Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Penghakiman, Sebuah Ruang Landas Analogetik Logis
Selasa, 4 Maret 2025 07:23 WIB
Dalam merenungkan metafora "terompet semesta" dan konsep penghakiman yang dijabarkan dalam puisi Shiny Al-poesy, kita dapat membangun ruang
PENGHAKIMAN
Dalam merenungkan metafora "terompet semesta" dan konsep penghakiman yang dijabarkan dalam puisi Shiny Ane El'poesya, kita dapat membangun sebuah ruang landas analogetik yang mengaitkan berbagai dimensi pengalaman manusia melalui logika perbandingan.
Anatomi Pertanda
Jika kita memetakan struktur logis dari pertanda—baik itu terompet kiamat maupun sensasi lapar—kita menemukan pola yang konsisten :
- Sinyal - Bentuk komunikasi awal (bunyi terompet, sensasi lapar)
- Jeda - Ruang waktu antara sinyal dan peristiwa
- Transformasi - Perubahan keadaan (penghakiman, konsumsi makanan)
- Kesadaran - Pengakuan akan terjadinya perubahan
Pola ini tidak hanya berlaku pada skala kosmologis atau biologis, tetapi juga pada skala psikologis dan sosial. Kegelisahan sebelum perubahan besar dalam hidup, intuisi sebelum penemuan, atau keresahan kolektif sebelum transformasi sosial—semua mengikuti struktur analogis yang sama.
Persilangan Logika Biner dan Spektral
Pertanda dalam tradisi spiritual sering digambarkan sebagai pemisah biner: sebelum dan sesudah, hidup dan mati, baik dan buruk. Namun, puisi "Penghakiman" memperkenalkan dimensi spektral ke dalam kerangka biner ini:
"Api penghakiman tidak membakar tetapi mengungkap apa yang suci dari antara dosa-dosa"
Di sini, penghakiman tidak sekedar memisahkan, tetapi mengungkapkan spektrum kualitas—dari yang paling suci hingga yang paling berdosa. Begitu pula, kesadaran diri tidak melibatkan kategorisasi sederhana tetapi penilaian nuansa :
"Ringannya sehelai bulu menentukan keabadian; kemurnian di mana ia lebih berat dari emas"
Analog dari ini dalam pengalaman sehari-hari adalah bagaimana kesadaran akan kebutuhan fisik (seperti lapar) bergerak pada spektrum, bukan sebagai keadaan biner. Kelaparan berkembang secara bertahap, demikian pula kesadaran spiritual.
Parametrik Temporal.
Konsep waktu dalam puisi bukan linier melainkan multi-dimensional :
"Di dalam waktu yang pada akhirnya tidak lagi roda, dan yang benar melenggangi bayangnya"
Waktu digambarkan mengalami transformasi dari siklis ("roda") menjadi keadaan yang melampaui siklus. Ini menciptakan ruang landas untuk pemahaman non-linier tentang perubahan dan kesadaran. Ketika "yang benar melenggangi bayangnya," kronologi sebab-akibat terbalik—kesadaran tidak lagi menjadi efek dari peristiwa, melainkan agen aktif yang membentuk realitas.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat analog dari ini ketika antisipasi mengubah pengalaman. Antisipasi makan saat lapar mengubah pengalaman waktu—menit terasa seperti jam. Demikian pula, kesadaran akan kematian mengubah cara kita menghayati waktu kehidupan.
Geometri Kesadaran
Puisi menggambarkan jalur spiritual sebagai vertikal dan mendalam :
"Jalan menuju puncak dunia dalam dan curam juga penuh kegelapan"
Ini menciptakan topologi kesadaran yang mengandung kedalaman, ketinggian, dan kegelapan. Kesadaran bukanlah bidang datar tetapi lansekap multi-dimensional dengan topografi kompleks. Ini sejalan dengan bagaimana sensasi fisik (seperti lapar) memiliki dimensi yang berbeda-beda—intensitas, urgensi, lokasi.
Konvergensi Jalan yang Beragam.
"Hari yang satu, tempat yang satu dengan banyak jalan dan banyaknya roh semua akan tiba di ambang yang sama"
Logika konvergen ini menggambarkan pluralisme yang terpadu—keragaman yang mengarah pada kesatuan tanpa menghapus keunikan masing-masing elemen. Diagram logis dari ini adalah banyak garis yang mengarah ke satu titik, namun tetap mempertahankan identitas terpisah hingga titik konvergensi.
Dalam pengalaman sehari-hari, kita melihat ini dalam bagaimana beragam sensasi (lapar, haus, lelah) dapat mengarah pada kesadaran umum akan kebutuhan untuk istirahat dan pemulihan, tanpa kehilangan kekhasan masing-masing.
Dialektika Manifestasi dan Keheningan.
Puisi bergerak dari manifestasi bunyi ("suara terompet") menuju keheningan ("keheningan abadi berkuasa"). Ini menciptakan dialektika antara ekspresi dan diam, antara manifestasi dan absensi. Dialektika ini penting untuk memahami bagaimana pertanda bekerja—mereka adalah komunikasi yang mengarah pada transformasi keadaan, termasuk transformasi dari komunikasi menjadi diam.
Dalam pengalaman biologis, rasa lapar adalah komunikasi tubuh yang berakhir dengan diam ketika kebutuhan terpenuhi. Demikian pula, kesadaran spiritual dimulai dengan pengakuan kebutuhan dan berakhir dengan kepuasan yang melampaui kata-kata.
Interkoneksi Ontologis.
"Buku amal tak tertulis yang mencatat dalam diam, namun paling nyaring"
Paradoks ini mengungkapkan dimensi ontologis dari kesadaran—bagaimana keberadaan kita sendiri adalah catatan dari semua pilihan dan tindakan kita. Tidak ada pemisahan antara yang mencatat dan yang dicatat, antara subjek dan objek kesadaran.
Dalam pengalaman sehari-hari, tubuh kita adalah "buku tak tertulis" yang mencatat kebiasaan, pilihan, dan tindakan kita. Lapar bukan hanya sinyal kebutuhan saat ini tetapi juga catatan dari pola konsumsi kita sebelumnya.
Ruang Landas Untuk Pemahaman Yang Lebih Dalam.
Melalui analisis analogetik-logis ini, kita dapat melihat bagaimana metafora "terompet semesta" tidak hanya berfungsi sebagai simbol religius tetapi juga sebagai alat konseptual untuk memahami struktur logis dari semua pertanda—dari yang kosmik hingga yang biologis. Ruang landas ini memungkinkan kita untuk melihat pola yang menghubungkan beragam dimensi pengalaman manusia, dari sensasi fisik hingga kesadaran transendental.
Dalam ruang analogetik ini, sinyal seperti lapar dan terompet kiamat tidak lagi terpisah tetapi terintegrasi dalam pola yang lebih besar dari komunikasi, transformasi, dan kesadaran—pola yang menjadi landasan bagi pemahaman kita tentang diri kita sendiri dan tempat kita dalam semesta.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Artikel Terpopuler