Greenhushing vs Transparansi: Dilema Merek dalam Mengkomunikasikan Target
Senin, 24 Maret 2025 19:16 WIB
Iklan
Dilema antara greenhushing dan transparansi dalam mengomunikasikan target ESG yang belum tercapai adalah tantangan nyata bagi banyak perusahaan.
***
Dalam beberapa tahun terakhir, isu lingkungan, sosial, daun tata kelola (ESG) telah menjadi fokus utama bagi perusahaan di seluruh dunia. Konsumen, investor, dan regulator semakin menuntut transparansi dan akuntabilitas dari perusahaan terkait komitmen mereka terhadap keberlanjutan. Namun, dalam upaya memenuhi harapan ini, banyak perusahaan menghadapi dilema: apakah mereka harus secara terbuka mengakui kegagalan dalam mencapai target ESG atau menyembunyikan informasi tersebut untuk melindungi reputasi merek? Fenomena ini dikenal sebagai greenhushing, dan menimbulkan pertanyaan penting tentang etika komunikasi pemasaran dan risiko yang terkait dengan kurangnya transparansi.
Apa Itu Greenhushing?
Greenhushing merujuk pada praktik perusahaan yang sengaja mengurangi atau menyembunyikan informasi tentang upaya dan pencapaian ESG mereka, terutama ketika target yang ditetapkan belum tercapai. Berbeda dengan greenwashing di mana perusahaan memberikan informasi yang menyesatkan atau berlebihan tentang kinerja lingkungan mereka, greenhushing justru menghindari komunikasi terbuka tentang isu-isu keberlanjutan. Alasan di balik praktik ini beragam, mulai dari kekhawatiran akan reputasi, tekanan dari investor, hingga ketakutan akan kritik publik.
Mengapa Greenhushing Menjadi Masalah?
1. Hilangnya Akuntabilitas: Dengan tidak mengomunikasikan progres ESG, perusahaan menghindari tanggung jawab mereka terhadap stakeholder. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik dan menimbulkan kesan bahwa perusahaan tidak serius dalam menjalankan komitmen keberlanjutan.
2. Risiko Reputasi Jangka Panjang: Meskipun greenhushing mungkin melindungi perusahaan dari kritik dalam jangka pendek, ketidaktransparanan dapat merusak reputasi merek dalam jangka panjang. Ketika informasi yang disembunyikan akhirnya terungkap, reaksi publik bisa lebih buruk daripada jika perusahaan tersebut secara jujur mengakui kegagalan sejak awal.
3. Hambatan bagi Kemajuan Kolektif: ESG adalah isu global yang memerlukan kolaborasi dan transparansi. Dengan menyembunyikan informasi, perusahaan menghambat kemajuan kolektif dalam mencapai tujuan keberlanjutan.
Transparansi sebagai Alternatif
Di sisi lain, transparansi dalam mengomunikasikan target ESG yang belum tercapai dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi perusahaan. Meskipun mengakui kegagalan mungkin terasa berisiko, pendekatan ini dapat membangun kepercayaan dan loyalitas stakeholder. Beberapa manfaat transparansi meliputi:
1. Membangun Kepercayaan: Dengan secara terbuka mengakui tantangan dan kegagalan, perusahaan menunjukkan integritas dan komitmen mereka terhadap perbaikan berkelanjutan. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan konsumen dan investor.
2. Peluang untuk Kolaborasi: Transparansi membuka pintu bagi dialog dengan stakeholder, termasuk NGO, pemerintah, dan komunitas, untuk bersama-sama mencari solusi atas tantangan ESG yang dihadapi.
3. Meningkatkan Reputasi Jangka Panjang: Perusahaan yang jujur tentang progres ESG mereka cenderung dipandang lebih positif dalam jangka panjang, karena mereka dianggap bertanggung jawab dan berkomitmen terhadap perubahan yang berarti.
Risiko Greenhushing vs Manfaat Transparansi
Penelitian menunjukkan bahwa risiko greenhushing sering kali lebih besar daripada manfaat jangka pendek yang diperoleh. Sebuah studi oleh **Harvard Business Review** (2023) menemukan bahwa perusahaan yang menyembunyikan informasi ESG cenderung mengalami penurunan nilai saham ketika informasi tersebut akhirnya terungkap. Di sisi lain, perusahaan yang secara transparan mengomunikasikan tantangan dan kegagalan ESG mereka justru mendapatkan dukungan yang lebih besar dari investor dan konsumen.
Bagaimana Perusahaan Dapat Menyeimbangkan Komunikasi ESG?
1. Mengakui Kegagalan dengan Jujur: Perusahaan harus secara terbuka mengakui jika target ESG belum tercapai, sambil menjelaskan langkah-langkah yang sedang diambil untuk memperbaiki situasi.
2. Menyediakan Data yang Terverifikasi: Menggunakan data yang telah diverifikasi oleh pihak ketiga dapat meningkatkan kredibilitas komunikasi ESG.
3. Fokus pada Progres, Bukan Hanya Hasil: Daripada hanya melaporkan hasil akhir, perusahaan dapat mengomunikasikan progres yang telah dicapai, bahkan jika target belum sepenuhnya tercapai.
4. Melibatkan Stakeholder: Melibatkan stakeholder dalam proses pelaporan ESG dapat membantu perusahaan memahami harapan dan kekhawatiran mereka, sekaligus membangun hubungan yang lebih kuat.
Kesimpulan
Dilema antara greenhushing dan transparansi dalam mengomunikasikan target ESG yang belum tercapai adalah tantangan nyata bagi banyak perusahaan. Namun, transparansi terbukti menjadi strategi yang lebih berkelanjutan dan etis dalam jangka panjang. Dengan mengakui kegagalan dan secara proaktif mencari solusi, perusahaan tidak hanya dapat melindungi reputasi mereka tetapi juga berkontribusi pada kemajuan global dalam mencapai tujuan keberlanjutan. Dalam era di mana kejujuran dan akuntabilitas semakin dihargai, transparansi adalah kunci untuk membangun merek yang tangguh dan dipercaya.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Emas Kembali Bersinar: Pilihan Investasi Utama di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Sabtu, 7 Juni 2025 09:39 WIB
Berita Pilihan



