saya seorang tenaga pengajar di SMP Negeri 22 Bandar Lampung. saat ini menjadi Ketua MGMP PAI Kota Bandar Lampung, Pengurus APKS PGRI Propinsi Lampung. Pengurus Forum Guru Motivator Penggerak Literasi (FGMP;) Lampung. \xd Guru Penggerak angkatan 7 dan Pengajar Praktik angkatan 11 kota bandar Lampung.\xd saya aktif menulis di berbagai media elektronik daerah/nasional
Menakar Ketakwaan Berkurban antara Keikhlasan dan Riak Sosial
Sabtu, 7 Juni 2025 19:33 WIB
Berkurban menakar seberapa jauh mampu mengalahkan ego dan menegakkan keikhlasan dalam beribadah.
Oleh : Herimirhan, Ketua MGMP Pendidikan Agama Islam Kota Bandar Lampung, Pengiat Forum Guru Motivator Penggerak Literasi (FGMPL) Lampung. Pengurus APKS PGRI Propinsi Lampung. Pengajar di SMP Negeri 22 Bandar Lampung.
Ibadah kurban bukan sekadar ritual tahunan yang diulang setiap Idul adha. Ia adalah cerminan ketundukan manusia kepada Sang Pencipta, manifestasi dari nilai-nilai keikhlasan dan kepedulian sosial dalam satu momen spiritual.
Sejak peristiwa agung Nabi Ibrahim yang diuji untuk mengorbankan putranya, kurban menjadi simbol tertinggi ketakwaan. Ia bukan sekadar tentang hewan yang disembelih, melainkan hati yang pasrah dan ikhlas menyerahkan apa yang dicintai.
Namun, di tengah arus modernitas dan geliat media sosial, makna kurban tak jarang bergeser. Kurban berubah dari ibadah sunah yang sarat spiritualitas menjadi ajang pencitraan dan adu gengsi.
Riak sosial dalam ibadah kurban terlihat dari cara sebagian orang mengekspose hewan kurban mereka, mulai dari jenis, berat, hingga jumlahnya, seolah-olah keikhlasan diukur dari seberapa besar sapi yang disumbangkan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan reflektif: apakah kurban masih menjadi medium untuk menakar ketakwaan, atau sudah menjadi panggung untuk pertunjukan sosial?
Ketakwaan tidak terukur dari seberapa mahal hewan kurban seseorang, melainkan dari keikhlasan dalam berkurban. Allah tidak melihat daging dan darahnya, melainkan ketakwaan yang menyertainya (QS. Al-Hajj: 37).
Ironisnya, dalam praktik kontemporer, niat tulus berkurban seringkali dikaburkan oleh keinginan untuk terlihat dermawan di hadapan publik.
Di sisi lain, kita tidak bisa sepenuhnya menafikan bahwa publikasi kurban juga bisa berdampak positif, yakni menginspirasi orang lain untuk turut serta dalam ibadah kurban
Dalam konteks ini, niat menjadi penentu utama. Bila niatnya adalah syiar dan ajakan kebaikan, maka publikasi tidaklah keliru. Namun bila didasari riya, maka hilanglah substansi ketakwaan.
Inilah tantangan spiritual zaman ini: menjaga keikhlasan di tengah sorotan sosial dan eksistensi digital yang sulit dihindari.
Kurban, sejatinya, adalah ibadah yang menuntut perjuangan batin. Ia mengajarkan melepaskan keterikatan terhadap dunia, dan mendahulukan perintah Allah di atas ego dan rasa memiliki.
Tak mudah mengorbankan apa yang kita cintai, apalagi jika itu bernilai tinggi secara ekonomi. Namun justru di situlah letak ujian keimanan seorang mukmin Setiap orang mampu membeli hewan kurban, tetapi tidak semua orang mampu menjaga keikhlasan saat melakukannya.
Keikhlasan bukan sekadar niat tersembunyi, tetapi juga tentang bagaimana seseorang memaknai ibadah tersebut sebagai persembahan diri, bukan pameran identitas.
Ketika kurban menjadi alat pengangkat status sosial, maka ia telah kehilangan ruh ketundukan yang menjadi fondasi spiritualnya.
Di masyarakat, sering kita lihat pengkotak-kotakan jenis hewan kurban. Sapi dianggap lebih prestisius dibanding kambing, bahkan tak jarang muncul sindiran sosial bagi mereka yang hanya mampu berkurban kambing
Fenomena ini mencerminkan adanya kapitalisasi nilai-nilai ibadah. Kurban dinilai dari kulit luarnya, bukan dari kedalaman niat pelakunya.
