Media Sosial: Ruang Jurnalistik Alternatif untuk Isu Perempuan
Minggu, 25 Mei 2025 22:11 WIB
Melalui cerita unggahan-unggahan di media sosial, akan menjadi perjalanan bagi setiap perempuan untuk menciptakan sejarahnya sendiri.
***
Sejak hadirnya media sosial dan melekat dalam kehidupan sehari-hari, bahkan ke dalam kehidupan terkecil – seperti keluarga, masyarakat dihadapkan dengan sebuah tantangan menjadi seorang jurnalisme baru. Atau, sebutan lainnya adalah warganet. Berbagai suguhan informasi dari berbagai media, seperti blog, platform, seringkali membawa dampak yang cukup signifikan dalam membangun persektif dan perilaku penggunanya.
Tentu saja, hal itu menjadi ruang partisipasi publik yang lebih meluas, tidak terkecuali kaum perempuan yang sebelumnya menjadi kaum termajinalkan dengan segala stigma yang dilekatkan pada dirinya.
Pada setiap perayaan Hari Kartini 21 April lalu, saya seringkali berefleksi dan membayangkan bagaimana perempuan yang pada masa itu seringkali dibatasi gerak-geriknya dari segala aspek. Perempuan hanya perlu mengerti urusan rumah tangga saja, tanpa perlu memikirkan pendidikan dan pengembangan serta pemberdayaan diri yang lebih luas lagi.
Karena itulah, Kartini menjadi sosok berani yang melawan atas ketidakadilan, penindasan, serta pembodohan terhadap kaum perempuan, dan memperjuangkan status sosial serta pendidikan melalui surat-surat yang ditulisnya. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dijadikan sebuah buku dengan judul Habis Gelap Terbitlah terang.
Perjuangan Kartini pada masa itu tentu saja menjadi warisan yang tidak lekang oleh waktu. Karena di masa sekarang, kaum perempuan dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya tanpa khawatir dengan pembatasan akses. Termasuk salah satunya adalah dalam penggunaan media sosial sebagai hak budaya digital yang mengacu pada 4 pilar Literasi Digital, Gerakan Nasional Literasi Digital (Siberkreasi) – pilar Budaya Digital; bahwa setiap individu memiliki hak-hak digital, termasuk diantaranya : hak untuk akses menuju partisipasi ruang digital, berekspresi di ruang digital, hak atas data pribadi & privasi, serta hak kekayaan intelektual.
Perempuan kini dapat memanfaatkan media sosial sebagai ruang jurnalistik dalam membangun narasi, menyuarakan isu-isu yang menyentuh ranah personal maupun struktural serta pengalaman perempuan lain dengan penyebaran konten-konten di media sosial secara berkesinambungan dengan membawa nilai-nilai kebenaran tanpa khawatir dimonopoli oleh kekuasaan. Namun, tentu saja tetap perlu menjaga etika dan netiket di media sosial, agar perempuan tetap aman berpartisipasi di ruang digital.
Sayangnya, jurnalisme konvensional sering kali mereproduksi berita yang bias gender, menyederhanakan kompleksitas pengalaman perempuan, bahkan mengabaikan suara mereka. Berita terkait perempuan tidak utuh atau dengan narasi yang memojokkan. Contoh : berita kasus kekerasan seksual - pemerkosaan. Narasi yang dibangun adalah tentang kelemahan perempuan yang berpenampilan dianggap kurang sesuai, atau pelaku juga mengelak telah melakukan hal tersebut. Belum lagi – perempuan dianggap mengada-ada, sehingga banyak korban – perempuan tidak berani melapor, berakhir minta maaf, serta menarik laporannya. Narasi tersebut tentu saja membuat geram kaum perempuan lain di luar sana yang kemudian berani menyuarakan berbagai ketidakadilan, untuk kemudian melakukan pemberdayaan melalui pendidikan dan literasi digital kaum perempuan. Maka, melaui media sosial jualah, lahir gerakan-gerakan perempuan dalam memperjuangkan isu-isu tersebut, seperti : Koalisi Perempuan Indonesia, Indonesia Feminis, Women Nations, Jakarta Feminist, Perempuan Berkisah, Perempuanthreads, Single Moms Community, Kumpulan Emak Blogger, Suara Ibu Indonesia, dan masih banyak lagi.
Evolusi Gerakan Feminis di Era Digital
Berefleksi kembali pada perjuangan Kartini lewat tulisan-tulisannya, kini kaum perempuan dapat melakukan hal sama melalui media sosial untuk memperluas jangkauannya. Tidak perlu menunggu persetujuan redaksi atau birokrasi, perempuan dapat menyampaikan aneka pesan kepada netizen secara langsung. Apalagi setiap platform menyediakan fitur siaran langsung (live steaming) dengan audiens yang bisa menyimak dan memaknainya secara langsung. Ini bukan sekadar perubahan sosial, namun juga sebagai perubahan pola gerakan sosial. Hal ini berkaitan dengan beberapa teori komunikasi.
