Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Gigi
Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
Di suatu waktu ketika langit melengkung seperti perut tembaga, sebuah gigi besar tumbuh dari tanah. Akarnya mencengkeram bumi, mahkotanya
GIGI.
Di suatu waktu ketika langit melengkung seperti perut tembaga, sebuah gigi besar tumbuh dari tanah. Akarnya mencengkeram bumi, mahkotanya menusuk awan. Tidak ada yang tahu milik siapa gigi itu.
"Milik siapa gigi besar ini?" tanya seorang pria yang seluruh tubuhnya terbuat dari butiran kopi.
Di kaki gigi itu, seorang perempuan dengan lubang di tengah dadanya duduk menenun angin. Setiap helai angin yang ditenunnya berubah menjadi gema, setiap gema menjadi kata, setiap kata terserap ke dalam lubang di dadanya.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya menatap pria kopi dengan mata yang berisi sungai. Sungai itu mengalir ke seluruh tubuhnya, membawa memori-memori yang belum terjadi, peristiwa-peristiwa yang baru akan lahir ribuan tahun kemudian.
------------------------------------------------------------------------------------------
Di dalam gigi besar itu, hidup sebuah kota. Penduduknya adalah jam-jam yang berjalan dengan kaki manusia. Setiap jam membawa waktu sendiri-sendiri. Tidak ada waktu yang sama di kota itu. Ketika jam-jam itu berpapasan di jalan, waktu mereka saling bertukar sebentar, lalu kembali ke pemiliknya dengan sedikit perubahan.
Di pusat kota berdiri sebuah menara yang terbuat dari kalender-kalender tua. Penjaga menara adalah seorang anak yang memegang kornea mata bulan di tangannya. Anak itu bernama Tafakur. Ia tidak pernah berbicara, hanya mengedipkan kornea bulan untuk berkomunikasi. Setiap kedipan mengubah arah angin di seluruh kota.
"Tafakur adalah nama yang tepat untuknya," kata sebuah jam tua yang sudah kehilangan jarum pendeknya. "Dia merenung tentang segala hal yang tak pernah kita pikirkan."
------------------------------------------------------------------------------------------
Setiap malam, ketika bulan mengembang seperti perut perempuan hamil, pria kopi itu naik ke puncak gigi. Di sana ia bertemu dengan seekor burung yang seluruh bulunya terbuat dari halaman-halaman buku yang belum ditulis.
"Kenapa kau datang lagi?" tanya burung itu sambil mengepakkan sayap, menerbangkan kata-kata yang belum terbentuk.
"Aku mencari definisi diriku," jawab pria kopi. "Apakah aku hanya sekumpulan biji yang ditakdirkan untuk dihancurkan dan diseduh?"
Burung itu tertawa, tawanya seperti kertas yang disobek. "Kau adalah apa yang bukan dirimu. Kau adalah segala hal yang kau tolak untuk menjadi dirimu."
Pria kopi terdiam. Dari pori-pori kulitnya, mengalir aroma pahit yang menyuburkan udara.
------------------------------------------------------------------------------------------
Perempuan dengan lubang di dada masih menenun angin. Jari-jarinya yang bercahaya menari di antara benang-benang transparan. Di dekat kakinya, seorang anak kecil dengan kepala berbentuk teleskop sedang tidur. Di dalam teleskop itu, galaksi-galaksi lahir dan mati setiap kali anak itu bernafas.
"Ini anakmu?" tanya sebuah suara dari belakang perempuan itu.
Perempuan itu menoleh. Di belakangnya berdiri seorang pria yang seluruh tubuhnya terbuat dari cermin. Dalam cermin itu, perempuan melihat dirinya, tetapi dengan wajah yang berbeda—wajah yang akan dimilikinya dua puluh tahun kemudian.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke lubang di dadanya, lalu ke kepala teleskop anak itu.
"Ah, aku mengerti," kata pria cermin. "Dia lahir dari kekosonganmu yang tak terbatas."
------------------------------------------------------------------------------------------
Di desa yang berdiri di sekeliling gigi besar, orang-orang menanam waktu di ladang mereka. Setiap pagi mereka menyirami waktu dengan kenangan, setiap sore mereka memupuknya dengan harapan. Ketika waktu matang, mereka menuainya dan menyimpannya dalam toples-toples kaca.
Kepala desa adalah seorang perempuan tua bernama Realitas. Tubuhnya terbuat dari tanah liat yang selalu basah, seolah baru dibentuk dan belum sempat mengering. Ia berjalan mengelilingi desa sambil menggendong sebuah cermin yang memantulkan bukan apa yang ada di depannya, melainkan apa yang tersembunyi di baliknya.
"Kita harus berhati-hati dengan panen waktu tahun ini," katanya kepada penduduk desa. "Ada yang mencuri waktu kita saat kita tidur."
"Siapa pencurinya?" tanya seorang petani yang tubuhnya selalu menguap seperti air yang dipanaskan.
"Orang-orang yang tidak punya masa lalu," jawab Realitas. "Mereka mencuri waktu kita untuk membangun sejarah palsu bagi diri mereka sendiri."
------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu malam, pria kopi bertemu dengan perempuan berlubang di puncak gigi. Mereka tidak berbicara, hanya berdiri berhadapan, terpisah oleh jarak yang bisa diukur dengan kerinduan.
Dari lubang di dada perempuan itu, lahir seekor gajah kecil dengan gading terbuat dari pensil. Gajah itu mulai menulis dengan gadingnya di udara, dan tulisannya membentuk jembatan antara pria kopi dan perempuan berlubang.
Mereka berjalan di atas jembatan kata-kata itu, langkah demi langkah, menuju satu sama lain. Namun semakin dekat mereka, semakin cepat jembatan itu menghilang, huruf demi huruf terhapus oleh kedekatan.
Ketika akhirnya mereka berdiri berhadapan tanpa jarak, tanpa kata-kata yang memisahkan, pria kopi mulai meleleh dan perempuan berlubang mulai mengisi lubangnya dengan butiran-butiran kopi yang meleleh itu.
"Milik siapa gajah kecil itu?" bisik suara dari kejauhan.
Tapi tidak ada yang menjawab. Hanya gajah kecil yang terus menulis di udara, menulis tentang pertemuan yang tidak pernah terjadi, tentang dua orang yang tidak pernah bertemu, tentang cerita yang tidak pernah ditulis.
Dan di bawah sinar bulan yang melengkung seperti busur panah, gigi besar itu perlahan tenggelam kembali ke dalam tanah, membawa seluruh dunianya bersamanya, menyisakan hanya bekas yang berbentuk seperti tanda tanya di atas tanah.
Bandar Lampung, April 2025

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Artikel Terpopuler