Nyepi dan Ogoh-ogoh Profan

Kamis, 27 Maret 2025 06:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ogoh-Ogoh
Iklan

Ogoh-ogoh pada awalnya simbol sakral dikaitkan dengan ritual Nyepi. Kali ini muncul festival ogoh-ogoh yang sama sekali tidak sakral.

Oleh Mpu Jaya Prema

Ogoh-ogoh adalah semacam ondel-ondel di Jakarta yang diusung sekelompok muda-mudi untuk menyambut datangnya Hari Raya Nyepi, hari pergantian tahun Saka. Nyepi tahun ini berlangsung pada Sabtu 29 Maret 2025. Ogoh-ogoh tentu akan diarak di jalanan desa adat di Bali pada Jumat sore dan bisa berlangsung hingga malam. Itulah acara yang sangat ditunggu-tunggu dengan segala kemeriahannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ogoh-ogoh

Tapi mungkin untuk tahun ini tidak lagi semeriah tahun-tahun sebelumnya. Terutama di perkotaan, apalagi di Denpasar. Ada pergeseran acara dan makna ogoh-ogoh itu. Kesakralan ogoh-ogoh itu sudah mulai berkurang bahkan di beberapa tempat sudah sama sekali bersifat profan, tak berbau sakral lagi. Apalagi pemerintah kota Denpasar, juga pemerintah Kabupaten Badung dan Kabupaten Buleleng, menggelar pawai ogoh-ogoh yang tidak dikaitkan dengan perayaan Nyepi.

Ogoh-ogoh bahkan diperlombakan dengan hadiah yang menggiurkan lalu diarak pada suatu kesempatan yang tak terkait dengan perayaan Nyepi. Di Denpasar pesta ogoh-ogoh itu diadakan dengan nama acara Festival Kesanga yang berlangsung pada Sabtu 22 Maret lalu. Kesanga itu adalah nama bulan versi Bali yang berarti bulan ke sembilan. Ada pun Nyepi adalah awal bulan ke sepuluh atau disebut Kedasa.

Menarik untuk dicermati bagaimana perjalanan ogoh-ogoh ini dan apa penyebab berubahnya makna ogoh-ogoh itu dari sesuatu yang sakral menjadi profan. Hal ini tak lepas dari bagaimana budaya itu selalu berubah mengikuti perkembangan zaman termasuk imbas industri pariwisata yang bisa mengubah segalanya.

Diperkirakan ogoh-ogoh itu muncul di akhir tahun 1970-an. Seperti diketahui, sehari sebelum Nyepi ada ritual ”pembersihan alam” dan ”menghancurkan” semua bhuto (simbol-simbol jahat) sehingga esok harinya umat bisa melaksanakan Nyepi dengan hening. Perayaan Nyepi itu membutuhkan pengendalian diri yang kuat dengan empat pantangan. Tidak boleh menyalakan api, tidak boleh bepergian, tidak boleh mencari hiburan, dan tidak boleh bekerja.

Ritual ”pembersihan alam” itu disebut Tawur Kesanga, sebuah acara kurban di akhir tahun Saka. Entah dari siapa ide itu datang, muncul gagasan bagaimana kalau dalam ritual itu ada simbol bhuto yang akan kita lenyapkan. Orang akan lebih sreg dan khusyuk dalam ritual jika banyak hal dibuatkan simbol, sebagaimana ciri khas agama Hindu. Maka simbol bhuto itu pun dibuat. Ketika ritual itu berlangsung maka simbol bhuto itu diusung dan di-ogoh-ogoh-kan (ogoh-ogoh artinya digoyang-goyang) agar kelihatan hidup, lalu dilenyapkan dengan cara dibakar. Dari sinilah nama simbul bhuto itu disebut ogoh-ogoh.

Ogoh-ogoh ini dibuat berhari-hari. Sangat mubazir kalau cuma digoyang-goyang di tempat. Maka muncul lagi ide bagaimana kalau diusung sambil diiringi tari-tarian mengitari area ritual. Lama-lama hal itu pun dianggap mubazir tak sepadan dengan lama membuatnya termasuk biayanya yang besar. Maka perkembangan selanjutnya ogoh-ogoh itu diarak ke jalanan di desa agar lebih banyak lagi masyarakat yang menontonnya. Muncullah seni sampingan, gamelan khas yang disebut baleganjur dan anak-anak remaja yang menari. Dengan cepat wabah ogoh-ogoh ini berkembang di berbagai desa.

Para pemuka agama dan pimpinan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) setuju mengembangkan ogoh-ogoh ini diarak ke berbagai jalan sepanjang itu terbatas dalam lingkungan desa adat. Namun dengan syarat, tetap ogoh-ogoh itu dikaitkan dengan ritual Tawur Kesanga sehari sebelum Nyepi. Dan wujudnya harus melambangkan bhuto, simbol kejahatan. Pada awalnya para muda-mudi (ogoh-ogoh ini memang ranahnya para pemuda desa) mentaati dengan tertib. Namun dalam perjalanan selanjutnya, ogoh-ogoh itu sudah menyimpang dari pakem aslinya. Tak lagi menjadi bagian dari ritual Tawur Kesanga. Ritualnya entah di mana, ogoh-ogohnya tetap diarak di jalanan.

