Mengupas Kebutuhan Psikologis Tokoh Tini dalam Novel Belenggu Lewat Teori Maslow
Minggu, 18 Mei 2025 10:39 WIB
Iklan
Artikel ini menganalisis tokoh Tini dalam novel Belenggu karya Armijn Pane menggunakan pendekatan psikologi humanistik Abraham Maslow.
“Seperti setitik kesedihan di hatiku itu tenggelam, hilang lenyap, meresap ke lautan udara itu, demikianlah rupanya, kesedihan itu akan tercampur dengan lautan kedukaan manusia yang sejak diderita manusia dulu.” (Halaman 162)
Novel Belenggu karya Armijn Pane merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan sastra Indonesia modern, khususnya di era Angkatan Laut Pujangga Baru. Karya ini dikenal sebagai bentuk pembaharuan dalam dunia kepenulisan prosa Indonesia karena mampu menampilkan kompleksitas psikologis tokoh-tokohnya, serta mengangkat persoalan batin dan realitas sosial yang saat itu jarang disentuh oleh penulis-penulis sezamannya.
Awalnya, naskah novel ini diterbitkan ke Balai Pustaka yang saat itu merupakan lembaga penerbit terkemuka di Hindia Belanda. Namun naskah itu ditolak karena dianggap tidak memenuhi standar buku yang dianggap baik oleh penerbit tersebut. Meskipun demikian, Armijn Pane tidak menyerah. Berkat dukungan tokoh sastra terkemuka Sutan Takdir Alisyahbana, novel Belenggu akhirnya dimuat sebagai cerita bersambung dalam majalah Pudjangga Baroe edisi tahun 1940, tepatnya pada nomor 10, 11, dan 12.
Pada tahun yang sama, novel ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Rakyat di Jakarta. Perjalanan terbitnya novel Belenggu bukanlah tanpa hambatan. Ketika pertama kali diterbitkan, novel ini menuai banyak kritik, bahkan lebih banyak penolakan daripada pujian. Namun seiring berjalannya waktu, novel Belenggu mulai diterima sebagai karya penting yang secara reflektif menggambarkan keadaan manusia Indonesia di era perubahan.
Novel Belenggu tidak hanya diakui sebagai karya yang luar biasa, tetapi juga dihargai sebagai sebuah novel yang menggambarkan pergulatan batin dan kritik sosial yang tajam terhadap keadaan masyarakat pada masa itu. Keberanian Armijn Pane dalam mengeksplorasi isu-isu moral, kebebasan individu, dan hubungan sosial menjadikan novel Belenggu sebagai karya sastra yang tetap relevan untuk dikaji hingga kini.
Abraham Maslow sebagai salah satu tokoh dalam psikologi humanistik meyakini bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang baik dan memiliki dorongan alami untuk mengembangkan dirinya guna mencapai aktualisasi diri. Menurut Maslow dalam Minderop (2013), manusia akan terus berusaha mewujudkan dan mengekspresikan kemampuan, serta potensinya, meskipun sering kali menghadapi hambatan dari lingkungan sosial atau masyarakat yang membatasi kebebasannya.
Maslow dalam Minderop (2013) menegaskan bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh dorongan untuk mencapai kehidupan yang lebih bermakna. Teori hierarki kebutuhan yang ia rumuskan mewakili pendekatan humanistik yang menyeluruh, serta memberikan kontribusi penting dalam memahami motivasi dan perilaku manusia masa kini. Teori ini mencakup lima tingkat kebutuhan dasar manusia, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri.
Artikel ini akan membahas dan menganalisis tokoh Tini dalam novel Belenggu karya Armijn Pane. Analisis ini mengadopsi pendekatan psikologi sastra dengan menganggap karya sastra sebagai bentuk ungkapan dari pengalaman batin manusia. Dengan menggunakan pendekatan ini, keadaan batin tokoh Tini dijelaskan melalui teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Pendekatan sastra memberikan ruang bagi pembaca untuk menyelesaikan konflik internal tokoh melalui perkembangan alur cerita dan dinamika psikologis yang menyertainya. Secara keseluruhan, kebutuhan dasar berupa fisiologis dan rasa aman dalam diri
Tini dapat dikatakan telah tercukupi. Ia digambarkan sebagai kehidupan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan tidak mengalami ancaman terhadap keselamatan fisik maupun kekurangan kebutuhan fisiknya. Dalam kehidupan sehari-harinya, Tini tidak menghadapi persoalan terkait sandang, pangan, papan, ataupun keamanan. Hal ini menunjukkan bahwa dua tingkat kebutuhan terendah dalam hierarki Maslow telah terpenuhi.
Dengan demikian, pembahasan dalam analisis ini akan fokus pada memuat tiga kebutuhan psikologis dan eksistensial yang lebih tinggi dalam diri Tini, yaitu kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, kebutuhan akan penghargaan (harga diri), serta kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Kebutuhan ketiga ini lebih dominan ketika kebutuhan dasar telah tercapai.
Dalam konteks kehidupan Tini, kebutuhan ketiga tersebut menjadi sumber ketegangan batin dan konflik internal, sekaligus menjadi dorongan utama yang membentuk pola pikir, perasaan, dan tindakannya sepanjang cerita.
1. Kebutuhan akan Cinta dan Memiliki
Menurut teori Abraham Maslow dalam Minderop (2013) menjelaskan bahwa kebutuhan akan cinta dan memiliki menempati posisi ketiga dalam hierarki kebutuhan manusia, setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpenuhi. Kebutuhan ini merupakan dorongan emosional yang muncul secara alami dalam diri manusia untuk menjalin hubungan interpersonal yang hangat, saling peduli, dan penuh kasih sayang.
Individu yang berada pada tingkat ini akan mencari kedekatan, penerimaan, dan perasaan memiliki kesamaan dengan orang lain. Kebutuhan ini mencerminkan pentingnya ikatan emosional dalam membentuk rasa aman secara psikologis. Ketika kebutuhan cinta tidak terpenuhi, seseorang dapat merasa kesepian, terluka secara emosional, bahkan mengalami pemahaman dalam menjalani hidup. Kebutuhan akan cinta dan memiliki dapat terlihat dalam diri Tini, sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut:
“Mengapa tiada dikatakannya: Apa perlunya mengingat waktu yang lalu, aku cinta kamu, aku tidak peduli siapa dan apa kamu dulu. Engkau kucintai, habis perkara. Katanya yang lemah lembut seperti dulu, mengandung hati gembira, tegap dan pasti, menerbitkan, mematikan hati yang ragu-ragu, sama sekali tidak mendengar lagi. Dia bimbang khawatir, memang dia tiada cinta lagi. Ah, laki-laki cintanya sebentar saja, kalau sudah menang, kalau perempuan sudah tunduk, hilanglah cintanya. Cintanya hanya terletak pada tiba-tiba saja. Kasihnya sudah Dia sudah ingat, bagaimana tadi di hadapan tamu: mengingat zaman dulu enak juga ?
Dalam kutipan tersebut menggambarkan bahwa Tini sedang mengalami krisis emosional akibat kehilangan cinta yang sebelumnya ia harapkan dapat menjadi sumber ketenangan dan kekuatan dalam hidupnya. Ia rindu mengucapkan terima kasih sayang yang tulus dan penuh kepastian, sebagaimana yang pernah ia rasakan dari suami di masa lalu. Kini, ketika kata-kata penuh cinta itu tak lagi terdengar, Tini mulai meragukan ketulusan cinta pasangannya. Ia diliputi oleh perasaan bimbang, cemas, dan ragu yang mencerminkan betapa dalam luka batin yang ia alami.
Ketika kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi, Tini merasa seolah-olah ditinggalkan secara emosional oleh suaminya. Harapan akan cinta yang tulus dan penerimaan terhadap dirinya perlahan-lahan memudar karena sikap pasangannya yang terlihat tidak peduli dan enggan meluangkan waktu untuknya. Ketidakhadiran dukungan emosional dan perhatian yang ia perlukan memperdalam keseimbangan batin yang Tini alami. Hal ini menunjukkan betapa kurangnya kedekatan emosional dan kasih sayang dalam hubungan keduanya yang pada akhirnya memperdalam gejolak batin dalam diri Tini.
Ia merasa cintanya tidak lagi mendapatkan balasan yang seharusnya dan mulai melihat suami sebagai sosok yang hanya mementingkan pekerjaan, bukan hubungan keduanya. Ketidakmampuan suami dalam memenuhi kebutuhan emosional ini menjadi salah satu penyebab utama penderitaan psikologis Tini yang kemudian mempengaruhi cara berpikir dan mengambil keputusan sepanjang cerita.
Dalam kerangka teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, kondisi yang dialami Tini merefleksikan tidak terpenuhinya kebutuhan akan cinta dan memiliki, yaitu kebutuhan mendasar manusia untuk dicintai, diterima, dihargai, dan menjalin hubungan emosional yang saling menguatkan. Ketika hubungan yang sebelumnya penuh kehangatan mulai berubah menjadi dingin dan menghilang, Tini merasa terasing di dalam rumah tangganya sendiri. Ia sangat menginginkan kehadiran cinta yang nyata, bukan sekadar rutinitas atau formalitas pernikahan, melainkan perhatian tulus yang mampu memberikan rasa aman secara emosional, tetapi yang ia temui justru adalah hubungan emosional dan komunikasi yang tidak hangat.
Hal ini membuatnya merasa bukan saja kurang dicintai, tetapi juga tidak diinginkan. Akibatnya, Tini mulai memupuk rasa curiga dan keyakinan bahwa cinta laki-laki hanya bersifat sementara. Ketidakpastian cinta tersebut membuat Tini terjebak dalam pemikiran negatif dan perasaan tidak layak. Komunikasi yang menenangkan, meyakinkan, dan membangun rasa aman yang seharusnya hadir dalam pernikahan justru tidak ada, sehingga kebutuhan mendasarnya untuk merasa dicintai dan memiliki ikatan emosional yang kuat gagal terpenuhi.
Kurangnya mencukupi kebutuhan ini secara menyeluruh berkontribusi pada terganggunya kestabilan emosi Tini. Hal ini membentuk cara pandangnya terhadap dirinya sendiri dan hubungan yang ia jalani, serta memperdalam ketegangan dalam cerita secara keseluruhan.
"Di dalam hati dan pikiran seolah-olah ombak memecah mendamparkan pokok pikiran, mendamparkan jiwa, sedang Kartono di dalam perahu layar, membawa jauh-jauh melayang di atas gelombang, semakin lama semakin jauh. Tini memejamkan mata, semakin jelas tergambar gambaran jantung di dalamnya. seolah-olah hilang melayang sesuatu yang dikasihi, yang selama ini tersemat dalam hati kecilnya, hilang topangan kasih sayang. Di hati dalam hening sunyi senyap." (Halaman 69–70)
Dalam kutipan tersebut, Tini digambarkan mengalami kekosongan emosional yang mendalam akibat kehilangan ikatan kasih sayang dengan Kartono. Bayangkan “ombak memecah” dan “Kartono di dalam perahu layar membawa jauh-jauh melayang di atas gelombang, semakin lama semakin jauh” menggambarkan proses menjauhnya seseorang yang dicintai secara perlahan.
Hal ini bukan hanya perpisahan secara fisik, tetapi juga simbol dari renggangnya ikatan batin dan emosional yang selama ini menjadi sandaran warisan. Terungkapnya “hilangnya topangan gantungan kunci” menandakan bahwa Tini merasa tidak lagi memiliki tempat untuk bersandar secara emosional. Kartono yang dulunya menjadi sumber ketenangan dan cintanya, kini menghilang, meninggalkan kedalaman yang mendalam
. Kebutuhan Tini untuk merasa memiliki dan mencintai yang termasuk dalam kebutuhan cinta dan tidak dapat terpenuhi. Akibatnya, ia terjebak dalam rasa kehilangan dan kesepian yang sunyi, sebagaimana digambarkan dalam kalimat “di dalam hati hening sunyi senyap”.
Kutipan ini pula pentingnya peran cinta dan keinginan dalam kestabilan emosi seseorang. Ketika hubungan tersebut retak, individu dapat merasa terombang-ambing secara batin, kehilangan arah, dan mengalami psikologis psikologis. Bagi Tini, cinta yang tidak lagi terbalas menyebabkan dirinya merasa terabaikan secara emosional, seolah terlepas dari rasa memiliki yang selama ini ia butuhkan. Proses emosional yang dialami Tini menggambarkan bahwa ketika sebuah hubungan yang sebelumnya menjadi sumber kenyamanan dan kestabilan, dapat berubah menjadi sumber penderitaan ketika hubungan tersebut terganggu atau kehilangan maknanya.
Hilangnya rasa yang dimilikinya sangat kuat mempengaruhi psikologis Tini yang menunjukkan pentingnya ikatan emosional dalam kehidupan manusia. Cinta dan kasih sayang tidak hanya memenuhi kebutuhan sosial, tetapi juga menjadi penopang kestabilan batin seseorang. Ketika ikatan ini terputus, individu cenderung mengalami perasaan kosong dan hampa yang dapat mengarah pada kesepian yang mendalam.
“Kawin dengan cinta, memang itulah yang harus menjadi cita-cita, tetapi cinta belum pasti akan membawa kita ke jalan kawin. Lihatlah aku, tak lama kemudian…” (Halaman 76)
Pada kutipan tersebut mencerminkan kekecewaan dan kenyataan pahit yang dialami tokoh terhadap kebutuhan akan cinta dan memiliki, sebagaimana dijelaskan dalam teori Abraham Maslow. Dalam hierarki kebutuhan Maslow, cinta dan memiliki merupakan kebutuhan sosial yang muncul setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpenuhi. Kebutuhan ini mencakup keinginan untuk dicintai, diterima, dan memiliki hubungan emosional yang hangat dan bermakna. Melalui kutipan tersebut, tokoh mengungkapkan bahwa meskipun cinta adalah sesuatu yang diidamkan sebagai dasar dalam membangun pernikahan, namun kenyataannya tidak selalu berjalan seiring dengan harapan tersebut.
Ungkapan “tetapi cinta belum pasti akan membawa kita ke jalan kawin” menunjukkan bahwa cinta yang dirasakan tidak cukup kuat untuk melanjutkan ke tahap memiliki secara resmi dalam ikatan pernikahan. Tokoh merasa bahwa kebutuhannya untuk memiliki dan dimiliki secara emosional tidak terpenuhi sepenuhnya, sehingga menimbulkan rasa kehilangan dan perasaan tidak utuh secara batiniah. Kekecewaan ini memperkuat bahwa memenuhi kebutuhan cinta dan memiliki bukan hanya tentang mencintai, tetapi juga tentang adanya timbal balik, komitmen, dan rasa aman dalam hubungan yang terjalin.
Kutipan ini menggambarkan betapa besarnya harapan tokoh terhadap cinta sebagai dasar untuk membangun hubungan pernikahan, namun kenyataan yang dihadapi jauh dari harapan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara harapan cinta yang diinginkan dan kenyataan yang harus dihadapi dalam spesifikasinya. Tini menyadari bahwa meskipun cinta menjadi cita-cita utama dalam membentuk ikatan, namun tidak selalu cukup untuk mewujudkan pernikahan atau hubungan jangka panjang yang diinginkan.
Ketika hubungan tersebut tidak memenuhi harapan, muncullah rasa mengecewakan dan mengecewakan yang mampu mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Selain itu, kekecewaan ini menunjukkan betapa pentingnya aspek komitmen dan rasa aman dalam suatu hubungan. Bagi tokoh tersebut, perasaan dicintai dan memiliki sangat bergantung pada kemampuan kedua belah pihak untuk saling memberi dan menerima, serta membangun ikatan yang lebih mendalam daripada sekadar perasaan cinta yang sementara. Ketika salah satu pihak gagal memberikan rasa aman atau komitmen yang diinginkan, perasaan kehilangan dan mengecewakan bisa muncul, seperti yang dirasakan oleh Tini dalam kutipan ini.
Dalam konteks teori Maslow, kebutuhan cinta dan memiliki tidak hanya fokus pada perasaan dicintai, tetapi juga pada tercapainya hubungan yang stabil dan penuh dengan rasa percaya. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, seseorang bisa merasa terabaikan dan terasing yang dapat berpengaruh negatif pada keseimbangan emosional dirinya.
“Aku tiada suka dia pergi-pergi, hendakku banyak-banyaklah dia didekatku… Aku selalu takut, dia akan terlepas daripadaku, dia akan jatuh cinta pada orang lain… Memang aku tiada pantas menjadi kekasihnya.” (Halaman 145)
Pada kutipan tersebut menggambarkan kebutuhan akan cinta dan memiliki dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Kebutuhan ini mencakup keinginan untuk menjalin hubungan yang dekat dan mendapatkan kasih sayang. Melalui kutipan ini terlihat dengan jelas bahwa tokoh mengalami kegelisahan dan kecemasan emosional yang muncul dari rasa takut kehilangan sosok yang dicintainya. Keinginan agar pasangannya selalu berada dalam persahabatan menunjukkan kebutuhan akan kedekatan secara emosional.
Rasa cemburu, curiga, serta bayangan negatif terhadap aktivitas pasangannya mencerminkan ketidakamanan dalam hubungan yang menghambat memenuhi kebutuhan cinta dan memiliki secara utuh. Penyesalan tokoh karena tindakan masa lalunya yang dianggap menjadi penghalang dalam menyatakan cinta juga menampilkan adanya hambatan batin untuk memberi dan menerima cinta sepenuhnya. Bahkan perasaan “tidak pantas” menjadi kekasih menunjukkan rendahnya harga diri yang berpengaruh pada lambatnya memberikan kebutuhan akan kasih sayang dan kedekatan secara emosional. Secara keseluruhan, kutipan ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan cinta dan memiliki menjadi sumber konflik batin ketika tidak terpenuhi atau terancam, dan berdampak besar pada kestabilan emosional tokoh.
Kondisi emosional tokoh Tini dalam kutipan ini juga mencerminkan adanya keberadaan yang bersifat mengekang karena rasa cinta tidak hanya didasari oleh kasih sayang, tetapi juga oleh ketakutan akan kehilangan. Ketakutan tersebut menunjukkan bahwa tokoh belum mencapai kestabilan emosional dalam hubungan yang dijalani, karena cinta yang sehat seharusnya dilandasi oleh kepercayaan dan penerimaan.
Ketika kebutuhan untuk merasa dicintai dan tidak terpenuhi dengan baik, maka akan muncul reaksi emosional, seperti rasa cemas, takut, dan merasa tidak layak. Hal ini memperkuat bahwa kebutuhan cinta dan memiliki bukan sekedar keinginan untuk dekat secara fisik, tetapi juga berkaitan dengan perasaan aman, dihargai, dan diterima sepenuhnya oleh pasangan.
(2) Kebutuhan Akan Harga Diri
Kebutuhan akan harga diri merupakan salah satu tingkatan dalam teori hierarki Maslow yang mencakup keinginan untuk dihargai, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. Setiap individu secara alami ingin merasa berharga, memiliki keyakinan pada dirinya sendiri, berdaya, dan diakui oleh lingkungannya. Dalam kehidupan sosial, seseorang membutuhkan penilaian yang positif terhadap dirinya agar merasa diakui dan berguna.
Ketika kebutuhan ini terpenuhi, muncullah rasa percaya diri, kekuatan, dan kemampuan untuk berkontribusi. Sebaliknya, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, individu dapat mengalami perasaan rendah diri, lemah, tidak berdaya, serta kesulitan dalam menjalin hubungan sosial dan menghadapi tantangan hidup. Dalam novel Belenggu karya Armijn Pane, terdapat kutipan yang mencerminkan pergolakan batin tokoh Tini terkait kebutuhan harga dirinya. Berikut ini kutipannya:
"Tini tertawa: Apa perlunya menyusahkan pikiran? Bukan ada isterinya untuk perkara yang kecil-kecil itu? Tini menjeling, terasa-rasa olehnya nyonya Rusdio menyindir. Sudah tahu dia, apa cerita Aminah nanti. Sudah tampak-tampak dia bersenang-senang, ada cerita yang baru. Tini tersenyum. Yang menyalahkan orang tentu dia. Peduli apa. Biar diketahui orang." (Halaman 46)
Kutipan ini menggambarkan kondisi psikologis Tini yang sedang menghadapi tekanan sosial dan sindiran halus dari Nyonya Rusdio. Reaksi Tini yang tertawa dan tersenyum, serta ucapan “Peduli apa.Biar diketahui orang” menunjukkan bahwa ia berusaha mempertahankan kendali atas citra dirinya di hadapan orang lain. Meski secara batin mungkin ia merasa tidak nyaman, Tini tetap menunjukkan ketegasan untuk tidak membiarkan komentar atau penilaian orang lain merusak harga dirinya. Sikap Tini ini mencerminkan respon emosional yang matang terhadap kebutuhan akan harga diri karena ia berupaya menjaga martabat dan memilih untuk tidak menunjukkan kelemahan di depan orang lain.
Dalam konteks ini, harga diri tidak hanya berasal dari pengakuan eksternal, tetapi juga dari penerimaan dan keyakinan dalam diri sendiri. Tini seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya masih memiliki kendali atas kehidupan dan pilihan yang ia ambil, tanpa perlu membuktikan dirinya kepada orang lain. Dengan demikian, kutipan ini tidak hanya menunjukkan penyediaan kebutuhan akan harga diri, tetapi juga menampilkan bentuk perlawanan terhadap tekanan sosial yang mencoba memenuhi martabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tini tetap menjaga integritas dirinya, meskipun berada dalam posisi yang rentan terhadap penilaian negatif dari masyarakat.
Pada kutipan lain ditemukan bahwa adanya pergolakan batin tokoh Tini yang berkaitan erat dengan kebutuhan akan harga diri dalam perspektif psikologi humanistik Abraham Maslow. Dalam kutipan tersebut, Tini merasa tertekan dalam hubungan pernikahannya dengan Dokter Sukartono karena adanya ketidaksetaraan dalam kebebasan dan penghargaan yang ia terima. Berikut ini kutipannya:
(1) "bukankah lakiku juga pergi sendirian? Mengapa aku tiada boleh? Apakah bedanya?" (halaman 57)
(2) "Memang, kenapa pula tidak? (Muka nyonya Rusdio tergambar dalam ingatannya) Engkau boleh keluar-keluar, kenapa aku tidak? Apa bedanya kamu dan aku? Mestikah aku diam-diam duduk menjadi nona penjaga telepon dekat-dekat telepon? Aku kawin bukan hendak menjadi budak suruh-suruhanmu menjaga telepon. Buat apa bujang sebanyak itu disini?" (Halaman 67)
Kedua kutipan tersebut menunjukkan protes Tini bahwa ia merasa diperlakukan tidak adil karena tidak memiliki kebebasan yang sama, baik dalam ranah pribadi maupun sosial. Pada kutipan pertama, Tini bertanya-tanya mengapa ia tidak diberi kebebasan yang sama dengan suaminya untuk keluar tanpa dibatasi. Hal ini mengungkapkan rasa mengecewakan atas ketidaksetaraan dalam hubungan keduanya. Pada kutipan kedua, ia melontarkan sindiran tajam tentang persetujuan sebagai istri yang diperlakukan seperti "budak suruh-suruhan" yang hanya memiliki tugas menjaga telepon. Tini merasa terjebak dalam peran tradisional yang membatasi kebebasannya dan mengorbankan harga dirinya sebagai individu yang berhak memilih dan menentukan jalan hidupnya sendiri.
Melalui perspektif Maslow, kutipan kedua ini menunjukkan bahwa Tini berjuang untuk memenuhi kebutuhan harga dirinya yang mencakup pengakuan internal berupa rasa percaya diri dan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri, serta pengakuan eksternal dalam bentuk yang dihargai dan perlakuan yang setara dari orang lain yang membuat individu merasa dihargai dan diakui dalam lingkungan sosial. Ketika kebebasan dan penghargaan ini tidak diberikan, Tini merasakan ketidakpuasan, konflik batin, dan perasaan tidak puas dalam hubungan pernikahannya. Perjuangan ini lebih dari sekedar masalah pribadi, melainkan juga merupakan representasi dari ketidaksetaraan gender dalam masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah. Tini menginginkan kebebasan untuk bertindak, serta pengakuan dan penghargaan atas identitasnya sebagai perempuan yang berdaya. Ketika kebutuhan akan harga diri ini tidak terpenuhi, Tini mengalami perasaan tertekan dan tidak puas dalam keutuhan suaminya. Oleh karena itu, kutipan-kutipan ini mencerminkan upaya Tini dalam mencapai kemandirian, keadilan, dan harga dirinya sebagai individu dalam struktur sosial yang membelenggu.
Situasi yang dialami Tini mencerminkan dilema banyak perempuan dalam masyarakat yang masih mengutamakan dominasi laki-laki. Hal ini membuat kebebasan dan martabat perempuan sering kali dikorbankan demi menjaga citra sebagai istri yang baik menurut standar sosial. Dalam konteks ini, perjuangan Tini bukan hanya persoalan pribadi, melainkan juga representasi dari pergulatan perempuan melawan norma-norma yang mengekang. Kutipan tersebut menjadi simbol perlawanan halus terhadap dominasi laki-laki dan sistem sosial yang tidak memberi ruang setara bagi perempuan untuk tumbuh, menentukan pilihan, dan dihargai secara utuh. Dengan melihat ketimpangan tersebut, Tini menunjukkan kesadarannya sebagai individu yang berharga, berpura-pura, dan memiliki hak yang sama untuk diperlakukan secara adil.
Maka terasa pula perasaan seperti malam itu, seolah-olah kehilangan tempat pegangan bagi jiwa. Tono tiada memberi sandaran lagi. Maka dicobanya memberanikan, menegakkan jiwa. (Halaman 70)
Pada kutipan tersebut menggambarkan perasaan kebingungan dan ketidakberdayaan tokoh Tini yang berhubungan dengan kebutuhan akan harga diri, sebagaimana dijelaskan dalam teori psikologi humanistik Abraham Maslow. Dalam kutipan ini, Tini merasa kehilangan sandaran setelah tidak mendapatkan dukungan emosional dari suaminya, yaitu Sukartono atau Tono. Sebelumnya, ia mungkin merasa memiliki cadangan emosional dalam kehidupan suami, namun kini ia merasakan kehilangan. Perasaan “seolah-olah kehilangan tempat pegangan bagi keselamatan ” mencerminkan gambaran dan penghindaran dalam dirinya yang disebabkan oleh ketidakadilan dalam hubungan keduanya dan hilangnya dukungan yang ia harapkan.
Kehilangan sandaran ini berujung pada ketidakpuasan terhadap harga diri Tini. Ketika Tono tidak lagi memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan, Tini merasa bahwa ia tidak dihargai sebagai individu. Perasaan tidak terkesan ini menggerogoti rasa percaya dirinya dan mengarah pada krisis identitas dalam dirinya. Sebagai seorang individu yang ingin dihargai dan dihargai, Tini merasa terjebak dalam ketidaksetaraan emosional dalam pernikahannya. Namun, meskipun ia merasa kehilangan arah, Tini mencoba untuk "memberanikan, menegakkan jiwa". Hal ini menunjukkan upayanya untuk kembali menguatkan harga dirinya, meskipun dalam keadaan yang sangat sulit. Tini menemukan berusaha kembali rasa percaya diri dan otonomi dalam dirinya, meski tidak lagi mendapatkan dukungan dari Tono. Kutipan tersebut juga mencerminkan upaya Tini untuk memenuhi kebutuhan harga dirinya secara internal, meskipun lingkungan sosial dan hubungan dengan suaminya tidak memberikan penghargaan yang seharusnya.
Kutipan ini menggambarkan perjuangan Tini dalam meraih harga dirinya, baik secara internal maupun eksternal. Ketika kebutuhan harga diri ini tidak terpenuhi, Tini mengalami konflik batin dan perasaan terasingkan dalam hubungan pernikahannya. Namun, melalui tekadnya untuk “menegakkan jiwa” , Tini menunjukkan upaya untuk kembali menemukan martabatnya sebagai individu yang berharga dan berdaya. Hal ini sejalan dengan teori kebutuhan Abraham Maslow yang menempatkan harga diri sebagai salah satu kebutuhan penting dalam perkembangan psikologis seseorang. Dalam konteks ini, Tini tidak hanya mengharapkan pengakuan dari suaminya, tetapi juga berusaha membangun kembali keyakinan terhadap dirinya sendiri. Ketiadaan sandaran emosional dari Tono membuat Tini merasa hampa, namun justru di titik itulah ia mulai membangun kekuatan internal untuk tetap tegar dan memaknai eksistensinya secara lebih mandiri. Usaha Tini dalam perdamaian merupakan bentuk perlawanan halus terhadap ciuman emosional, sekaligus langkah awal menuju penyediaan kebutuhan harga diri yang utuh.
(3) Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan aktualisasi diri merupakan tahap tertinggi dalam hierarki kebutuhan manusia yang tercapai setelah kebutuhan dasar lainnya terpenuhi. Aktualisasi diri mencerminkan dorongan individu untuk mengembangkan dan mencapai potensi maksimal yang dimilikinya. Hal ini juga berkaitan dengan dorongan untuk mencapai kepuasan pribadi, mengembangkan kreativitas, dan mencapai pencapaian maksimal dengan kebebasan penuh. Seseorang yang berhasil mengaktualisasikan dirinya dapat mempertahankan harga dirinya, meskipun menghadapi penolakan, penghinaan, atau perendahan dari orang lain. Dengan kata lain, kebutuhan aktualisasi diri baru dapat dicapai setelah kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, dan harga diri, dirasakan sudah terpenuhi dan terpuaskan. Dalam proses ini, seseorang dapat menemukan makna dan tujuan hidup yang lebih dalam, mengembangkan diri secara terus-menerus, dan mencapai kebahagiaan sejati yang bersumber dari dalam dirinya sendiri. Dalam novel Belenggu, terdapat kutipan dari tokoh Tini yang mencerminkan kebutuhan aktualisasi diri, yaitu saat ia berusaha menemukan kebebasan dan makna hidup yang lebih dalam, meskipun menghadapi berbagai tantangan di dalamnya. Tini menunjukkan dorongan yang kuat untuk mengembangkan potensi dirinya dan meraih kebahagiaan sejati, meskipun dalam kondisi yang penuh keterbatasan. Berikut ini kutipannya:
"Memang, Ibu! Jalan pikiran kita berlainan. Aku berhak juga menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia juga yang berkemauan sendiri. Kalau menurut pendapat Ibu, keinginanku harus tunduk kepada keinginan suamiku. Bukan lbu, bukan begitu? Kami masing-masing berkemauan sendiri-sendiri. Kalau dia pergi seorang diri, tiada sempat menemani aku, mengapa aku tiada boleh pergi seorang diri menyenangkan hati?" (Halaman 57)
Pada kutipan tersebut, Tini mengungkapkan perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, yaitu hak untuk menentukan jalan hidup sendiri dan mengejar kebahagiaan dalam dirinya. Ia menegaskan, “Aku mampu juga menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia juga yang berkemauan sendiri.”yang menunjukkan bahwa Tini ingin hidup sesuai dengan keinginan dan keinginannya, tanpa merasa terhambat oleh tuntutan atau ekspektasi orang lain. Dalam hal ini, Tini menyadari bahwa setiap individu berhak untuk mencapai potensi maksimalnya. Setiap individu berhak menjadi pribadi yang utuh dan bebas dalam mengambil keputusan hidup. Bertujuan untuk "menyenangkan pikiranku" dan "menggembirakan hatiku" yang mencerminkan upaya pencapaian kebahagiaan yang tidak didasarkan pada validasi orang lain, melainkan dituangkan pada kepuasan pribadi, serta rasa kepuasan yang bersumber dari dalam diri sendiri.
Tini juga menggugat pandangan lawan bicaranya yang berasumsi bahwa keinginannya harus tunduk pada keinginan suami, dengan menyatakan, "Kalau menurut pendapat Ibu, keinginanku harus tunduk kepada keinginan suamiku”. Dalam hal ini, Tini menolak norma sosial yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih pasif, hanya mengikuti kemauan suami atau keluarga. Tini menegaskan bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, berhak untuk memiliki kemauan sendiri dan menentukan arah hidupnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia tidak ingin dibatasi oleh peran tradisional yang membatasi kebebasan dan otonomi dirinya. Selain itu, dalam kutipan ini, Tini juga mengajukan pertanyaan, " Kalau dia pergi seorang diri, tiada sempat menemani aku, mengapa aku tiada boleh pergi seorang diri menyenangkan hati?" . Hal ini menggambarkan keinginan Tini dalam memperoleh kebebasan pribadi, terutama dalam menentukan cara untuk meraih kebahagiaannya. Tini merasa bahwa jika suami dapat melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, ia pun berhak melakukannya demi kebahagiaannya sendiri. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa Tini menolak perlakuan yang tidak setara dalam hubungan dan menuntut hak untuk mengambil keputusan secara mandiri, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan pribadinya.
Secara keseluruhan, kutipan ini menggambarkan usaha Tini untuk mengaktualisasikan dirinya. Tini berjuang untuk menjadi diri sendiri, bebas dari tuntutan sosial dan peran tradisional yang membatasi, serta meraih kebahagiaan dan memberikan diri sesuai dengan keinginannya. Hal ini sejalan dengan konsep aktualisasi diri dalam psikologi humanistik yang menekankan pencapaian potensi maksimal, kebebasan untuk mewujudkan pilihan hidup, dan kebahagiaan yang datang dari dalam diri. Tini menunjukkan bahwa untuk mencapai aktualisasi diri, seseorang harus berani melawan norma atau ekspektasi yang mengekang, serta mampu menghargai dan mendengarkan suara hati nuraninya sendiri.
“Kami lain, kami membimbing nasib kami sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki. Memang, rumahku diluar rumah. Memang, disanalah kami merdeka.” (Halaman 57)
Kutipan tersebut menggambarkan perjuangan tokoh Tini dalam memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, yaitu tahap tertinggi dalam hierarki kebutuhan Abraham Maslow menurut psikologi humanistik. Aktualisasi diri mencerminkan dorongan seseorang untuk mengembangkan potensi terbaiknya, menjadi versi paling sejati dari dirinya sendiri, serta hidup dengan kesadaran dan tujuan. Pernyataan Tini seperti “kami bimbing nasib kami sendiri” menegaskan bahwa ia menolak menjadi pribadi pasif atau bergantung pada laki-laki sebagai pelindung dan penentu arah hidup perempuan pada masa itu. Ia menyatakan keinginannya untuk mengambil kendali penuh atas kehidupan dan masa depannya sendiri, terlepas dari tatanan sosial yang membatasi perempuan pada peran domestik dan ketundukan terhadap suami atau laki-laki. Selain itu, kalimat “rumahku di luar rumah” dan “di sanalah kami merdeka” mencerminkan bahwa Tini memaknai kebebasan dan menemukan jati dirinya di luar batas-batas peran domestik yang bersifat tradisional. Dunia luar dianggapnya sebagai ruang untuk berkembang, berkarya, dan mengekspresikan potensi dirinya secara utuh. Tini tidak ingin hanya menjadi istri atau ibu rumah tangga yang dibatasi oleh tembok rumah, melainkan individu yang merdeka secara pikiran, batin, dan tindakan.