Padahal Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah menilai besar-kecilnya kurban dari ukuran hewannya, tetapi dari nilai keikhlasan dan pengorbanan yang menyertainya.
Dalam skema ketakwaan, hewan kurban hanya simbol. Yang Allah nilai adalah hati yang tunduk dan patuh tanpa pamrih.
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk kembali merefleksikan esensi kurban sebagai bagian dari upaya menakar ketakwaan, bukan sebagai alat menakar pencitraan.
Menarik untuk dicermati, bahwa dalam masyarakat tradisional, semangat berkurban begitu kuat meskipun dari segi materi mereka terbatas. Mereka menyisihkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payah agar bisa membeli hewan kurban setahun sekali.
Hal ini menunjukkan bahwa ketakwaan tidak terkait dengan status ekonomi, tetapi dengan tekad dan kecintaan kepada Allah.
Sayangnya, semangat seperti ini mulai luntur di kalangan sebagian kaum urban yang lebih sibuk menampilkan kurban sebagai konten media sosial ketimbang meneguhkan niatnya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Bahkan, tak jarang konten video penyembelihan atau pemberian daging kurban dibuat seolah menjadi ajang "reality show" spiritual yang kehilangan kesakralannya.
Di titik ini, umat Islam perlu mengingat kembali bahwa kurban adalah ibadah yang penuh kesunyian hati, bukan kebisingan sorotan kamera.
Ketakwaan itu sunyi. Ia bekerja dalam ruang batin yang senyap, tanpa perlu validasi sosial. Maka, ketika seseorang mampu berkurban dengan penuh keikhlasan, tanpa berharap pujian, tanpa perlu diketahui banyak orang, itulah momen ketika ia berhasil menaklukkan nafsunya.
Namun bukan berarti publikasi ibadah sepenuhnya salah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, jika tujuannya edukatif, mengajak, atau menginspirasi, maka hal itu bisa menjadi ladang pahala juga.
Seperti halnya zakat, sedekah, dan wakaf yang bisa disampaikan secara terbuka untuk menumbuhkan budaya berbagi, kurban pun bisa menjadi syiar bila disampaikan dengan adab dan niat yang benar.
Persoalan mendasarnya kembali pada satu hal: niat. Dalam Islam, niat adalah ruh dari setiap amal. Tanpa niat yang benar, amal sebesar apa pun akan kehilangan nilainya di sisi Allah.
Dalam praktik kurban, kejujuran terhadap diri sendiri menjadi kunci utama. Apakah kita berkurban karena Allah, atau karena ingin dipuji?
Setiap Muslim diajak untuk melakukan muhasabah diri. Kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi juga menyembelih ego, menyembelih kesombongan, dan menyembelih keinginan untuk dipuja.
Bila kurban mampu melahirkan kerendahan hati, kesederhanaan, dan kepedulian sosial, maka ia berhasil menjalankan fungsinya sebagai sarana peningkatan ketakwaan.
Kurban juga harus menjadi momentum untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan, tanpa memandang status sosial, suku, atau latar belakang.
Ketika daging kurban didistribusikan secara adil dan menyentuh lapisan masyarakat bawah, maka ruh sosial dari kurban itu hidup dan berdampak.
Di sinilah letak kekuatan ibadah kurban: ia menyatukan dimensi vertikal (hubungan dengan Allah) dan dimensi horizontal (hubungan dengan sesama).
Maka, marilah kita jaga kesucian kurban. Jangan kotori dengan nafsu duniawi yang memalingkan niat dari Sang Pencipta ke mata manusia
Mari kita kembali kepada semangat Nabi Ibrahim: tunduk total kepada perintah Allah, meski berat, meski harus mengorbankan yang paling berharga.
Kurban adalah cermin, tempat kita menakar seberapa jauh kita mampu mengalahkan ego dan menegakkan keikhlasan dalam beribadah.
Karena pada akhirnya, kurban bukan soal seberapa besar daging yang disumbangkan, tapi seberapa besar keikhlasan yang dikorbankan di hadapan-Nya.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Menakar Ketakwaan Berkurban antara Keikhlasan dan Riak Sosial
Sabtu, 7 Juni 2025 19:33 WIB
Berkurban Bukan Sekadar Daging, Tapi Jembatan Welas Asih antar Sesama
Sabtu, 7 Juni 2025 12:46 WIBArtikel Terpopuler