Yang lebih revolusioner para muda-mudi membuat ogoh-ogoh itu dengan simbol yang jauh dari wajah bhuto sebagaimana kisah-kisah dalam agama seperti raksasa, jin, setan, dan sejenisnya. Muncul ogoh-ogoh yang melambangkan protes secara kekinian. Ada ogoh-ogoh manusia tampan yang diisi tulisan koruptor. Ada perempuan seksi naik motor diisi tulisan (maaf) lonte. Ada orang kurus yang digambarkan mabuk narkoba. Para tetua tak bisa berkutik ketika anak-anak muda desa (sebenarnya mereka sekolah atau bekerja di kota dan pulang menjelang Nyepi) memberi jawaban: ”Kita bukan hanya membunuh simbol bhuto saja, tetapi juga sifat bhuto yakni para koruptor itu”.

Maka dua hal yang sudah dilanggar. Pertama, ogoh-ogoh tidak dilibatkan dalam ritual agama Tawur Kesanga dan penyimpangan kedua simbol bhuto atau kejahatan itu melebar ke masalah kekinian.

Pemerintah mulai turun tangan. Menjelang Pemilu 2004 ogoh-ogoh dilarang di Bali. Alasannya karena pawai ogoh-ogoh bisa didomplengi oleh kontestan pemilu karena berlangsung pada saat masa kampanye. Antisipasi pemerintah ini sangat beralasan karena pada pawai ogoh-ogoh tahun 2003 sudah ada terlihat ogoh-ogoh yang memberi kesan simbol partai, seperti ogoh-ogoh sapi. Pelarangan ini membuat kelompok muda-mudi marah.

Pada tahun 2005, pemerintah Kodya Denpasar mengambil alih pesta ogoh-ogoh ini dengan tidak mengkaitkan dengan Nyepi. Pesta ogoh-ogoh itu dikaitkan dengan HUT Kota Denpasar. Pawai ogoh-ogoh tetap berlangsung namun bisa ditebak acaranya kalah meriah dengan ogoh-ogoh Nyepi. Begitu pula pemerintah Kabupaten Buleleng membuat pawai ogoh-ogoh menyambut ulang tahun kota Singaraja. Tak mendapat sambutan semeriah ogoh-ogoh Nyepi. Penyebabnya bisa jadi karena acara ulang tahun itu pada bulan yang berbeda dengan Nyepi sehingga anak-anak muda tak bisa berkumpul membuat ogoh-ogoh.

Kali ini gebrakan Wali Kota Denpasar cukup berhasil dengan membuat acara Festival Kesanga. Acaranya hanya seminggu sebelum Nyepi. Dan hadiahnya total sampai ratusan juta. Acara yang digelar pertama kali pada 22 Maret lalu di alun-alun pusat kota itu begitu meriah. Ogoh-ogoh dibuat dengan memadukan teknologi sehingga beberapa bagian bisa bergerak. Pemenang pertamanya adalah ogoh-ogoh yang menceritakan godaan wanita yang lagi hamil. Agar tak menyimpang dari sejarah ogoh-ogoh sebagai simbol bhuto maka yang menggoda wanita hamil itu berwujud raksasa.

Apa yang bisa dipetik dari perjalanan ogoh-ogoh ini? Budaya agama memang tak bisa terhindar dari pengaruh budaya lain. Umat Hindu di Bali bisa menyerap berbagai budaya asing dengan cara memfilter, mana yang baik diadaptasi dan mana yang buruk dibuang. Ritual yang menggunakan uang kepeng dari Cina sudah lama digantikan dengan uang kepeng sejenis produksi lokal. Yang penting adalah simbolnya. Ukiran-ukiran di dalam pura pun diadaptasi dari Cina, Belanda, dan tentu saja India, namun dipadukan dengan ornamen lokal. Akan halnya penggunaan simbol itu sendiri juga berangsur berkurang sejalan dengan masuknya ajaran yang tertulis dalam berbagai kitab.

Akan halnya gebrakan Wali Kota Denpasar dengan Festival Kesanga patut diapresiasi. Waktu pelaksaaan tepat karena menjelang Nyepi tetapi bukan pada hari Tawur Kesanga yang memang ritual keagamaan. Festival yang tidak dikaitkan dengan ritual ini bisa melahirkan kreasi yang lebih bebas. Kalau saja itu ditangani secara profesional bisa menjadi agenda kebudayaan sekaligus ajang pariwisata yang populer.  Banyak kota di dunia yang terkenal karena karnavalnya yang unik. Brasil, Lima, Meksiko, Paris, Napoli, Lisabon adalah contoh kota yang selalu kebanjiran wisatawan saat karnaval berlangsung. Kalau festival atau karnaval ogoh-ogoh profan ini dikelola dengan baik, ia bisa jadi obyek wisata baru di Bali.

Dari sisi lain, ritual Hindu sedikit demi sedikit kembali kepada sastra yang benar, yakni mengurangi simbol-simbol yang bisa salah kaprah. ***

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mpu Jaya Prema, mantan jurnalis yg menyepi di G Batukaru, Bali

Penulis Indonesiana

6 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua