Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Alumnus Universitas Sebelas Maret. Menekuni isu sains, bahasa, dan kebudayaan. Buku terakhir yang ditulis adalah Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), Bersandar pada Sains (2022), dan Dari Luar Bioskop: Menonton Oppenheimer dari Jarak yang Jauh (2023).

Mekanisasi Ilmu dan Kekosongan Kebudayaan

Sabtu, 3 Mei 2025 11:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Kecerdasan Buatan
Iklan

Rekonstruksi konsep mekanisasi ilmu dengan berlandaskan kebudayaan sebagai sebuah tindakan dalam menjuarakan keseimbangan atau keharmonisan.

***

Kita semua sedang menjalani seperempat bagian pada abad XXI. Terlepas dengan apa yang telah terjadi, upaya merefleksikan ilmu dan pengetahuan sesuai dengan konteks dan tantangannya adalah hal yang begitu dibutuhkan. Betapa pun itu tak terlepas dari anggapan umum yang menyiratkan, bahwa proses ilmu dan pengetahuan cenderung dimaknai sebatas pada “mekanis”. Yang akhirnya, dalam derap laju yang berkembang, corak keilmuan begitu khas pada ranah industri. Industri di sini yang dimaksudkan adalah gejala yang kemudian membentuk selera pasar bagi kalangan publik.

Hal tersebut menyiratkan satu problem filsafat di dalam keilmuan, yang membuat paradigma yang berlaku berupa mekanisasi ilmu. Mengapa hal tersebut bermasalah? Setidaknya ada dua hal mendasar. Pertama, fokus pengembangan ilmu hanya merujuk pada penggunaan atas keberadaannya di wilayah praksis—teknologi. Kedua, cara pandang komunal yang dengan sendirinya mengabaikan aspek pembangunan sumber daya manusia. Argumen C. A van Peursen (1988), “…bahwa suatu strategi atau perencanaan kebudayaan manusia tidak lengkap, bila tidak disertai evaluasi kritis,” penting dalam konteks ini.

Di dalam perkembangan wacana yang terjadi di wilayah publik, mengemuka situasi tumpang-tindih. Baik kebudayaan baru yang terjadi di masyarakat, pola kebijakan publik dari pemerintah, serta gelayut tantangan yang membayangi kita bersama. Cepat atau lambat, dalam permenungan yang sublim, kita dibawa pada pertanyaan akan mengapa hal itu terjadi. Salah satu akar mendasar yang terjadi kiranya adalah kekosongan ruang yang terbentuk dari aspek kebudayaan.

Hal itu mengingatkan gagasan Fritjof Capra dalam buku yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (Bentang, 1997). Bagi Capra, mekanisasi ilmu berdampak pada hilangnya kebudayaan. Secara historis, ia mendedah persoalan tersebut berupa tarikan pada abad XVII. Tepatnya saat revolusi ilmiah membuncah yang kemudian melandasi kemunculan Revolusi Industri Pertama—dengan aksiologi ilmu dan pengetahuan yang berlaku berupa penguasaan dan pengendalian alam.

Semangat itu diusung para pembaharu macam Francis Bacon, René Descartes, hingga Issac Newton. Memang benar, revolusi ilmiah membawa dampak kemajuan yang dahsyat bagi peradaban manusia. Namun, tak dapat ditampik bahwa keberjalannnya juga telah melahirkan konsekuensi pada beragam persoalan di abad XXI ini. Revolusi ilmiah dengan kedigdayaan sains memang tak dapat dibendung. Keberadaannya telah membawa perubahan yang radikal. Mulai dari mesin uap, mesin cetak, kekuatan komputer, bioteknologi, penyuntingan genom, hingga kini kecerdasan buatan.

Masalah yang kerap hadir tentu berpusar pada wilayah eksistensi manusia itu sendiri. Bahwa setiap kemajuan senantiasa menghadirkan tantangan. Tentu saja, ini menjadi proses uji keberadaan manusia dalam menaja perubahan dan peradaban. Negara dengan aktor-aktornya untuk menujukkan watak otonom acap keliru dalam menerjemahkan perkembangan teknologi. Teknologi sebatas merujuk pada penggunaan semata, namun tak didasari untuk visi pembangunan manusia. Belum lagi terhadap wilayah keterhubungan manusia terhadap alam, katakanlah masalah spesifik yang kita hadapi hari ini berupa krisis iklim.

Kenyataan tersebut menjadi keresahan Karen Armstrong, dalam karyanya Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam (Mizan, 2023). Tesis Armstrong, jalan yang perlu ditempuh ilmu modern untuk mengembalikan kesakralan hubungan manusia terhadap alam dan menjaganya adalah kembali menilik dan merefleksikan mitos dan di dalamnya juga menyangkut budaya.  Apa yang dapat dikata, jika hasrat terhadap sains dan teknologi pada realitas yang terjadi menyebabkan banyak hutan yang terus beralih fungsi, masyarakat adat terancam hidupnya, serta terdegradasinya alam dan ekosistem?

Kebudayaan sering direpresentasikan pada wujud benda maupun tradisi kesenian. Itu tidak salah, namun cakupan kebudayaan lebih luas dari itu. Pada aspek mendasar, kebudayaan mengilhami manusia di dalam melakukan penafsiran mutakhir dan memprediksi masa depan. Kebudayaan memuat nilai yang menjadi bekal peradaban. Bekal itu adalah peletakan akumulasi nilai yang terkadang mengharuskan kita menilik yang lampau untuk dikontekstualisasikan pada zaman kini. Dengan arti sederhana, kebudayaan memiliki sifat dinamis dan fleksibel.

Salah satu peran yang menyangga itu adalah pendidikan yang menekankan kemauan dialog. Keterbukaan juga perlu ditekankan, mengingat gagasan sains dan teknologi seperti yang berkembang didasarkan rancang bangun tradisi kontinental dan oksidental, seperti kerap ditekankan oleh mendiang Radhar Panca Dahana lewat tulisan-tulisannya sebagai kritik agar sains dan juga teknologi tidak diterima begitu saja ketika tanpa permenungan mendalam yang melibatkan budaya. Proses permenungan pada kebudayaan itulah kemudian menggerakkan kita untuk membangun visi pengembangan sains yang menekankan corak keindonesiaan.

Selain menempatkan sains dan teknologi sebagai produk budaya, menempatkan budaya dalam sains dan teknologi itu sebetulnya sama artinya dengan menjadikan manusia sebagai pusat dalam adopsi dan pengembangan sains dan teknologi tersebut (Ahmad Najib Burhani, 2025). Pengembangan sains dan teknologi mutlak memerlukan pelibatan akan visi humanisme sebagai konstruk transformasi bersama untuk mengedepankan martabat dan meminimalisir risiko maupun dampak buruk.

Di sanalah harapan besar akan hadirnya “Manusia Indonesia” dengan tidak terjebak mekanisasi ilmu atau sebatas menghasrati produk teknologi yang sarat ancaman dalam peradaban. Namun, mereka lah menjadi pionir dalam segala perubahan yang terjadi—berwujud kesadaran akan pembentukan manusia yang memiliki wawasan ilmu dan teknologi. Dengan begitu, mereka sadar, lewat pembudayaan yang terjadi, kunci manusia Indonesia tiada lain adalah mengarusutamakan budaya bernalar dan berpikir.

Langkah itu menjadi sarana untuk keluar dari jeratan “mekanisasi ilmu”, yang coraknya khas terjadi pada positivisme logis dengan mengandaikan apa yang seharusnya ada (das Sollen), bukan apa yang ada (das Sein). Itu kemudian menjadi konfigurasi status quo di dalam masyarakat. Pada praktiknya, cara pandang tersebut kemudian menjadi penyebab ketimpangan, kerusakan, dan kerakusan atas dasar klaim kuasa terhadap pengetahuan. Pendefinisian ilmu bergerak dan mudah dimanipulasi—yang suatu kelompok mencari keuntungannya semata, tetapi ada pihak lain yang harus menanggung kerugian yang ditimbulkan atas proses tersebut.

Rekonstruksi konsep mekanisasi ilmu dengan berlandaskan kebudayaan sebagai sebuah tindakan dalam menjuarakan keseimbangan atau keharmonisan, baik terhadap manusia maupun alam semesta. Dengan demikian, pengandaian ilmu tak bisa lagi dianggap netral dan teknis. Sejak awal, hadirnya mesti diposisikan berpihak, yakni pada kemaslahatan bersama serta kesadaran bernalar dan berpikir. Manusia bisa menggunakan sumber daya alam, namun jangan sampai merusak alam dan merugikan pihak lain. Begitu pula pada aspek kehidupan yang lain. Yang perlu dijadikan komitmen adalah tanggung jawab yang senantiasa mendasarkan pada kebutuhan, asas keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan hidup bersama.[]

Bagikan Artikel Ini
img-content
Joko Priyono

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Simulakra Seoul dan Ilusi Akademik

Minggu, 8 Juni 2025 09:22 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua