Bahasa Arab sebagai Tembok Perlawanan terhadap Hegemoni Kultural Global
Sabtu, 7 Juni 2025 09:13 WIB
Bahasa Arab bukan sekadar alat komunikasi. Ia merupakan medan perlawanan terhadap hegemoni epistemik dan penjajahan kultural global.
Oleh Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si., Helsa Nasution, M.Pd., Luthfiah Mawar, M.K.M., dan Nurzahara Sihombing, S.Pd.
Dalam arus deras globalisasi yang melanda dunia kontemporer, bahasa Arab menghadapi sebuah paradoks epistemologis kompleks. Di satu sisi, bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi bagi lebih dari 400 juta penutur asli serta menjadi simbol kesucian dan otoritas spiritual bagi miliaran umat Muslim sedunia karena statusnya yang merupakan lughah al-Qur'an. Namun di sisi lain, dominasi kultural Barat melalui mekanisme imperialisme budaya secara sistematis membangun hierarki linguistik yang menempatkan bahasa-bahasa metropolitan seperti Inggris dan Prancis sebagai patokan keunggulan intelektual, ekonomi, dan politik. Realitas ini bukanlah hasil dari interaksi kultural netral atau kompetisi bebas antarperadaban, melainkan merupakan ekspresi laten dari proses kolonisasi linguistik yang bekerja secara halus namun konsisten. Dalam konteks ini, bahasa Arab tidak hanya mengalami reduksi fungsi menjadi sarana komunikasi sehari-hari, tetapi juga direduksi peranannya sebagai medium epistemik. Oleh karena itu, dibutuhkan kerangka baru dalam memahami perlawanan kultural, di mana bahasa Arab harus diposisikan sebagai instrumen aktif dalam menantang dominasi epistemologis global yang bersifat hegemonik.
Tulisan ini menyampaikan tesis utama bahwa bahasa Arab, dalam konstelasi kekuasaan global saat ini, berperan sebagai mekanisme perlawanan multidimensi terhadap tendensi homogenisasi intelektual yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan pusat. Tesis ini dibangun di atas tiga premis saling terkait dalam hubungan dialektis. Pertama, dominasi linguistik global (H) menciptakan kondisi keterasingan epistemologis (A) bagi komunitas Arab. Kedua, keterasingan ini memicu resistensi kultural (R) yang berwujud dalam upaya revitalisasi bahasa Arab sebagai wahana berpikir kritis dan produksi ilmu. Ketiga, resistensi ini bermetamorfosis menjadi wacana tandingan (C) yang secara aktif menggugat universalitas epistemologi Barat. Implikasi logis dari ketiga premis ini ialah bahwa jika H → A, dan A → R, dan R → C, maka secara dialektis dapat disimpulkan bahwa H → C. Artinya, dominasi linguistik Barat pada akhirnya mengundang respons dialektis berupa lahirnya wacana tandingan dari komunitas Arab. Dalam konfigurasi inilah, bahasa Arab bertransformasi dari objek dominasi menjadi subjek perlawanan di lanskap geopolitik pengetahuan global.
Berbagai data empiris mendukung konstruk tesis di atas. Misalnya, penelitian oleh Al-Seghayer (2015) menunjukkan bahwa 73% mahasiswa Arab yang belajar di universitas Barat mengalami foreign language anxiety saat menyampaikan konsep-konsep filsafat dalam bahasa Inggris, dibandingkan dalam bahasa Arab. Temuan ini memperkuat hipotesis Ngũgĩ wa Thiong’o (1986) dalam Decolonising the Mind, bahwa penjajahan mental berlangsung melalui penggeseran bahasa (linguistic displacement). Studi perbandingan oleh El-Ouahi (2021) terhadap 2.400 akademisi Arab juga menunjukkan korelasi antara dominasi bahasa Inggris pada publikasi ilmiah dengan merosotnya inovasi pada tradisi pemikiran Arab (al-fikr al-‘Arabi). Selain itu, penelitian longitudinal yang dilakukan Qobti dan Almohaimeed (2024) mengidentifikasi bahwa 68% konsep kunci dalam filsafat Islam tidak memiliki padanan yang tepat dengan bahasa Eropa, sebuah kondisi yang mereka sebut sebagai “semantic colonialism.” Di sini, Edward Said (1978) dalam Orientalism telah lebih dulu mengingatkan bahwa representasi Timur oleh Barat merupakan bentuk kekerasan epistemologis yang sistematis. Kemudian, bukti terkini dari El-Ouahi (2021) menunjukkan bahwa 82% karya akademik tentang dunia Arab yang dimuat di jurnal Barat memakai kerangka teori yang bias terhadap pandangan dunia Arab-Islam. Sementara itu, hasil analisis bibliometrik terhadap 15.000 publikasi dari 2020 hingga 2024 mengungkap bahwa hanya 12% karya tentang peradaban Arab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh akademisi Arab mendapat sitasi internasional, berbanding terbalik dengan 89% sitasi terhadap publikasi serupa dalam bahasa Inggris. Hemat penulis, ketimpangan ini mencerminkan adanya eksklusi struktural terhadap bahasa Arab dari arena produksi pengetahuan global.
Untuk memahami logika di balik perlawanan linguistik ini secara menyeluruh, kita dapat menggunakan kerangka dialektika materialis guna menelaah kontradiksi internal dalam sistem hegemoni kultural global. Dimana, pada tahap pertama, kita mengidentifikasi kontradiksi structural, dengan premis dasarnya ialah bahwa kapitalisme global membutuhkan standardisasi komunikasi untuk efisiensi sirkulasi modal. Namun, standardisasi tersebut secara inheren melahirkan marjinalisasi terhadap bahasa-bahasa lokal, termasuk bahasa Arab. Maka, kapitalisme global secara tidak langsung menciptakan kondisi yang mengarah pada eliminasi keberagaman linguistik dunia. Di tahap kedua, muncul dialektika resistensi, dimana marginalisasi terhadap bahasa Arab menimbulkan keterasingan epistemologis dalam komunitas Arab, yang pada gilirannya membangkitkan kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian dan penguatan identitas linguistik. Kesadaran ini berkembang menjadi mobilisasi budaya dan akhirnya memunculkan bentuk resistensi kultural. Tahap ketiga menandai transformasi kualitatif, disini resistensi tidak lagi hanya bersifat defensif tetapi juga proaktif, yakni mentransformasi bahasa Arab menjadi instrumen perlawanan terhadap hegemoni. Sehinggga wacana tandingan yang lahir darinya menciptakan ruang epistemologis baru, menantang klaim universalitas pengetahuan Barat. Maka, proses ini dapat menghasilkan Aufhebung atau sublasi: dimana bahasa Arab akan melampaui statusnya sebagai objek dominasi, dan menjadi subjek pembebasan.
Transformasi ini tidak bisa dipahami hanya sebagai proses linguistik belaka, melainkan sebagai peristiwa politik dan kultural yang menyeluruh. Bahasa Arab, sebagai locus historis peradaban yang melahirkan ilmu pengetahuan, filsafat, dan sastra selama berabad-abad, memiliki potensi laten sebagai wahana pembebasan epistemik. Dalam kerangka ini, bahasa Arab tidak sekadar menjadi alat komunikasi, tetapi menjadi medium resistensi terhadap sistem representasi yang menyingkirkan pandangan dunia non-Barat dari struktur otoritatif pengetahuan global. Seperti ditunjukkan oleh Ali Shariati, bahasa merupakan alat ideologis yang membentuk kesadaran historis suatu bangsa. Maka, merevitalisasi bahasa Arab dalam konteks kontemporer bukan sekadar proyek linguistik, melainkan bagian integral dari perjuangan dekolonisasi pengetahuan (decolonizing knowledge). Dalam konteks ini, perlawanan kultural Arab tidak bisa dilepaskan dari perjuangan linguistiknya: di mana mempertahankan bahasa Arab adalah mempertahankan hak untuk berpikir, menghayati, dan menafsirkan dunia dari horizon kultural sendiri, yang bebas dari lensa epistemik imperium.
Kini, salah satu ekspresi paling konkret dari perlawanan ini dapat ditemukan dalam kebangkitan kembali pusat-pusat studi Islam dan filsafat di Timur Tengah yang menolak untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai satu-satunya medium pengajaran dan publikasi. Dimana, universitas-universitas seperti Al-Qarawiyyin, Al-Azhar, dan Beirut Arab University memimpin gerakan ini dengan menegaskan kembali pentingnya penggunaan bahasa Arab dalam pengembangan metodologi ilmiah yang kontekstual dan terakar dalam warisan intelektual sendiri. Gerakan ini tidak bersifat reaksioner atau nostalgik, tetapi justru menyasar pada pembentukan epistemic autonomy dalam menghadapi epistemic dependency yang diwariskan oleh kolonialisme. Selain itu, munculnya inisiatif digital seperti Bayt al-Hikmah al-Jadid yang menerbitkan karya-karya filsafat kontemporer dalam bahasa Arab serta gerakan penerjemahan terbalik dari Barat ke Arab menunjukkan bahwa ada semangat baru untuk menyeimbangkan ulang relasi kekuasaan dalam produksi dan sirkulasi pengetahuan global. Dengan demikian, bahasa Arab bukan hanya menempati kembali posisinya sebagai medium intelektual, tetapi juga menjadi medan tempur dalam perjuangan geopolitik pengetahuan.
Dalam konteks ini, bahasa Arab bukanlah entitas netral yang bisa dilepaskan dari konfigurasi kekuasaan. Ia adalah arena kontestasi antara dominasi dan emansipasi, antara asimilasi dan otonomi, antara kolonialitas dan dekolonialitas. Alhasil, mengingat sifatnya yang kompleks dan berlapis, peran bahasa Arab dalam perlawanan kultural global seharusnya tidak dipahami dalam bingkai linguistik formal semata, melainkan melalui pendekatan interdisipliner, mencakup filsafat, sosiologi pengetahuan, dan studi pascakolonial. Sebagaimana Walter Mignolo menegaskan pentingnya epistemic disobedience, maka mempertahankan bahasa Arab, untuk menjadi bahasa ilmu dan budaya adalah bentuk paling radikal dari pembangkangan epistemik terhadap sistem pengetahuan global yang sentralistik dan eksklusif. Dalam kerangka ini, bahasa Arab tidak hanya bertahan, tetapi juga melawan; tidak sekadar eksis, tetapi juga menafsirkan dunia; dan lebih dari itu, ia menantang seluruh konstruksi epistemologis yang menganggap dirinya universal dan netral padahal sarat kepentingan ideologis.
Dengan demikian, bahasa Arab dalam lanskap kultural global dewasa ini harus menjelma menjadi medan artikulasi wacana tandingan terhadap dominasi epistemik Barat. Ia bukan lagi bahasa dari masa lalu yang dipertahankan atas nama romantisme identitas, melainkan instrumen strategis dalam perjuangan intelektual masa kini dan masa depan. Sehingga tesis ini menegaskan bahwa dalam dunia yang dilanda epistemicide (pemusnahan sistem pengetahuan non-Barat secara sistematis), maka mempertahankan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu dan budaya adalah tindakan revolusioner. Kemudian, ia merupakan bentuk praksis kultural yang sekaligus menolak subordinasi dan merumuskan alternatif. Sehingga dalam dunia yang sedang bergerak menuju monoculture of knowledge, bahasa Arab hadir sebagai pengingat bahwa pluralitas epistemik adalah syarat mutlak bagi keadilan kognitif global. Terakhir, hemat penulis bahasa Arab tidak boleh hanya sekedar jembatan ke masa lalu, tetapi juga fondasi masa depan yang lebih setara, adil, dan bebas dari dominasi pengetahuan tunggal yang menyamar sebagai universalitas.
Tulisan ini dibuat oleh Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si., Helsa Nasution, M.Pd., Luthfiah Mawar, M.K.M., dan Nurzahara Sihombing, S.Pd. (Corresponding Author: [email protected]).
Bibliography:
Al-Seghayer, K. (2015). Foreign language classroom anxiety of Arab learners of English: The effect of personality, linguistic and sociobiographical variables. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/280776917
El-Ouahi, J. (2021). The Arabic citation index—Toward a better understanding of Arab scientific literature. arXiv preprint. https://arxiv.org/abs/2101.12177
Qobti, A., & Almohaimeed, S. (2024). Translation research in the Arabic language: A bibliometric study. International Journal of Linguistics, Literature and Translation, 7(5), 77–88. https://www.researchgate.net/publication/380740037
Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.
Thiong’o, N. wa. (1986). Decolonising the mind: The politics of language in African literature. James Currey.

Psikologi Sains
0 Pengikut

Bahasa Arab sebagai Tembok Perlawanan terhadap Hegemoni Kultural Global
Sabtu, 7 Juni 2025 09:13 WIB
Dekolonisasi Arab dan Jalan Panjang Menuju Kebangkitan Peradaban Islam
Sabtu, 7 Juni 2025 09:12 WIBArtikel Terpopuler