Pertarungan Batin dalam Novel Namaku Hiroko: Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud
Senin, 26 Mei 2025 21:58 WIB
Analisis kepribadian tokoh utama novel Namaku Hiroko menggunakan teori id, ego, dan superego oleh Sigmund Freud melalui kutipan dalam novel.
Namaku Hiroko adalah salah satu novel klasik Indonesia karya sastrawan perempuan legendaris, NH. Dini (Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin) yang pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1977. Lewat kisah seorang gadis desa bernama Hiroko yang merantau ke kota dan perlahan mengalami perubahan drastis dalam cara pandangnya terhadap hidup, cinta, dan seksualitas, NH. Dini menyajikan narasi yang berani, jujur, dan mengkritik secara halus.
Hiroko yang awalnya polos dan pemalu, bertransformasi menjadi perempuan yang sadar akan tubuh dan pilihannya, bahkan ketika jalan hidup yang ia tempuh kerap dipandang miring oleh masyarakat. Tak sekadar menggambarkan pergulatan batin seorang perempuan di tengah kerasnya kehidupan kota, Namaku Hiroko juga menjadi potret kuat tentang pemberdayaan perempuan dalam memilih jalan hidupnya sendiri, menjadikannya sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang kaya makna, bernuansa feminis, dan tetap relevan hingga hari ini.
Pada artikel ini, analisis terhadap novel Namaku Hiroko akan dikaitkan dengan teori struktur kepribadian menurut Sigmund Freud yang membagi kepribadian manusia menjadi tiga sistem utama, yaitu: id, ego, dan superego. Dalam kisah Hiroko, tampak jelas dinamika batin dan perubahan sikap tokoh utama mencerminkan tarik-menarik antara dorongan naluriah (id), pertimbangan rasional (ego), dan nilai moral yang tertanam dari lingkungan (superego). Hiroko yang awalnya hidup dalam bayang-bayang nilai tradisional dan keterbatasan peran perempuan, perlahan menunjukkan pergeseran perilaku yang menuruti keinginan pribadi, serta kebebasan memilih jalan hidupnya yang merupakan manifestasi dominannya dorongan id.
Namun dalam proses tersebut, ego hadir untuk menengahi agar Hiroko tetap dapat menyesuaikan diri dengan realitas sosial yang ia hadapi, sementara superego turut membayanginya lewat rasa bersalah, ragu, atau konflik internal ketika nilai-nilai moral lama bertabrakan dengan kebebasan baru yang ia rasakan. Analisis ini menunjukkan perkembangan kepribadian Hiroko dalam novel tidak hanya menjadi refleksi dari pergolakan batin seorang perempuan, tetapi juga menjadi contoh konkret dari dinamika struktur psikis yang dikemukakan Freud.
1. Id
Dalam teori psikoanalisis Freud, id merupakan bagian paling dasar dari struktur kepribadian yang bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ia berisi dorongan naluriah, seperti hasrat seksual, lapar, marah, dan keinginan untuk menghindari rasa sakit. Id tidak mempertimbangkan norma sosial atau realitas, melainkan semata-mata berupaya memenuhi dorongan biologis secara instan. Dalam novel Namaku Hiroko, manifestasi dari id tampak saat tokoh utama digambarkan larut dalam kenikmatan fisik tanpa mempertimbangkan nilai moral atau konsekuensi jangka panjang, sebagaimana dalam kutipan berikut:
“Aku diam tak bergerak. Terayun antara mimpi dan kesadaran. Kenikmatan baru mulai kukecap, perlahan, seperti menghemat sesuatu yang lezat…. Dengan pasrah, kubiarkan ketegapan laki-laki membuka jalan ke dunia dewasa yang berisi teka-teki, tetapi sekaligus penuh janji gairah bagiku.” (Halaman 48)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Hiroko berada dalam kondisi antara sadar dan tak sadar, membiarkan dirinya larut dalam kenikmatan fisik yang merupakan dorongan naluriah dari id. Ia tidak menolak atau mempertimbangkan konsekuensi moral dari tindakannya, tetapi justru menyerah pada hasrat yang menjanjikan kepuasan. Hal ini sejalan dengan sifat id yang bekerja berdasarkan prinsip kesenangan dan mengabaikan realitas serta nilai sosial. Keputusan Hiroko untuk “pasrah” memperlihatkan dominasi id atas ego maupun superego, mencerminkan dorongan bawah sadar yang kuat untuk mencari kenikmatan tanpa batasan.
“Semakin lama aku semakin dikuasai oleh demam uang yang tidak dapat kucegah. Aku harus mendapat pekerjaan yang lebih menarik bayarannya.” (Halaman 61)
Kutipan ini menunjukkan dominasi dari struktur kepribadian id dalam diri tokoh utama. Dalam teori Freud, id adalah sistem kepribadian yang paling primitif dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle). Ia mendorong manusia untuk secara impulsif memenuhi kebutuhan dan keinginan tanpa memedulikan logika, realitas, atau nilai moral. Dalam kutipan tersebut, kalimat “dikuasai oleh demam uang yang tidak dapat kucegah” menegaskan dorongan naluriah dari id yang mendesak tokoh untuk mendapatkan kepuasan material berupa uang. Id dalam hal ini tampak sangat dominan karena tokoh merasa tidak mampu mengendalikan keinginan tersebut (tidak dapat kucegah), sehingga mengindikasikan minimnya peran ego dan superego dalam menyeimbangkan dorongan tersebut.
Lebih lanjut, keinginan untuk “mendapat pekerjaan yang lebih menarik bayarannya” juga memperlihatkan bahwa tokoh mengutamakan pemenuhan kepuasan pribadi, bukan karena kebutuhan aktual atau pertimbangan rasional, melainkan karena hasrat yang muncul dari dalam diri. Id bekerja secara otomatis dan irasional, hanya fokus pada pemuasan tanpa mempertimbangkan risiko atau tanggung jawab. Dengan demikian, kutipan ini memperjelas terkait dorongan id dapat mendominasi keputusan individu saat kebutuhan atau keinginan pribadi, dalam hal ini uang dan imbalan yang lebih besar, menjadi fokus utama tanpa pertimbangan moral atau realistik.
“Namun dengan sadar pula, dala kemarahan itu aku merasakan nikmatnya belaian serta sentuhan tangannya. Aku terbawa oleh naluri napsu binatang yang tak dapat kutahan. Seperti kehausan, air keruh pun dapat menggembirakan untuk memuaskan kering tenggorokan.” (Halaman 75)
“Dan sekali lagi tubuhku terbakar oleh napsu yang sama, rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik sikap pasrah yang terkutuk.” (Halaman 75)
Dalam kutipan ini, tokoh utama mengalami dorongan kuat yang muncul dari struktur kepribadian id, yaitu pusat dari naluri dasar manusia yang beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle). Id tidak mempertimbangkan moral, etika, maupun realitas sosial, ia hanya ingin segera memuaskan dorongan biologis dan emosional. Kalimat “naluri napsu binatang yang tak dapat kutahan” sangat mencerminkan karakteristik id. Ini menggambarkan bahwa tokoh tidak mampu mengontrol hasrat seksualnya, dan bahwa dorongan tersebut muncul dari alam bawah sadar tanpa bisa ditahan atau disaring oleh pertimbangan logika ataupun norma. Id dalam hal ini berfungsi secara impulsif dan mentah, mengejar kepuasan sesegera mungkin tanpa memedulikan konsekuensinya.
Perumpamaan “seperti kehausan, air keruh pun dapat menggembirakan untuk memuaskan kering tenggorokan” semakin menekankan betapa kuat dan mendesaknya dorongan tersebut. Bahkan dalam kondisi yang secara moral atau emosional tidak ideal "sikap pasrah yang terkutuk", tokoh tetap merasa terdorong untuk memenuhi keinginannya. Ini menegaskan bahwa kebutuhan id begitu mendominasi hingga tokoh rela mengorbankan standar moral atau emosional demi pemuasan tersebut.
Sementara itu, frase “tubuhku terbakar oleh napsu yang sama, rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik sikap pasrah” memperlihatkan bahwa id bisa menyelinap melalui celah-celah kesadaran dan mengaktifkan impuls-impuls naluriah yang selama ini tersembunyi. Bahkan sikap pasrah yang pada dasarnya pasif, justru menjadi wadah bagi id untuk mengaktualisasikan dorongan yang selama ini terpendam. Dengan demikian, kutipan ini menggambarkan dengan jelas terkait id mengendalikan perilaku tokoh secara impulsif, tak logis, berpusat pada pemuasan, dan mengabaikan nilai-nilai eksternal. Konflik antara kesadaran moral dan dorongan naluriah tidak tampak teratasi, justru id tampil dominan tanpa adanya intervensi ego atau superego yang kuat.
“... karena memang kebendaan yang saya cari. Saya tidak Ingin hidup dalam kekurangan.” (Halaman 155)
“Tentu saja saya mempunyai ambisi, yaitu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.” (Halaman 156)
Kedua kutipan ini menunjukkan terkait tokoh utama digerakkan oleh keinginan-keinginan mendasar yang bersifat materialistis dan penuh dorongan impulsif, ciri khas dari struktur kepribadian id. Dalam teori Freud, id beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle) dan berusaha memenuhi kebutuhan, serta keinginan tanpa mempertimbangkan moral, logika, atau kenyataan sosial. Id mewakili dorongan naluriah manusia seperti lapar, haus, seks, kenyamanan, dan dalam konteks ini, hasrat akan kekayaan dan kebebasan dari kekurangan. Pernyataan “karena memang kebendaan yang saya cari” dan “tidak ingin hidup dalam kekurangan” mengindikasikan bahwa tokoh tidak hanya berusaha memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga terdorong oleh hasrat untuk memperoleh lebih, sebuah keinginan yang melampaui kebutuhan fungsional dan bersifat konsumtif. Ini merupakan ekspresi dari id yang tidak mengenal batas dalam mencari kepuasan pribadi.
Kalimat “ambisi, yaitu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya” mencerminkan betapa keinginan tokoh untuk memenuhi dorongan id-nya menjadi tujuan utama hidup. Hasrat mengumpulkan uang dalam jumlah besar ini bukanlah hasil dari pertimbangan moral (superego) atau strategi rasional (ego), tetapi berasal dari dorongan impulsif untuk meraih kesenangan dan rasa aman secara instan. Id dalam hal ini menjadi sangat dominan, mengarahkan tokoh pada orientasi hidup yang berpusat pada pemenuhan keinginan pribadi tanpa mengindahkan konsekuensi sosial, etis, atau emosional.
Tidak tampak dalam kutipan tersebut adanya konflik batin, penalaran moral, atau pertimbangan realitas yang menunjukkan peran aktif dari ego atau superego. Ini memperkuat bahwa tokoh sedang berada dalam kondisi bahwa id mendominasi sistem kepribadiannya. Ia bertindak sesuai keinginan bawah sadar untuk menghindari kekurangan dan mengejar kekayaan sebagai simbol kepuasan. Dengan demikian, kutipan ini memperlihatkan bahwa id tidak hanya mengarahkan tokoh pada dorongan biologis semata, tetapi juga pada dorongan psikologis berupa kebutuhan akan rasa aman dan penguasaan atas benda-benda duniawi. Id menjelma sebagai energi psikis yang mendorong manusia terus-menerus mengejar kepuasan tanpa henti.
2. Ego
“Tapi bulan uangku mulai menipis, aku pun menjawab akan membelinya lain kali, atau karena aku ingin membeli barang lain lebih dulu.” (Halaman 40)
Kutipan ini menggambarkan peran ego sebagai penengah antara dorongan impulsif dari id dan tuntutan realitas eksternal. Dalam teori Freud, ego berfungsi sebagai mediator yang bekerja berdasarkan prinsip realitas (reality principle). Tidak seperti id yang hanya menginginkan kepuasan instan, ego berusaha memenuhi kebutuhan dengan mempertimbangkan keadaan nyata, logika, dan konsekuensi yang mungkin timbul. Dalam pernyataan ini, tokoh tidak langsung mengikuti keinginan untuk membeli sesuatu yang mungkin berasal dari dorongan id, melainkan ia memilih menundanya karena menyadari kondisi keuangannya sedang menipis. Penundaan pembelian ini menunjukkan adanya pengendalian diri, evaluasi terhadap situasi, serta kemampuan untuk mengatur prioritas yang semuanya merupakan ciri dari fungsi ego. Kalimat “aku ingin membeli barang lain lebih dulu” juga mengindikasikan bahwa tokoh melakukan pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan rasional, bukan sekadar mengikuti dorongan emosional atau kesenangan sesaat.
Ego dalam hal ini bertugas menjaga keseimbangan antara keinginan id untuk membeli barang (karena mungkin menarik, menggoda, atau menyenangkan) dan realitas bahwa uang yang dimiliki terbatas. Dengan memilih untuk menunda pembelian dan mendahulukan kebutuhan yang dianggap lebih penting, tokoh menunjukkan bahwa egonya berfungsi secara adaptif. Ia tidak menolak keinginan tersebut secara mutlak seperti yang mungkin dilakukan superego, melainkan menundanya dengan alasan realistis. Dengan demikian, kutipan ini mencerminkan kerja ego dalam menghadapi tekanan dari id dan keterbatasan dunia nyata. Ego di sini berperan sebagai pengatur perilaku agar tetap sesuai dengan logika dan kondisi yang memungkinkan, sehingga keputusan yang diambil tidak merugikan diri sendiri.
“... Kesadaranku yang samar aku masih mengakui kehadiran Natsuko di antara lelaki itu dan diriku…… Ah, aku tidak boleh bersikap terlalu serakah. Aku bisa mendapatkan semua laki-laki tampan dan mengena di hatiku yang datang ke kabaret. Bukan laki-laki suami temanku.” (Halaman 206)
Kutipan ini mencerminkan peran aktif dari ego, yaitu bagian dari kepribadian yang berfungsi sebagai mediator antara dorongan-dorongan naluriah dari id, nilai-nilai moral dari superego, dan tuntutan realitas. Dalam situasi ini, tokoh utama tengah berada dalam konflik batin. Di satu sisi, muncul dorongan ketertarikan terhadap lelaki yang sebenarnya adalah suami temannya (dorongan id), namun di sisi lain, terdapat pertimbangan moral dan kesadaran sosial yang mulai mengintervensi. Pernyataan “aku tidak boleh bersikap terlalu serakah” menunjukkan bahwa tokoh mulai menggunakan fungsi pengendalian diri dan berpikir logis, fungsi utama ego. Ia tidak serta-merta membiarkan dirinya dikuasai hasrat, melainkan berusaha menempatkan realitas dan nilai sosial dalam pertimbangan, misalnya dengan menyadari bahwa lelaki tersebut adalah suami dari temannya sendiri. Kalimat ini menandakan bahwa ego berupaya menyeimbangkan keinginan pribadi dengan etika sosial serta kemungkinan konsekuensi dari tindakannya.
Di sisi lain, kesadaran bahwa ia masih bisa mendapatkan banyak lelaki lain yang menarik “Aku bisa mendapatkan semua laki-laki tampan dan mengena di hatiku yang datang ke kabaret” juga memperlihatkan proses rasionalisasi, yaitu mekanisme pertahanan ego untuk mengurangi konflik batin. Tokoh menenangkan dirinya dengan pemikiran bahwa ia tidak perlu mengambil risiko atau merusak hubungan dengan temannya hanya demi satu laki-laki karena masih ada banyak pilihan lain yang tersedia. Ini adalah bentuk adaptasi ego terhadap realitas tanpa harus menekan dorongan id secara ekstrem. Dengan demikian, kutipan ini memperlihatkan bahwa ego bekerja secara aktif dalam menjaga keseimbangan antara keinginan pribadi dan nilai sosial, serta dalam membuat keputusan yang mempertimbangkan konsekuensi nyata. Tokoh memilih untuk menahan diri, bukan karena larangan moral semata, tetapi karena ego menyadari risiko dan alternatif yang lebih masuk akal secara realistik.
3. Superego
“Sebenarnya kurang senonoh bagi gadis yang mengerti ajaran sopan santun.” (Halaman 42)
Kutipan ini merepresentasikan fungsi dari superego, yaitu bagian dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap norma moral, nilai-nilai sosial, dan aturan yang ditanamkan oleh lingkungan sejak masa kanak-kanak, biasanya melalui pengasuhan orang tua, agama, budaya, dan pendidikan. Superego bekerja layaknya suara hati (conscience) yang memberikan penilaian terhadap perilaku seseorang, yaitu apakah itu baik, benar, layak, atau justru salah dan tercela. Dalam pernyataan tersebut, tokoh utama secara sadar menilai bahwa tindakannya yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam kutipan adalah sesuatu yang “kurang senonoh”, terutama bagi seorang gadis yang memahami ajaran sopan santun. Ungkapan ini memperlihatkan adanya penginternalisasian nilai moral dan norma sosial yang telah tertanam kuat dalam dirinya. Ketika tindakan atau dorongan dari id (seperti keinginan untuk mengejar kesenangan pribadi) muncul, superego segera memberikan penilaian moral dan peringatan bahwa hal tersebut tidak sepatutnya dilakukan, terutama oleh perempuan yang dianggap harus menjaga citra kesopanan.
Pernyataan itu sekaligus menunjukkan bahwa tokoh tidak hanya menyadari tindakan tersebut kurang pantas dari sudut pandang masyarakat, tetapi juga merasa terikat oleh standar-standar tersebut. Ini sesuai dengan cara kerja superego, yang tidak mempertimbangkan kenyataan atau kepuasan diri, melainkan fokus pada apa yang dianggap benar secara moral. Superego berusaha mengendalikan dorongan id melalui rasa bersalah, malu, atau takut terhadap sanksi sosial dan batin. Dengan demikian, kutipan ini menandakan adanya konflik batin yang sedang diredam oleh kerja superego bahwa tokoh mengalami pertentangan antara dorongan pribadi dan nilai moral yang telah ia serap. Keputusan untuk menilai dirinya sendiri dengan kata “kurang senonoh” adalah bentuk pengawasan internal yang merupakan ciri utama dari kerja superego.
“Seolah-olah aku hendak melarikan diri dari kenangan itu. Barangkali disebabkan oleh rasa kesalahan. Atau rasa penyesalan telah kehilangan sesuatu.” (Halaman 48)
Kutipan ini mencerminkan peran superego sebagai pengatur moral dan sumber perasaan bersalah dalam kepribadian seseorang. Dalam teori Freud, superego bekerja untuk mengontrol dorongan-dorongan tidak sadar dari id (yang menginginkan kepuasan langsung) dan mengarahkan ego agar bertindak sesuai dengan nilai moral yang telah diinternalisasi sejak kecil. Ketika seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai tersebut, muncullah perasaan bersalah, malu, atau penyesalan sebagai bentuk "hukuman" dari superego. Pada kutipan di atas, tokoh utama merasa ingin “melarikan diri dari kenangan”, yang menunjukkan adanya konflik batin atau tekanan psikologis akibat tindakan di masa lalu. Ia menyadari bahwa kenangan tersebut membangkitkan rasa bersalah dan penyesalan, dua emosi yang merupakan ciri khas dari aktivasi superego. Rasa bersalah mengindikasikan bahwa tindakan yang pernah dilakukan telah melanggar norma moral pribadi atau sosial, sementara penyesalan menunjukkan kesadaran bahwa tindakan tersebut telah membawa kerugian, baik secara emosional maupun etis.
Reaksi tokoh ini juga menunjukkan bahwa meskipun id mungkin pernah mendorongnya untuk melakukan sesuatu demi kepuasan atau keinginan sesaat, kini superego muncul untuk memberikan evaluasi moral. Ia tidak hanya menyesali perbuatannya, tetapi juga tampak ingin menjauh dari ingatan tersebut, seolah ingin “melarikan diri” dari penghakiman batin yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Inilah bentuk nyata dari kerja superego yang menimbulkan tekanan psikologis agar individu mematuhi standar moral internalnya. Dengan demikian, kutipan ini menggambarkan secara jelas bagaimana superego bekerja untuk membentuk rasa bersalah dan penyesalan atas tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, memperlihatkan konflik internal dalam diri tokoh yang berusaha mempertahankan integritas moralnya.
Daftar Pustaka
Dini, NH. (1986). Namaku Hiroko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Minderop, Albertine. (2010). Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pertarungan Batin dalam Novel Namaku Hiroko: Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud
Senin, 26 Mei 2025 21:58 WIB
Transendensi Feminin Tokoh Midah dalam Novel Midah Si Manis Bergigi Emas
Minggu, 25 Mei 2025 15:13 WIBArtikel Terpopuler