Transendensi Feminin Tokoh Midah dalam Novel Midah Si Manis Bergigi Emas
Minggu, 25 Mei 2025 15:13 WIB
Artikel ini mengkaji novel Midah Si Manis Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer yang merujuk pada teori transendensi feminin.
***
Midah Si Manis Bergigi Emas adalah salah satu karya Pramoedya Ananta Toer yang menghadirkan kisah seorang perempuan kuat dan penuh prinsip di tengah kehidupan Jakarta tahun 1950-an. Diterbitkan pertama kali oleh Lentera Dipantara pada tahun 2003, novel ini menghadirkan cerita yang ringan, namun mengandung makna tentang keberanian seorang perempuan bernama Midah dalam menghadapi tekanan keluarga yang fanatik, kerasnya kehidupan ibu kota, hingga perjalanannya menemukan jati diri melalui musik keroncong dan pengalaman hidup yang pahit, tetapi membebaskan.
Dengan gaya penceritaan khas Pramoedya yang tajam, namun menggugah nurani, novel ini mengajak pembaca untuk merenungi pentingnya mempertahankan prinsip hidup. meskipun harus melampaui batas-batas nilai yang dianggap umum dan diterima oleh masyarakat.
Dalam artikel ini, novel Midah Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer akan dianalisis menggunakan pendekatan eksistensial-feminisme yang merujuk pada teori transendensi feminin, sebagaimana dikemukakan oleh Simone de Beauvoir. Teori ini menyoroti perjuangan perempuan dalam memahami dan mewujudkan eksistensinya di tengah dominasi nilai-nilai maskulin yang cenderung menempatkan perempuan pada posisi kurang setara, serta mengabaikan potensi kebebasan dan keotentikan dirinya.
Dengan merujuk pada gagasan Beauvoir tentang konflik antara posisi sebagai subjek dan objek dalam kehidupan perempuan, artikel ini akan menelaah sejauh mana tokoh Midah mengalami krisis identitas, tubuh, dan eksistensi dalam struktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan, serta upayanya untuk melampaui batas-batas tersebut demi mencapai kebebasan sebagai manusia seutuhnya.
Sebagai perempuan yang berjuang dalam proses aktualisasi diri dan pencapaian kebebasan, Midah menunjukkan tanda-tanda transendensi feminin melalui sikap dan pengalaman hidupnya. Dalam konteks teori Simone de Beauvoir, transendensi merupakan upaya perempuan untuk keluar dari posisi pasif dan terobjektifikasi menjadi subjek yang bebas dan mandiri. Bukti konkret dari proses ini dapat ditemukan dalam berbagai momen di novel, salah satunya terlihat dari perubahan sikap dan perasaan Midah dalam pergaulan sosial yang semakin luas dan bebas.
Kutipan berikut akan menjadi titik awal analisis untuk menggambarkan sejauh mana Midah mulai mengembangkan kesadaran baru tentang dirinya sebagai manusia yang merdeka dan berdaulat. Berikut ini kutipannya:
“Dan pergaulan yang begitu bebas antra satu sama lain membangkitkan perasaan-perasaan baru di hati Midah.“ (Halaman 17)
Kutipan tersebut menunjukkan titik awal transformasi kesadaran Midah sebagai perempuan yang mulai merasakan kebebasan dan identitasnya secara lebih utuh. Dalam konteks teori transendensi feminin yang dikemukakan Simone de Beauvoir, transendensi berarti proses perempuan keluar dari posisi pasif sebagai objek dan mulai berperan aktif sebagai subjek yang mandiri dan berdaulat atas dirinya sendiri.
Pergaulan bebas yang dialami Midah ini bukan hanya interaksi sosial biasa, melainkan menjadi ruangnya untuk mulai melepas sekat-sekat pembatas yang selama ini membelenggunya, baik nilai-nilai yang mengutamakan dominasi laki-laki dalam keluarga maupun norma sosial turut mengekang perempuan pada posisi yang tidak setara.
“Perasaan-perasaan baru” yang muncul dalam hati Midah dapat diartikan sebagai bangkitnya kesadaran diri yang lebih kritis dan reflektif, dalam hal ini Midah mulai mempertanyakan, serta menolak pembatasan-pembatasan yang selama ini melekat pada identitasnya sebagai perempuan.
Melalui pengalaman pergaulan bebas ini, Midah mengalami proses transendensi, yakni melampaui kondisi imanen (yang menempatkannya sebagai objek) menuju posisi subjek yang mampu mengaktualisasikan kebebasan dan potensi dirinya secara penuh. Sikap dan perasaan baru ini menunjukkan bahwa Midah mulai mengambil alih kendali atas hidupnya, tidak lagi hanya menerima peran tradisional yang dibebankan kepadanya, melainkan aktif membentuk jati dirinya sendiri.
Dengan demikian, kutipan ini menjadi bukti kuat bahwa Midah sebagai tokoh utama dalam novel mewakili perempuan transendensi feminin yang berjuang mewujudkan kebebasan eksistensial, sekaligus menolak dominasi nilai-nilai maskulin yang selama ini membatasi ruang gerak perempuan. Pergaulan yang bebas menjadi sarana penting bagi Midah untuk membuka cakrawala baru, mengenal dan menerima dirinya sebagai manusia yang merdeka dan penuh pilihan.
“Dan Midah terkenang pada rombongan kroncong. Kini tarikan untuk memasuki kehidupan tanpa kesulitan itu makin terasa. Kehidupan yang hanya mengabdi kepada kenikmatan, kegirangan, dan keriaan ditingkah kroncong.“ (Halaman 25)
Kutipan ini merepresentasikan fase penting dalam proses transendensi Midah sebagai perempuan yang sedang mencari jati diri dan kebebasan. Ketika Midah mengenang rombongan keroncong, ia tidak hanya sekadar mengingat masa lalu, tetapi juga mulai menyadari adanya kemungkinan hidup lain di luar realitas hidupnya yang penuh tekanan dan keterbatasan.
Kehidupan bersama kelompok keroncong baginya adalah simbol dari dunia yang tidak membebani. Sebuah kehidupan yang menawarkan kebebasan emosional, ekspresi diri, dan kesenangan yang tidak ia temukan dalam lingkungan keluarganya yang kaku dan mengikat.
Tarikan untuk memasuki kehidupan "tanpa kesulitan" menunjukkan dorongan batin Midah untuk melepaskan diri dari belenggu peran-peran tradisional perempuan yang selama ini dibebankan kepadanya, seperti menjadi anak yang patuh pada orang tua yang otoriter atau perempuan yang harus tunduk pada norma kesopanan dan keterikatan domestik. Dalam pandangan Simone de Beauvoir, hal ini mencerminkan proses seorang perempuan yang mulai melihat dirinya sebagai subjek yang memiliki kehendak, bukan objek yang semata-mata dibentuk oleh struktur sosial.
Musik keroncong dalam narasi ini menjadi metafora kebebasan, ia tidak hanya menjadi pelarian dari realitas, tetapi juga ruang transendensi yang memungkinkan Midah mengekspresikan dirinya secara otentik. Dengan menginginkan hidup yang "mengabdi kepada kenikmatan, kegirangan, dan keriaan", Midah menunjukkan keberaniannya untuk mengutamakan kebahagiaan pribadi di tengah budaya yang sering menempatkan pengorbanan perempuan sebagai bentuk ideal.
Selain itu, momen ini menandai titik perubahan dalam eksistensi Midah. Ia mulai mengalami konflik batin antara dunia yang ingin ia tinggalkan, yakni dunia penuh aturan dan pengekangan dengan dunia yang ingin ia masuki, yakni dunia yang memberikan ruang bagi aktualisasi diri. Kesadaran ini menguatkan posisi Midah sebagai tokoh perempuan yang tidak pasrah terhadap kodrat yang dibentuk oleh masyarakat. Midah berjuang untuk menjadi manusia merdeka, sebagaimana ditegaskan dalam konsep eksistensial-feminisme Beauvoir.
Dengan demikian, kutipan ini menjadi representasi penting dari proses transendensi Midah, dari perempuan yang dikonstruksi oleh orang lain menjadi individu yang secara sadar memilih jalan hidupnya sendiri.
“Akhirnya yang mula-mula teringat adalah bapaknya sendiri yang untuk selama-lamanya takkan dilupakannya: tindakan yang satu itu! Tindakan yang merampas kesenangan daripadanya.” (Halaman 29)
Kutipan ini mencerminkan trauma mendalam yang dialami Midah akibat tindakan represif sang ayah. Sosok ayah dalam novel Midah Si Manis Bergigi Emas digambarkan sebagai figur yang sangat keras, fanatik, dan mengontrol kehidupan anak-anaknya, terutama Midah sebagai anak perempuan. "Tindakan yang merampas kesenangan" merujuk pada bentuk pengawasan atau hukuman yang menghalangi Midah untuk merasakan kebebasan dan kegembiraan yang wajar dimiliki oleh seorang remaja.