Teori pertama, Media Ecology – Neil Postman & Marshall McLuhan : "The medium is the message.” Media bukan cuma alat, tapi juga membentuk cara kita berpikir, berkomunikasi, dan bergerak. Setiap perubahan media (dari lisan ke cetak, dari cetak ke digital) memengaruhi ekologi sosial, termasuk pola gerakan sosial. Gerakan feminis dulu, sering kali turun langsung ke jalan, hadir dalam diskusi-diskusi publik. Namun kini, perpindahan gerakan feminis dari aksi fisik ke media sosial menunjukkan perubahan ekologi media. Sebagai contoh: sekarang, cerita personal bisa viral, solidaritas bisa tumbuh lewat posting ulang (repost), dan advokasi bisa terjadi lewat konten carousel Instagram. Media sosial bukan hanya wadah baru, tapi membentuk karakter baru dari gerakan itu sendiri: lebih cepat, lebih personal, dan lebih terbuka.
Teori kedua, yaitu Network Society – Manuel Castells yang mengtakan bahwa Kita sekarang hidup dalam masyarakat jaringan (network society), di mana kekuatan sosial dan politik tidak lagi hanya bergantung pada institusi, tapi juga pada kemampuan individu dan kelompok untuk terhubung dan membangun jaringan. Gerakan feminis digital seperti #MeToo atau #BreakTheBias menunjukkan bagaimana isu lokal bisa menjadi global lewat jaringan. Tidak ada pemimpin tunggal, tapi kekuatan kolektif yang tersebar, dengan solidaritas yang dibangun lewat koneksi dan empati lintas batas membuat gerakan ini semakin masif. Castells menyebut ini sebagai “mass self-communication” - komunikasi dari satu individu ke massa, tanpa melalui media tradisional.
Tantangan Ruang Digital Bagi Perempuan
“Tidak selalu, ruang terbuka seperti media sosial dapat memberikan rasa aman.”
Faktanya, ketika seorang perempuan membawa pesan, ia juga membawa beban dan risiko secara bersamaan. Minimnya dukungan terhadap ide atau gagasan kaum perempuan, serta belum meratanya pendidikan terhadap akses digital, membuat langkah perempuan di ruang digital lebih rentan pada berbagai tindak kejahatan siber. Beberapa hal yang kini menjaid isu-isu penting untuk diperhatikan, antara lain :
- Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)
Tidak sedikit kaum perempuan yang ketika memosting utas atau konten di media sosial, justru mendapatkan pelecehan dan tekanan, body shaming, serta komentar-komentar seksis. Bentuk kekerasan ini terjadi lewat komentar-komentar publik, direct message (DM), doxing dan penyebaran data pribadi. Ruang digital yang sejatinya dapat memberi rasa aman, justru sebaliknya, membawa ancaman. Sehingga memungkinkan terjadinya perang psikologis dan menurunnya kesehatan mental perempuan itu sendiri. Contoh kasus, sering kali terjadi pada Kreator perempuan yang membahas isu-isu perempuan ke ranah daring. Alih-alih mendiskusikan topiknya, mereka malah mendapatkan hujatan (hate speech) dan serangan pada data pribadi.
- Shadow Banning & Algoritma yang Bias
Seiring dengan semakin terbukanya ruang bagi perempuan untuk bersuara, maka hal-hal yang dulunya tabu untuk dibicarakan, kini mulai dipopulerkan ke media sosial, seperti : konten edukasi tubuh perempuan, edukasi hubungan seksual, Kesehatan mental, atau hak perempuan lainnya. Sayangnya, algoritma platform masih membatasi jangkauan penyebaran konten tersebut. Menurut saya pribadi, selama hal tersebut tidak melanggar aturan dari hukum yang ada, maka konten-konten tersebut sebaiknya layak didukung sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat luas, khususnya kaum perempuan. Shadow banning ini seperti sebuah pembumkaman atas hak digital. Meskipun dilakukan oleh cara kerja mesin/ algoritma. Di sinilah kita dapat melihat adanya bias gender digital, yakni ketika sistem teknologi digital - baik algoritma, moderasi konten, maupun desain platform - tidak ramah terhadap isu-isu yang diangkat perempuan.
- Standar Ganda dan Tekanan Sosial di Media Sosial
Ketika perempuan mempu menampilkan citra dirinya sebagai seorang sosok/ tokoh publik. Anehnya… ada saja masyarakat dalam hal ini netizen tidak begitu saja mau menerima. Perempuan yang muncul dengan potensinya dianggap sombong, mereka dianggap lebay dan terlalu berlebihan. Padahal, sebagai perempuan yang juga aktif di media sosial, saya pribadi bisa bertumbuh dengan adanya media sosial untuk memberikan pemberdayaan terhadap komunitas yang saya bangun. Perempuan tetap dibatasi dengan apa “yang boleh,” dan “tidak boleh,” serta dikaitkan terus dengan kodratnya. Padahal sepemahaman saya, kodrat perempuan yang hakiki adalah melahirkan dan menyusui. Selebihnya, saya atau siapapun perempuan di luar sana, sangat bisa dan boleh mengembangkan diri sesuai dengan potensinya masing-masing tanpa dibatasi perbedaan fisik dan pemikiran. Media sosial sejatinya adalah tempat bagi perempuan untuk bertumbuh, meningkatkan self awareness, self actualization, dan self branding-nya. Standar ganda dan tekanan sosial ini tidak perlu membatasi ruang gerak kaum perempuan yang dapat membuat dirinya tidak percaya diri dan lebih memilih mundur.
- Tantangan Literasi Digital dan Keamanan Siber
Menurut survey APJII tahun 2024 tentang penetrasi pengguna internet berdasarkan gender, perempuan memiliki presentasi kontribusi sebanyak 49,1%, tidak jauh beda dibandingkan laki-laki, 50,9%. Ini membuktikan bahwa perempuan sudah jauh lebih aktif dalam berkontribusi melalui internet dan media sosial. Namun, apakah jumlah tersebut juga sebagai jaminan bahwa perempuan cukup paham terkait literasi digital dan keamanan sibernya? Kementerian Kominfo (2022) menyatakan, bahwa indeks literasi digital kaum perempuan masih rendah dibandingkan laki-laki. Fakta ini menjadi tantangan bagi kaum perempuan dan bagi semua pihak, bagaimana pemerataan terkait literasi digital ini agar terus dilakukan, sehingga perempuan tidak sekadar berkontribusi di ruang digital, namun juga paham bagaimana menjaga keamanan data pribadi, menjaga privasinya, dan tidak mudah tertipu oleh tawaran-tawaran menggiurkan.
Saatnya Menjadi Bagian Dari Cerita yang Lebih Besar
Saya percaya bahwa sejarah itu, diciptakan. Maka melalui cerita unggahan-unggahan konten Stories, Instagram, Fecebook, X, Threads, Youtube, Tiktok, dan platform lainnya, akan menjadi perjalanan bagi setiap perempuan untuk menciptakan sejarahnya sendiri. Tidak terbatas pada ruang redaksi saja, namun bisa melalui akun-akun personal yang memberi dampak pada sekitarnya. Di tangan perempuan juga, media sosial bisa menjadi alternatif jurnalistik dalam menyampaikan sebuah pesan, yang dulu tidak terdengar, kini bisa menjangkau ke seluruh dunia. Saya juga percaya, di balik setiap utas yang membawa pesan terkait isu-isu perempuan, ia bukan hanya pesan dengan ‘tangan kosong,’ namun di dalamnya ada semangat juang, empati, dukungan, serta harapan bagi dunia untuk mendorong sebuah perubahan. Kita juga dapat memberikan narasi-narasi yang dapat menyentuh sisi emosional pembaca dengan kekuatan Tridaya - Cipta, Rasa, dan Karsa. Cipta yang merujuk pada nilai-nilai kebenaran, Rasa yang merujuk pada estetika nilai-nilai keindahan, dan Karsa yang merujuk pada etika untuk menemukan nilai-nilai kebaikan serta manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Inilah bentuk jurnalisme lebih personal, yang tidak hanya sebagai informasi yang disebarkan, namun dapat memberi dampak dan manfaat bagi pembacanya. Narasi yang diciptakan dari pengalaman-pengalaman perempuan, bukan terbatas pada narasi fakta, namun juga perasaan yang menyertainya. Dan sebagai landasan untuk menguatkan hal tersebut, maka setiap perempuan perlu memahami literasi digital agar mampu menghadapi tantangan yang ada di ruang digital. Karena pada akhirnya, setiap unggahan perempuan yang jujur, kritis, dan penuh harapan di media sosial, adalah bentuk sepotong berita. Tentang dunia. Tentang diri. Dan tentang masa depan yang lebih setara. Dan boleh jadi, itulah inti dari jurnalisme alternatif hari ini: bukan tentang siapa yang paling berkuasa menyampaikan berita, tapi siapa yang paling jujur menyuarakan kebenaran dari sudut yang lama diabaikan.

Bloger | Pegiat Literasi Digital | Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
0 Pengikut

Media Sosial: Ruang Jurnalistik Alternatif untuk Isu Perempuan
Minggu, 25 Mei 2025 22:11 WIBArtikel Terpopuler