Kuntoro Boga Andri. Alumnus IPB 1998, gelar Magister (2004) dan Doktor (2007) dari Saga dan Kagoshima University, Jepang. Peneliti Utama LIPI (2017) dan pernah sebagai Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2016-2018), Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (2018), sebelumnya Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan (2018-2024), dan Kepala Pusat BSIP Perkebunan (2024-2025). Sejak 25 Maret 2025 menjabat Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementan.
Agroforestri Perkebunan, Opsi Ekonomi Hijau untuk Iklim dan Lingkungan
Sabtu, 7 Juni 2025 09:18 WIB
Sektor pertanian dan perkebunan Indonesia perlu bertransformasi menjadi bagian dari solusi, dengan pendekatan berkelanjutan seperti agroforestri
***
Pemanasan global dan kerusakan lingkungan kini mencapai titik kritis. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) 2023, mencatat suhu Bumi telah meningkat 1,1°C di atas tingkat pra-industri, dan bisa melonjak hingga 2,8°C pada tahun 2100 jika tidak ada tindakan ambisius. Dampaknya adalah gelombang panas ekstrem, hujan lebat, kekeringan berkepanjangan, serta meningkatnya intensitas siklon tropis kini menjadi ancaman global. Di sisi lain, krisis lingkungan juga mencakup deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang jatuh setiap 5 Juni, momen ini harus menjadi panggilan global untuk mereformasi sistem produksi pangan. Sektor pertanian dan perkebunan Indonesia perlu bertransformasi menjadi bagian dari solusi, melalui pendekatan berkelanjutan seperti agroforestri yang mampu memulihkan ekosistem, menjaga iklim, dan menopang ketahanan pangan secara bersamaan.
Sektor perkebunan di Indonesia meliputi komoditas seperti kelapa sawit, karet, kakao, kopi, hingga hutan tanaman industri, telah lama menjadi pilar penting ekonomi nasional dengan menyerap jutaan tenaga kerja dan menyumbang devisa besar bagi negara. Selama ini sistem monokultur memperparah hilangnya keanekaragaman hayati dan menyebabkan degradasi tanah, yang pada akhirnya mengancam ketahanan pangan. Tak jarang pula konflik agraria antara perusahaan dan masyarakat lokal muncul sebagai dampak sosial yang berkelanjutan. Meski demikian, peluang perbaikan terbuka lebar. Indonesia memiliki jutaan hektar lahan marginal yang dapat direstorasi melalui pendekatan agroforestri. Di sisi lain, pasar global kini semakin menghargai praktik berkelanjutan, sehingga transformasi menuju perkebunan hijau bisa menjadi keunggulan kompetitif.
Agroforestri dan Solusi Berbasis Alam
Salah satu pendekatan penting dalam merespons krisis iklim dan lingkungan adalah penerapan agroforestri dan solusi berbasis alam (nature-based solutions/NBS). Agroforestri merupakan sistem budidaya yang mengintegrasikan tanaman komoditas seperti kopi, kakao, atau sawit dengan pohon keras atau vegetasi lainnya. Contohnya meliputi penanaman kopi di bawah pohon mahoni, kakao bersama tanaman buah tropis, atau sawit yang diselingi tanaman tumpang sari. Sistem ini memberikan manfaat ekologis dan ekonomi sekaligus. Secara lingkungan, keberadaan pohon membantu menyerap karbon, menjaga kelembapan tanah, dan menstabilkan tata air. Secara ekonomi, diversifikasi hasil panen memberi petani sumber pendapatan tambahan, mengurangi ketergantungan pada satu komoditas, dan menekan penggunaan pupuk kimia serta pestisida berkat keragaman hayati yang lebih tinggi.
Contoh konkret keberhasilan agroforestri terlihat di Desa Kayupuring, Jawa Tengah. Para mantan penebang liar bertransformasi menjadi penjaga hutan dengan mengadopsi sistem budidaya kopi secara agroforestri. Sekitar 800 petani menanam kopi di lahan 600 hektar dengan menambahkan pohon asli seperti kruing, meranti, dan jati sebagai naungan. Hasilnya, hutan di kawasan Petungkriyono tetap lestari, sementara masyarakat memperoleh manfaat ekonomi dari kopi berkelanjutan yang memiliki nilai jual premium, seperti merek lokal “Owa Coffee.” Selain meningkatkan pendapatan, pendekatan ini turut melindungi ekosistem, termasuk habitat primata endemik seperti owa Jawa (gibon), yang sebelumnya terancam akibat perambahan dan polusi. Agroforestri di wilayah ini menjadi contoh bagaimana pelestarian lingkungan dapat berjalan selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi, solusi berbasis alam tidak terbatas pada lahan kering. Restorasi ekosistem gambut, penanaman mangrove, dan pelestarian hutan bakau pesisir juga termasuk bentuk NBS yang krusial di Indonesia. Strategi ini memberikan tiga manfaat utama (“triple wins”): menyerap karbon secara alami, melindungi keanekaragaman hayati dan siklus air, serta meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Dampaknya sangat signifikan dalam menurunkan emisi, mengurangi risiko bencana seperti banjir dan kekeringan, serta mendukung adaptasi iklim secara berkelanjutan. Indonesia memiliki sekitar 15% dari potensi global NBS, menjadikan perluasan agroforestri dan restorasi ekosistem sebagai langkah strategis dalam agenda mitigasi perubahan iklim sekaligus pemulihan ekologi dan ekonomi nasional.