Dalam konteks teori transendensi feminin dari Simone de Beauvoir, tindakan sang ayah ini menunjukkan bahwa sistem sosial, terutama dalam lingkup keluarga, berperan dalam menempatkan perempuan pada posisi pasif dan tidak berdaya. Ayah Midah, sebagai representasi nilai-nilai maskulin yang dominan, menciptakan batasan yang menghambat perkembangan identitas dan kebebasan personal anak perempuannya. Trauma tersebut tidak hanya membekas, tetapi menjadi pemicu bagi Midah untuk mulai mencari ruang hidup baru yang lebih membebaskan dan memanusiakan dirinya.
Dengan mengingat kembali tindakan ayahnya sebagai "sesuatu yang takkan dilupakannya", Midah secara perlahan membentuk kesadaran akan perlunya keluar dari struktur kekuasaan yang membelenggunya. Ini menjadi salah satu titik awal dari proses transendensinya, keputusan untuk tidak tunduk pada pengekangan masa lalu, melainkan memilih jalan hidup yang memberinya ruang untuk menentukan pilihan, merasakan kegembiraan, dan menjadi manusia merdeka. Maka, dorongan untuk bebas bukan sekadar pemberontakan, melainkan bentuk perjuangan eksistensial seorang perempuan untuk merebut kembali otonominya sebagai subjek, bukan objek dalam kehidupan sosial.
“Ah itu musik! Itu lagu! Itu keindahan! itu kebebasan, keriangan, kebahagiaan, terkurung dalam ketumpulan manusia yang tergila nafsu-nafsunya." (Halaman 29)
Kutipan ini merupakan ekspresi emosional yang kuat dari Midah terhadap musik, khususnya keroncong yang menjadi simbol dari kebebasan dan pemaknaan hidup yang sejati baginya. Dalam frasa-frasa seperti “itu kebebasan, keriangan, kebahagiaan”, Midah menunjukkan bahwa musik tidak hanya sebagai hiburan atau latar belakang emosional, melainkan sebagai bentuk pelarian dari keterasingan hidup dan sarana untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi yang merdeka.
Musik menjadi wadah transendensi, sarana untuk keluar dari dunia yang mengekang dan memasuki dunia yang membebaskan. Namun, kata-kata seperti "terkurung dalam ketumpulan manusia yang tergila nafsu-nafsunya" mengindikasikan bahwa kebebasan dan keindahan yang dicari Midah tidak mudah untuk diraih karena realitas sosial di sekelilingnya yang dipenuhi oleh manusia-manusia yang kehilangan kepekaan dan dikendalikan oleh nafsu, serta aturan yang menindas justru menutup ruang bagi ekspresi dirinya tersebut.
Ini mencerminkan konflik eksistensial yang dalam, antara hasrat Midah akan kebebasan dan keindahan dengan kenyataan sosial yang membelenggu.
Dalam perspektif eksistensial-feminisme ala Simone de Beauvoir, pengalaman Midah ini menggambarkan perjuangan perempuan dalam meraih eksistensi sejatinya. Musik, sebagai simbol kebebasan dan keindahan, adalah bentuk “transendensi” yang diidam-idamkan Midah sebagai jalan untuk menjadi subjek atas hidupnya sendiri. Namun, lingkungan sosial yang maskulin dan konservatif mendorongnya kembali ke posisi “immanen” (terkekang dan terobjektifikasi). Kutipan ini juga mempertegas posisi Midah sebagai perempuan yang memiliki kesadaran kritis.
Ia tidak hanya menyadari bahwa ada dunia yang lebih membebaskan di luar struktur nilai sosial yang menindas, tetapi juga memiliki keberanian untuk memimpikan dan mengejar dunia tersebut. Oleh karena itu, musik bukan hanya latar cerita, melainkan representasi dari harapan, kebebasan batin, dan keinginan untuk menjadi manusia utuh yang tidak lagi dikurung oleh nilai-nilai yang mereduksi keberadaan perempuan.
“Ada terbit suasana hati yang baru, yang belum pernah dialaminya selama ini. kebebasan tanpa ikatan apapun jua dalam pengabdian pada kroncong. juga ikatan susila sejenak yang begitu berpengaruh dalam keluarga orang, yang menamai dirinya baik, baik, lenyap mendadak. Bagaimanapun juga ia bergerak, betapapun juga ia bertingkah, yang ada hanya kebebasan, kegairahan yang tak terartikan." (Halaman 36)
Kutipan ini menggambarkan momen penting dalam perjalanan eksistensial Midah, saat ia merasakan kebebasan yang benar-benar baru dan belum pernah dialaminya sebelumnya. Suasana hati yang terbit itu bukan sekadar perasaan biasa, melainkan sebuah pembebasan dari segala ikatan, baik ikatan sosial, moral, maupun norma keluarga yang selama ini membatasi ruang geraknya. Dalam pengabdian pada musik keroncong, Midah menemukan ruang bahwa aturan dan nilai-nilai ketat yang selama ini mengekangnya menghilang sejenak.
Ikatan susila yang kerap membelenggu dan menamai seseorang sebagai “baik” menurut standar masyarakat menjadi tidak relevan dalam konteks ini. Kebebasan yang dirasakannya bukan hanya kebebasan fisik, tetapi juga kebebasan jiwa dan pikiran yang memungkinkan ia bergerak dan bertingkah tanpa harus selalu memikirkan penilaian orang lain.
Secara lebih mendalam, kegairahan yang “tak terartikan” itu mencerminkan pengalaman transendensi bagi Midah sebagai sebuah lompatan dari keadaan pasif dan terkekang menjadi subjek yang aktif dan berdaulat dalam hidupnya sendiri. Dalam konteks teori Simone de Beauvoir tentang transendensi feminin, momen ini menandai titik bahwa Midah mulai mengaktualisasikan kebebasan dirinya sebagai manusia yang utuh, lepas dari konstruksi sosial yang mengekang perempuan. Dengan demikian, kutipan ini menegaskan proses pembebasan batin Midah yang menjadi landasan penting dalam perjuangan eksistensialnya.
“Anakku harus jadi manusia bebas! Bebas dan lebih bebas daripada aku sendiri.” (Halaman 48)
Kutipan tersebut merupakan pernyataan penting yang mencerminkan puncak kesadaran eksistensial Midah sebagai seorang perempuan yang telah melewati proses panjang pencarian jati diri dan kebebasan. Ucapan ini tidak hanya mencerminkan harapannya sebagai seorang ibu, tetapi juga menjadi penegasan atas nilai-nilai kebebasan yang telah ia perjuangkan sepanjang hidupnya.
Dalam kerangka teori eksistensial-feminisme seperti yang dikemukakan oleh Simone de Beauvoir, pernyataan ini menunjukkan keberhasilan Midah dalam mentransendensikan dirinya sebagai subjek yang merdeka dan tidak lagi tunduk pada struktur nilai yang menindas. Ia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga bertekad memutus rantai penindasan struktural yang diwariskan antargenerasi, terutama dalam hal peran dan posisi perempuan dalam masyarakat.
Kalimat “bebas dan lebih bebas daripada aku sendiri” mengandung makna bahwa Midah menyadari keterbatasan kebebasan yang pernah ia miliki. Meski ia telah membebaskan diri dari kungkungan nilai keluarga dan masyarakat, ia tetap mengakui bahwa ada batas-batas yang tidak sepenuhnya bisa ia lewati. Oleh karena itu, ia ingin anaknya kelak tidak mengalami belenggu yang sama. Keinginannya agar sang anak menjadi lebih bebas menunjukkan adanya harapan akan regenerasi kesadaran kritis dan pembebasan perempuan dalam tataran yang lebih ideal.
Dengan demikian, kutipan ini bukan sekadar ungkapan kasih sayang ibu kepada anak, melainkan juga bentuk refleksi ideologis dari perempuan yang telah berhasil mengaktualisasi eksistensinya sebagai manusia bebas dan kini mewariskan semangat tersebut kepada anaknya.
“Ia takut kehilangan kebebasannya yang hanya bisa diperolehnya dengan menghindari jalan jalan yang sah itu.” (Halaman 58)
Kutipan tersebut mencerminkan dilema eksistensial Midah dalam memilih antara kehidupan yang diakui secara sosial (jalan yang "sah") dengan kebebasan pribadi yang ia rasakan lebih sejati dan bermakna. Dalam konteks eksistensial-feminisme ala Simone de Beauvoir, kutipan ini memperlihatkan bahwa Midah sedang menolak untuk kembali pada norma atau struktur sosial yang kerap mengekang perempuan, baik dalam bentuk pernikahan tradisional, peran domestik, atau aturan moral masyarakat yang timpang. “Jalan-jalan yang sah” dalam kutipan tersebut bisa dimaknai sebagai jalur yang disetujui oleh norma-norma masyarakat, namun justru Midah melihatnya sebagai ancaman terhadap kebebasan yang telah ia perjuangkan.
Rasa takut kehilangan kebebasan menandakan bahwa Midah telah sampai pada tahap kesadaran eksistensial, ia tidak lagi ingin menjadi objek dari sistem yang membentuk identitasnya. Ia memilih untuk menjadi subjek aktif yang menentukan arah hidupnya sendiri, meskipun harus menempuh jalan yang dianggap "tidak sah" atau menyimpang dari konstruksi sosial yang umum. Dengan demikian, kutipan ini mempertegas posisi Midah sebagai perempuan yang menolak dikurung dalam eksistensi imanen yang pasif dan terbatas pada identitas tradisional dan berani melangkah menuju transendensi, yakni bentuk keberadaan yang bebas, otentik, dan berdaulat atas dirinya sendiri.
“Ia mencari daerah lain di mana ia dengan bebas dapat menyanyi: untuk dirinya sendiri, untuk anaknya.“ (Halaman 76)
Kutipan tersebut menggambarkan dengan kuat proses transendensi yang dijalani oleh Midah sebagai subjek perempuan yang ingin merdeka dari keterikatan sosial yang mengekangnya. Dalam pandangan eksistensial-feminisme Simone de Beauvoir, pencarian “daerah lain” tidak hanya bermakna tempat secara fisik, tetapi juga simbol dari ruang hidup baru yang memungkinkan Midah menjadi dirinya sendiri secara utuh, tanpa dikontrol oleh nilai-nilai sosial yang maskulin dan membatasi. “Menyanyi” dalam konteks ini merupakan simbol dari ekspresi diri, kebebasan personal, dan bentuk eksistensi yang sejati. Midah menyanyi bukan lagi untuk hiburan orang lain atau demi memenuhi harapan masyarakat, melainkan sebagai bentuk keberadaan dirinya yang sejati untuk dirinya sendiri dan untuk anaknya.
Keputusannya untuk menyanyi “untuk anaknya” juga mencerminkan bahwa kebebasan yang diperjuangkan Midah tidak bersifat egoistik, tetapi memiliki dimensi lintas generasi. Ia ingin mewariskan nilai kebebasan itu kepada anaknya, agar tidak terperangkap dalam nasib dan sistem yang sama seperti yang pernah ia alami. Ini selaras dengan kutipan sebelumnya yang menyatakan: “Anakku harus jadi manusia bebas! Bebas dan lebih bebas daripada aku sendiri". Secara keseluruhan, kutipan ini menegaskan bahwa Midah telah bergerak dari posisi imanen, perempuan sebagai objek dan korban dari sistem sosial menuju posisi transenden, yaitu perempuan yang aktif memilih, bertindak, dan menciptakan makna hidupnya sendiri. Upaya mencari “daerah lain” adalah simbol perjuangan untuk keluar dari ruang-ruang menekan dan membangun dunia yang lebih manusiawi bagi dirinya dan generasi berikutnya.
Penutup
Sebagai penutup, perjalanan Midah dalam novel Midah Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer merupakan cerminan nyata dari proses transendensi feminin sebagaimana dikemukakan oleh Simone de Beauvoir. Midah tidak sekadar menjadi tokoh perempuan yang melawan norma, tetapi ia menempuh jalan panjang untuk menjadi subjek atas hidupnya sendiri. Melalui pengalaman pahit, musik keroncong, dan dorongan untuk hidup merdeka, Midah membuktikan bahwa perempuan mampu menentukan arah hidupnya di tengah dunia yang kerap menempatkannya dalam posisi terpinggirkan. Kebebasan yang ia perjuangkan pun tidak berhenti pada dirinya, melainkan meluas hingga ke harapan untuk generasi setelahnya.
Dengan demikian, Midah menjadi representasi perempuan yang tidak hanya sadar akan eksistensinya, tetapi juga berani melampaui batas-batas yang mengekangnya demi menjadi manusia seutuhnya.
Daftar Pustaka
Heraty, Toeti. (2018). Transendensi Feminin Kesetaraan Gender Menurut Simone De Beauvoir: Perempuan dalam Aktualisasi Diri Sebagai Manusia Bebas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Toer, Pramoedya Ananta. (2003). Midah Si Manis Bergigi Emas. Jakarta: Lentera Dipantara.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pertarungan Batin dalam Novel Namaku Hiroko: Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud
Senin, 26 Mei 2025 21:58 WIB
Transendensi Feminin Tokoh Midah dalam Novel Midah Si Manis Bergigi Emas
Minggu, 25 Mei 2025 15:13 WIBArtikel Terpopuler