namun keinginannya untuk belajar bahasa Inggris sangat luar biasa.
Melalui cerita ini pula, ada 1 kewajiban yang selayaknya dilakukan oleh kita yang mampu mengakses pendidikan kini. Kita memiliki kewajiban untuk menggunakan pendidikan untuk mendidik orang lain yang tidak memiliki keberuntungan seperti kita untuk menempuh pendidikan itu sendiri.
“Karena mendidik adalah tugas orang-orang terdidik”
Ah, terima kasih banyak, bapak penjaja buku yang saya temui di Baltos beberapa waktu lalu. Sayang sekali saya tidak sempat mengambil foto dan berbicara lebih banyak dengan beliau. Karenamu, kini saya berusaha untuk memaknai pendidikan sebagai sebuah tanggung jawab moral untuk bangsa ini. Jika kalian sekali-kali pergi ke Baltos dan bertemu dengan beliau, cobalah mengobrol dengannya sejenak. Saya yakin ada banyak pembelajaran yang bisa kalian dapatkan dari beliau tentang makna pendidikan. :)
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Semangat Belajar Bapak Penjual Buku
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler