Dekolonisasi Sejarah Arab: Urgensi Penulisan Ulang Epistemik
Jumat, 6 Juni 2025 09:01 WIB
Dunia Arab harus menulis ulang sejarahnya sendiri untuk merebut kembali identitas dan membongkar warisan kolonial yang masih hidup.
Oleh Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si., Helsa Nasution, M.Pd., Luthfiah Mawar, M.K.M., dan Nurzahara Sihombing, S.Pd.
Sejarah, sebagaimana ruang teritorial, merupakan medan kontestasi yang tak pernah netral; ia adalah situs hegemonik tempat makna dikonstruksi, dinarasikan, disangkal, dan seringkali dipaksakan oleh kekuatan yang mendominasi. Dalam konteks dunia Arab, sejak ekspansi kolonial hingga pergolakan pascakolonial, sejarah telah ditulis bukan oleh mereka yang mengalami derita kolonisasi, melainkan oleh tangan-tangan yang menikmati privilese dari kekuasaan imperialis.
Proyek historiografi (kitābat al-tārīkh) yang berlangsung dalam bayang-bayang dominasi eksternal, bukan hanya telah memutus bangsa Arab dari sejarah mereka sendiri, tetapi juga secara sistematis mereduksi kemampuan kolektif mereka untuk membayangkan dan merumuskan masa depan. Sehingga dalam lanskap global yang dikendalikan oleh logika geopolitik dan infrastruktur epistemik Barat, sejarah dimanipulasi menjadi instrumen untuk membekukan identitas, menumpulkan kapasitas imajinatif, serta melanggengkan sistem dominasi melalui wajah-wajah kolonialisme kontemporer.
Dalam situasi demikian, menulis ulang sejarah bukanlah sekadar upaya akademik, melainkan tindakan politis dan etis berorientasi pada perombakan struktur global yang secara laten masih mereproduksi ketimpangan pengetahuan.
Menggagas ulang historiografi Arab tidak identik dengan romantisme masa lalu yang melankolis, melainkan merupakan respons historis atas kebutuhan mendesak untuk merebut kembali al-siyādah al-ma‘rifiyyah kedaulatan pengetahuan dari belenggu kolonial yang hingga kini menyelimuti lanskap epistemik kontemporer. Narasi pascakolonial tidak hanya bersemayam dalam historiografi klasik, tetapi menjalar ke dalam struktur kebijakan internasional, kurikulum nasional, hingga konstruksi simbolik media global.
Ketika bangsa Arab secara berulang kali dituduh "inkompatibel dengan demokrasi" atau "terikat dengan kekerasan purba," maka yang bekerja bukanlah rasionalitas empiris, melainkan residu ideologis dari warisan orientalisme yang membentuk al-‘arab sebagai subjek inferior dan ahistoris. Oleh karena itu, penulisan ulang sejarah mesti dimaknai sebagai strategi resistensi terhadap dominasi simbolik yang terus menempatkan dunia Arab sebagai entitas pasif, tanpa otonomi naratif. Yang dibutuhkan adalah tārīkh badīl, sejarah alternatif yang lahir dari pengalaman kolektif rakyat tertindas, bukan narasi hasil replikasi dari imperium yang pernah menundukkan mereka.
Analisis terhadap historiografi kolonial memperlihatkan bahwa produksi pengetahuan tentang dunia Arab masih sangat terperangkap dalam lensa Barat yang sarat dengan bias ideologis. Edward Said, dalam Orientalism (1978), mengungkap bagaimana produksi akademik Barat dijadikan instrumen klasifikasi simbolik yang mereduksi Timur menjadi ‘yang lain’ yang eksotik sekaligus mengancam, dan karena itu harus dikendalikan.
Kemudian, Ilan Pappé (2006) telah membongkar bagaimana pendudukan atas Palestina dikaburkan sebagai ‘perang defensif,’ padahal sejatinya merupakan bagian dari proyek ethnic cleansing yang sistematis. Terakhir, Rashid Khalidi (2020) memperlihatkan bahwa tragedi al-nakbah bukan peristiwa insidental, melainkan hasil rekayasa kolonialisme pemukim yang terstruktur dan berjangka panjang.
Dalam ranah kontemporer, argumen ini semakin mendapat penguatan, misalnya telaah Lila Abu-Lughod (1998) mengenai pendidikan kolonial Inggris di Mesir menunjukkan bagaimana reformasi pendidikan dijadikan strategi sistemik untuk menghapus sejarah lokal dan menggantinya dengan narasi “kemajuan” yang dikonstruksi kolonial.