Lahan Pertanian
Praktik Baik Mendukung Pertanian Hijau
Untuk menjadikan sektor perkebunan sebagai pilar pelestarian lingkungan, prinsip keberlanjutan harus diterapkan secara menyeluruh dalam tata kelolanya. Pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai standar dan sistem sertifikasi untuk mendukung hal ini, seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bersifat wajib, serta Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diadopsi secara sukarela oleh sejumlah perusahaan. Studi gabungan ISPO-RSPO menunjukkan bahwa kedua skema ini memiliki tujuan serupa, yakni mencegah deforestasi dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari alih guna lahan. Dengan demikian, baik pemerintah maupun sektor swasta bergerak menuju produksi sawit berkelanjutan yang patuh pada prinsip lingkungan dan tidak merusak hutan.
Kedepan, dibutuhkan integrasi kebijakan yang lebih kuat dan konsisten, mulai dari pemberlakuan izin lahan yang ketat, perlindungan kawasan hutan lindung, hingga insentif bagi pelaku yang menerapkan praktik ramah lingkungan. Inovasi teknologi dan riset sangat dibutuhkan untuk mendukung konservasi tanah dan air, peningkatan produktivitas tanpa pembukaan lahan baru, serta pengembangan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan dan serangan hama.
Tak kalah penting adalah aspek sosial dalam keberlanjutan. Sertifikasi perkebunan berkelanjutan kini mencakup perlindungan hak masyarakat adat dan lokal, seperti penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Pendekatan partisipatif, seperti pemetaan wilayah bersama warga, serta upaya memulihkan kepercayaan petani menjadi elemen penting dalam tata kelola jangka panjang. Selain itu, pertanian hijau yang ramah lingkungan semakin didorong, dengan praktik seperti penggunaan pupuk hayati, pengurangan bahan kimia, dan diversifikasi tanaman untuk menghindari risiko monokultur. Inisiatif dari BNPB dan Kementerian Pertanian juga mendorong sistem agroindustri rendah emisi serta efisiensi air dan pemantauan kualitas tanah.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah kebijakan untuk mendukung pertanian dan perkebunan berkelanjutan. Komitmen ini tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), yang menargetkan penurunan emisi sebesar 29–41% pada tahun 2030, serta strategi FOLU Net Sink 2030 untuk sektor kehutanan dan lahan. Implementasinya mencakup pemantauan tutupan hutan melalui Kebijakan Satu Peta, perlindungan gambut, pengendalian kebakaran hutan, serta insentif untuk rehabilitasi mangrove. Di tingkat tapak, program hutan kemasyarakatan seperti HKm dan hutan desa mengintegrasikan konservasi dengan kesejahteraan petani. Contohnya, petani di Aceh diizinkan menanam kakao di kawasan hutan yang tetap dijaga, sehingga mendukung ekonomi lokal tanpa merambah hutan primer.
Menjelang peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni), sudah saatnya sektor perkebunan tampil sebagai mitra bumi, bukan lagi sebagai sumber masalah. Edukasi publik dan kebijakan berbasis pembangunan rendah karbon perlu diperkuat, sementara masyarakat didorong untuk memilih produk ramah lingkungan dan menuntut akuntabilitas korporasi. Refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia mengingatkan bahwa bumi adalah titipan generasi mendatang, Dengan mengintegrasikan agroforestri, konservasi, dan teknologi hijau, sektor perkebunan Indonesia memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada perlindungan iklim dan pelestarian alam.
Praktisi
20 Pengikut
Agroforestri Perkebunan, Opsi Ekonomi Hijau untuk Iklim dan Lingkungan
Sabtu, 7 Juni 2025 09:18 WIB
Berita Pilihan



