Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Terompet Semesta: Pertanda dan Kesadaran dalam Penghakiman Diri
Sabtu, 1 Maret 2025 16:28 WIB
Dalam berbagai tradisi keagamaan dan spiritual, terompet atau sangkakala sering digambarkan sebagai penanda peristiwa penting.
PENGHAKIMAN
Dalam berbagai tradisi keagamaan dan spiritual, terompet atau sangkakala sering digambarkan sebagai penanda peristiwa penting, terutama yang berkaitan dengan akhir zaman atau penghakiman. Metafora terompet semesta yang dihadirkan dalam puisi Penghakiman karya Shiny Al-poesy mengundang kita untuk merenungkan lebih dalam makna dari pertanda dan kesadaran spiritual.
Pertanda Sebelum Peristiwa
Seperti yang disampaikan dalam pendahuluan, kita sering merasakan "alarm" sebelum suatu peristiwa terjadi—lapar sebelum makan, gelisah sebelum badai, atau firasat sebelum pertemuan penting. Fenomena ini mirip dengan konsep sangkakala kiamat yang menjadi pertanda datangnya fase waktu yang dijanjikan. Tubuh dan jiwa kita memiliki mekanisme untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan, baik yang kecil maupun yang besar.
Dalam puisi tersebut, "suara terompet, semesta" menjadi pembuka yang menandai dimulainya proses penghakiman. Ini bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi juga pergantian kesadaran—saat "tabir tersingkap" dan "tiada lagi rahasia." Sangkakala di sini berfungsi sebagai katalisator untuk transformasi kesadaran.
Pertemuan Tradisi Spiritual
Menariknya, puisi ini menjalin berbagai tradisi spiritual dalam satu tapestri makna. Referensi pada Zoroaster dengan "api penghakiman" yang "tidak membakar tetapi mengungkap apa yang suci," mengingatkan pada konsep api pembersih dalam agama Zoroastrian. Api ini bukan instrumen penyiksaan, melainkan sarana pemurnian yang memisahkan kebaikan dari kejahatan.
Gagasan tentang dharma yang "sirna" sementara "benih kebijaksanaan tetap tumbuh" menggambarkan konsep dalam tradisi Hindu dan Buddha, di mana ilusi duniawi (maya) akhirnya tersingkap, memperlihatkan kebenaran yang lebih dalam. Demikian juga, citra "ringannya sehelai bulu menentukan keabadian" mengacu pada kisah penimbangan hati dalam mitologi Mesir, di mana hati orang mati ditimbang terhadap bulu Ma'at, dewi kebenaran dan keadilan.
Referensi "sungai orang mati" yang "melupakan semua nama" erat kaitannya dengan Sungai Lethe dalam mitologi Yunani, sungai yang membuatnya jiwa melupakan kehidupan lamanya sebelum reinkarnasi. Namun, puisi ini menegaskan bahwa "jiwa yang dikenang melampaui arusnya," menunjukkan bahwa kesadaran spiritual sejati tidak bisa dihapuskan, bahkan oleh kekuatan pelupaan.
Kesadaran sebagai Hakikat Penghakiman
Tema utama yang muncul dari puisi ini adalah bahwa penghakiman sejati bukan berasal dari kekuatan eksternal yang menghukum, melainkan dari "kesadaran paripurna akan dirinya sendiri." Ini adalah gagasan mendalam yang menyiratkan bahwa introspeksi dan penerimaan penuh terhadap diri sendiri—kebaikan dan keburukan kita—merupakan bentuk penghakiman yang paling otentik.
Ketika puisi menyatakan "buku amal tak tertulis yang mencatat dalam diam, namun paling nyaring," kita diingatkan bahwa tindakan dan pilihan kita meninggalkan jejak yang tak terhapuskan, bukan pada catatan fisik, melainkan pada esensi jiwa kita sendiri. Kesadaran ini mungkin tertidur selama kita hidup, tetapi akan "bangkit dan menyadari beratnya kebenaran melebihi beratnya kehidupan."
Universalitas Perjuangan Spiritual
Bagian akhir puisi—"hari yang satu, tempat yang satu, dengan banyak jalan dan banyaknya roh"—mengisyaratkan universalitas pengalaman spiritual manusia. Meskipun tradisi dan jalan spiritual kita berbeda-beda, akhirnya semua "akan tiba di ambang yang sama." Ini mengingatkan kita bahwa di balik keragaman ekspresi religius dan spiritual, terdapat kesatuan tujuan dan pengalaman manusia.
"Jalan menuju puncak dunia dalam dan curam juga penuh kegelapan," mengingatkan kita bahwa perjalanan spiritual sering kali tidak mudah. Namun, perjuangan ini memiliki tujuan—pemurnian dan transformasi jiwa yang memungkinkan kita untuk "selamat dan bangkit."
Terompet Kesadaran
Metafora terompet semesta dalam konteks ini beroperasi pada beberapa tingkatan. Pada level paling dasar, ia menjadi pertanda perubahan besar, seperti sangkakala kiamat dalam tradisi religius. Namun, pada level yang lebih dalam, terompet ini juga merupakan panggilan untuk bangun dari tidur spiritual—seruan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi tentang diri dan realitas.
"Penyesalan" yang "akan memenuhi bumi sebelum keheningan abadi berkuasa" menandakan proses pemurnian kolektif yang harus dijalani sebelum mencapai kedamaian akhir. Ini bukan penyesalan yang melemahkan, melainkan kesadaran mendalam yang membebaskan—seperti api Zoroaster yang tidak menghancurkan, tetapi mengungkapkan yang suci.
Pada akhirnya, terompet semesta adalah metafora untuk momen kesadaran transformatif—baik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti sensasi lapar sebelum makan, maupun yang terjadi pada skala kosmik, seperti yang digambarkan dalam puisi. Dalam kedua kasus tersebut, ia berfungsi sebagai mekanisme persiapan untuk apa yang akan datang, mengarahkan perhatian kita pada perubahan yang akan terjadi dan membantu kita menghadapinya dengan kesadaran penuh.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Artikel Terpopuler