Demikian kutipan ini menampilkan proses Tini dalam mencapai aktualisasi diri, yaitu ketika ia telah melampaui kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, dan dianugerahi. Ia pun berusaha mewujudkan potensi dirinya sepenuhnya, menjadi pribadi yang cerdas, bertanggung jawab, dan berani memilih jalan hidup berdasarkan keyakinannya sendiri. Sikap ini mencerminkan esensi manusia yang telah mencapai tahap aktualisasi menurut teori Maslow, yaitu tidak terikat oleh norma luar, melainkan digerakkan oleh nilai-nilai dari dalam diri dan pencarian makna hidup yang sejati. Tini menolak pembagian peran tradisional perempuan yang terbatas di ranah domestik dan justru menemukan kebebasannya di luar rumah, tempat ia merasa lebih hidup dan memiliki makna. Hal ini menunjukkan bahwa aktualisasi diri juga berkaitan erat dengan keberanian untuk menolak batasan sosial demi menjalani kehidupan yang sesuai dengan jati diri dan potensi yang dimiliki.
"Misalnya kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tidak ingat akan diri kita, kalau suka kita hanya memelihara dia? Kalau tidak ada perasaan yang seperti itu, benarkah kita belum benar-benar kasih akan dia? (Halaman 77)
Kutipan tersebut menggambarkan pergulatan batin Tini dalam memahami dan berjanji sebagai perempuan dalam hubungan cinta dan kehidupan. Tini memahami standar cinta yang sering diterapkan pada perempuan dengan asumsi bahwa cinta sejati berarti mencintai diri sendiri dan hanya memikirkan kebahagiaan orang lain. Kalimatnya yang penuh dengan pertanyaan mendalam seperti “apakah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja yang kita ingat?” dan “bukankah kita berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita juga memiliki kemauan kita?” menggambarkan pemahaman Tini terhadap pandangan sosial dalam menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus berkorban dan mengabaikan dirinya demi orang lain.
Berdasarkan perspektif Abraham Maslow, kutipan ini mencerminkan pencarian aktualisasi diri. Aktualisasi diri ditandai dengan dorongan untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri, mengejar potensi sepenuhnya, serta menjalani hidup yang bermakna berdasarkan nilai dan prinsip dalam dirinya. Dalam hal ini, Tini tidak merasa puas dengan hidup yang hanya memenuhi ekspektasi sosial atau emosional orang lain. Ia mulai menyimpulkan apakah cinta sejati harus berarti kehilangan jati diri dan paksaan pribadi, sehingga ia berkeinginan untuk menjalani kehidupan yang sejati dan bermakna. Tini tidak langsung menolak cinta, namun ia ingin mencintai tanpa harus kehilangan dirinya sendiri. Pertanyaan “Mestikah kita matikan keinginan kita itu?” mencerminkan keinginan Tini untuk tetap mempertahankan keinginan dan identitas pribadinya, meskipun sedang menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa Tini menyadari nilai dirinya sebagai individu yang mandiri, bukan sekadar pelengkap dalam kehidupan orang lain. Kesadaran ini merupakan bagian dari proses menuju aktualisasi diri. Dalam hal ini, Tini mulai menyadari haknya untuk memilih dan mengejar kebahagiaan berdasarkan keinginannya sendiri. Selain itu, kalimat “Entahlah Yu, aku belum dapat berbuat begitu” menegaskan bahwa meskipun Tini sudah menyadari pentingnya menjadi dirinya sendiri, ia masih berada dalam proses perjuangan. Ia belum sepenuhnya terbebas dari belenggu norma sosial dan ekspektasi yang mengekangnya, namun ia sudah berada di jalur menuju aktualisasi. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Maslow yang menjelaskan bahwa proses aktualisasi bukanlah hal yang bisa dicapai dengan cepat, melainkan sebuah perjalanan batin yang memerlukan refleksi, keberanian, dan keteguhan.
Dengan demikian, kutipan ini menampilkan fase penting dalam dinamika batin Tini menuju aktualisasi diri. Ia tidak hanya mengkritisi peran perempuan tradisional, tetapi juga sedang membangun jati dirinya sebagai perempuan merdeka yang memiliki kemauan, pilihan, dan hak untuk menjalani hidup sesuai kehendaknya sendiri. Proses ini menggambarkan perjuangan eksistensial dalam psikologi humanistik. Dalam hal ini, individu berkembang menjadi pribadi yang sadar, merdeka, dan bertanggung jawab atas makna hidupnya sendiri.
Daftar Pustaka
Jarvis, Matt. (2021). Psikologi Humanistik: Seri Teori Psikologi. Bandung: Nusamedia.
Minderop, Albertine. (2010). Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus . Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Panel, A. (1988). Belenggu . Jakarta: PT Dian Rakyat.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pertarungan Batin dalam Novel Namaku Hiroko: Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud
Senin, 26 Mei 2025 21:58 WIB
Transendensi Feminin Tokoh Midah dalam Novel Midah Si Manis Bergigi Emas
Minggu, 25 Mei 2025 15:13 WIBArtikel Terpopuler