Berikutnya, dalam bidang arkeologi, Nadia Abu El-Haj (2001) memperlihatkan bahwa ekskavasi di Palestina dipolitisasi menjadi alat justifikasi klaim Zionis, dengan cara mengeliminasi jejak Arab yang historis dan berkelanjutan. Terakhir, Joseph Massad (2015) bahkan lebih jauh mengkritisi penggunaan retorika hak asasi manusia, yang alih-alih menjadi bentuk solidaritas universal, justru dijadikan pembenaran moral atas intervensi imperialis.
Dengan demikian, hemat saya kedepannya agenda pembangunan historiografi Arab mensyaratkan pembongkaran menyeluruh atas jalinan antara kekuasaan dan pengetahuan. Hal ini disebabkan kebenaran sejarah (al-ḥaqīqah al-tārīkhiyyah) tidak pernah berada dalam posisi netral; ia merupakan wilayah konflik antara narasi yang memberdayakan dengan yang menindas. Oleh karena itu, penulisan sejarah Arab menjadi arena pembebasan simbolik yang tak bisa dilepaskan dari perjuangan untuk membongkar arsitektur wacana global yang membungkamnya.
Struktur logika dari kolonialisme epistemik dapat diartikulasikan secara dialektis sebagai berikut:
P1: Dominasi epistemik (De) → Distorsi historiografis (Dh)
P2: Distorsi historiografis (Dh) → Disorientasi identitas kolektif (Di)
Implikasi: De → Dh → Di → Maka, De → Di
Kesimpulan: Dominasi epistemik melahirkan krisis identitas historis
Lebih lanjut, dapat diformulasikan bahwa:
E1: Historiografi kolonial (Hk) = Hegemoni wacana (Hw) + Kuasa simbolik (Ks)
E2: Hk → Hegemoni sosial-politik (Hs)
Implikasi logis: (Hk → Hw ∧ Ks) ∧ (Hk → Hs) → Hw ∧ Ks → Hs
Perubahan struktural hanya dapat terwujud melalui pembongkaran narasi dominan (naqḍ al-riwāyah al-hākima) dan konstruksi narasi tandingan:
P3: Resistensi historiografis (Rh) = Produksi narasi tandingan (Nt) + Reposisi subjek lokal (Sl)
Kesimpulan akhir: (De → Di) ∧ (Nt ∧ Sl → Rh) → Rh → Pemulihan identitas historis (Pi)
Berbasiskan logika di atas, dapat dipahami historiografi bukan semata rekonstruksi kronologis masa lalu, melainkan aksi transformasional untuk merombak struktur pengetahuan global yang disfungsional. Dalam terminologi Fanon, ini adalah jihād ma‘rifiyyah (perjuangan simbolik) yang menargetkan kerangka naratif yang menindas.
Disini, peneliti menilai penunulis ulang sejarah Arab telah menjadi suatu intervensi moral yang tak dapat ditunda terhadap ketimpangan struktural yang diwariskan dari generasi ke generasi. Distorsi dalam historiografi tidak hanya mengaburkan fakta-fakta masa lalu, tetapi juga mereduksi kapasitas kolektif untuk membayangkan masa depan secara merdeka. Dalam kasus Palestina, misalnya, generasi muda tumbuh dalam ruang simbolik yang menyangkal eksistensi sejarah mereka; nama-nama tempat, identitas budaya, dan jejak leluhur dihapus dari peta, silabus, dan forum global. Sehingga yang dirampas bukan hanya kenangan, tetapi juga hak untuk menentukan arah masa depan dengan referensi pada pengalaman historis sendiri.
Ketika bangsa Arab terus didesak untuk membuktikan “kemanusiaannya” di hadapan komunitas internasional yang telah lebih dahulu menerima stereotip orientalis, sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan bukan hanya pengakuan politik, tetapi kehormatan eksistensial sebagai entitas setara dalam sejarah umat manusia. Maka, pada konteks ini, kebenaran (al-ḥaqīqah) tidak dapat direduksi menjadi sekadar objek akademik steril, tetapi harus diletakkan dalam kerangka etik-politik yang mengintegrasikan pengetahuan, perlawanan, dan pembebasan. Dunia Arab tidak memiliki kemewahan untuk mengabaikan urgensi al-ta’rīkh sebagai bagian dari upaya pemulihan identitas; sebab, sejarah yang terus berada dalam genggaman kolonial akan tetap menjadi mekanisme penjajahan jangka panjang yang menormalisasi subordinasi.
Fanon (1961) telah menegaskan bahwa kolonialisme tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga mengkolonisasi imajinasi, merampas bahasa, mengaburkan makna, dan menjauhkan subjek dari kesadarannya sendiri. Maka, perlawanan terhadap kolonialisme harus dimulai dari ranah simbolik: melalui perebutan narasi, pemulihan identitas, dan dekonstruksi kerangka simbolik yang membentuk dunia Arab sebagai the Other. Dalam pengertian ini, menulis ulang sejarah bukanlah revisi dokumen, melainkan tindakan ontologis untuk membebaskan nalar dari struktur representasi yang menindas.
Kini saatnya dunia Arab keluar dari jeratan panjang warisan kolonial dan mulai menulis ulang sejarahnya dengan keberanian epistemik, keberpihakan terhadap suara rakyat, serta kehendak untuk menghancurkan struktur simbolik yang menopang dominasi global. Ini bukan sekadar tugas akademisi atau sejarawan, melainkan misi kolektif yang menuntut partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari al-‘āmmah (rakyat), al-muthaqqafūn (intelektual progresif), hingga al-siyāsiyyūn (pengambil kebijakan). Sejarah tidak boleh menjadi monopoli mereka yang memenangkan perang dan menguasai institusi pengetahuan, melainkan harus direbut kembali sebagai hak mereka yang selama ini dibungkam, dihapus, dan ditaklukkan.
Terakhir, kini era digital menghadirkan peluang strategis untuk membangun tārīkh sha‘bī (sejarah rakyat) yang bersandar pada data empiris dan pengalaman kolektif. Disini, teknologi informasi jika dimanfaatkan dengan kesadaran dekolonial, dapat menjadi alat pembebasan. Namun, potensi ini hanya akan nyata bila disertai kemauan politik untuk merombak paradigma dominan dan keberanian epistemik untuk menyatakan bahwa sejarah yang ditulis oleh penindas pada hakikatnya hanyalah kelanjutan dari kolonialisme itu sendiri. Maka pertanyaan mendasarnya ialah: jika narasi kita tetap ditulis oleh mereka yang menjajah, bagaimana mungkin dunia Arab membangun masa depan di atas pondasi kebenaran yang sejati?
Tulisan ini dibuat oleh Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si., Helsa Nasution, M.Pd., Luthfiah Mawar, M.K.M., dan Nurzahara Sihombing, S.Pd.
(Corresponding Author: [email protected]).
Bibliography:
Abu-Lughod, Lila. Writing Women's Worlds: Bedouin Stories. Berkeley: University of California Press, 1991.
Bhabha, Homi K. The Location of Culture. London: Routledge, 1994.
Chakrabarty, Dipesh. Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference. Princeton: Princeton University Press, 2000.
Couldry, Nick, and Ulises A. Mejias. The Costs of Connection: How Data Is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism. Stanford: Stanford University Press, 2019.
Fanon, Frantz. The Wretched of the Earth. New York: Grove Press, 1963.
Gandhi, Leela. Postcolonial Theory: A Critical Introduction. New York: Columbia University Press, 1998.
Khalidi, Rashid. Palestinian Identity: The Construction of Modern National Consciousness. New York: Columbia University Press, 1997.
Mbembe, Achille. “Decolonizing Knowledge and the Question of the Archive.” Wits Institute for Social and Economic Research, 2016. https://wiser.wits.ac.za/sites/default/files/inline-files/DecolonizingKnowledge_Mbembe.pdf
Meskell, Lynn, ed. Archaeology under Fire: Nationalism, Politics and Heritage in the Eastern Mediterranean and Middle East. London: Routledge, 2002.
Mignolo, Walter D. The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options. Durham: Duke University Press, 2011.
Pappé, Ilan. The Ethnic Cleansing of Palestine. Oxford: Oneworld Publications, 2006.
Quijano, Aníbal. “Coloniality of Power and Eurocentrism in Latin America.” International Sociology 15, no. 2 (2000): 215–232.
Said, Edward W. Culture and Imperialism. New York: Knopf, 1993.
Said, Edward W. Orientalism. New York: Pantheon Books, 1978.
Sengupta, Krittika. “Digital Decoloniality: From Technology to Politics.” Journal of Postcolonial Writing 53, no. 5 (2017): 534–545. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17449855.2017.1349114
Spivak, Gayatri Chakravorty. “Can the Subaltern Speak?” In Marxism and the Interpretation of Culture, edited by Cary Nelson and Lawrence Grossberg, 271–313. Urbana: University of Illinois Press, 1988.

Psikologi Sains
0 Pengikut

Bahasa Arab sebagai Tembok Perlawanan terhadap Hegemoni Kultural Global
Sabtu, 7 Juni 2025 09:13 WIB
Dekolonisasi Arab dan Jalan Panjang Menuju Kebangkitan Peradaban Islam
Sabtu, 7 Juni 2025 09:12 WIBArtikel Terpopuler