Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Apakah yang Kamu Ketahui Tentang Apakah?
Jumat, 28 Februari 2025 22:10 WIB
Ferdinand de Saussure (menegaskan adanya hubungan arbitrer antara penanda dan petanda
Bahasa sebagai sebuah fenomena kompleks memang tidak selalu terikat pada makna. Struktur linguistik seperti "Apakah Yang Kamu Ketahui Tentang Apakah" menunjukkan bagaimana bahasa dapat hadir tanpa harus selalu mengandung makna yang definitif. Pengulangan kata tanya "apakah" di awal dan akhir kalimat menciptakan konstruksi yang secara gramatikal ambigunya namun secara semantik problematik.
Perspektif Semantik dan Pragmatik
Dalam kajian semantik, Ferdinand de Saussure (1916) dalam karyanya Course in General Linguistics menegaskan adanya hubungan arbitrer antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Konstruksi seperti "Apakah yang Kamu Ketahui Tentang Apakah" menunjukkan bagaimana penanda dapat hadir tanpa petanda yang jelas, menciptakan apa yang Derrida (1967) dalam "Of Grammatology" sebut sebagai "play of signifiers" di mana makna terus-menerus ditunda.
Dari sudut pandang pragmatik, John L. Austin (1962) dalam How to Do Things with Words membedakan antara ucapan konstatif (yang dapat diverifikasi kebenarannya) dan performatif (yang melakukan tindakan). Struktur kalimat yang dibahas dapat dilihat sebagai kegagalan lokusi yang menurut teori tindak tutur H.P. Grice (1975) melanggar maksim relevansi dan cara dalam prinsip kerja sama percakapan.
Analisis Sintaksis dan Grammatikalitas
Noam Chomsky (1957) dalam Syntactic Structures membedakan antara grammatikalitas dan bermaknaan. Suatu kalimat dapat saja gramatikal namun tak bermakna, seperti contoh terkenalnya "Colorless green ideas sleep furiously." Begitu pula dengan konstruksi "Apakah Yang Kamu Ketahui Tentang Apakah" yang secara sintaksis mungkin dapat diterima (meski rancu) namun semantiknya kosong.
Perspektif Hermeneutik dan Fenomenologi Bahasa
Hans-Georg Gadamer (1960) dalam Truth and Method mengemukakan bahwa pemahaman selalu melibatkan penafsiran dan berada dalam lingkaran hermeneutik. Struktur bahasa yang tampak tak bermakna dapat menjadi bermakna dalam konteks interpretasi tertentu. Martin Heidegger (1927) dalam "Being and Time" bahkan menyebut bahasa sebagai "rumah Ada" dimana ketidakbermaknaan pun dapat menjadi bentuk keberadaan yang otentik.
Ludwig Wittgenstein dalam fase akhir pemikirannya (Philosophical Investigations, 1953) mengajukan konsep language games yang menyiratkan bahwa makna bahasa terletak pada penggunaannya dalam konteks sosial tertentu, bukan pada struktur intrinsiknya. Kalimat yang tampak absurd dalam satu permainan bahasa mungkin bermakna dalam permainan bahasa lainnya.
Semiotika dan Dekonstruksi
Roland Barthes (1957) dalam Mythologies dan Umberto Eco (1976) dalam A Theory of Semiotics mengembangkan pemahaman tentang tanda yang melampaui linguistik tradisional. Konstruksi bahasa yang tampak tidak bermakna dapat dilihat sebagai teks yang terbuka untuk interpretasi beragam.
Jacques Derrida melalui metode dekonstruksinya menunjukkan bahwa makna selalu tertunda (différance). Dalam Writing and Difference (1967), ia menantang asumsi bahwa bahasa harus selalu mengandung makna yang stabil. Struktur seperti "Apakah Yang Kamu Ketahui Tentang Apakah" justru menunjukkan ketidakstabilan intrinsik dalam bahasa itu sendiri.
Fenomenologi Persepsi
Maurice Merleau-Ponty (1945) dalam "Phenomenology of Perception" menjelaskan bagaimana persepsi melibatkan proyeksi yang tidak selalu sesuai dengan realitas objektif. Sama seperti persepsi visual yang selalu tidak sempurna, persepsi linguistik kita juga dibatasi oleh schemata kognitif yang kita miliki. Konstruksi bahasa yang tampak tidak bermakna mungkin melampaui kemampuan schemata kita untuk memahaminya.
Melalui berbagai perspektif disiplin ilmu linguistik dan filsafat bahasa ini, kita dapat memahami bahwa struktur kalimat yang tampaknya tidak bermakna justru menunjukkan sifat fundamental bahasa yang tidak selalu terikat pada keharusan bermakna secara konvensional. Bahasa dapat hadir sebagai bentuk tanpa substansi, signifier tanpa signified yang stabil, membuka ruang interpretasi yang lebih luas dan mempertanyakan asumsi-asumsi dasar tentang hubungan antara bahasa dan makna.
Lokusi dan Maksim Relevansi: Analisis Dalam Perspektif Pragmatik.
Lokusi dan maksim relevansi merepresentasikan dua konsep fundamental dalam pragmatik yang saling berkaitan dalam membentuk keberhasilan komunikasi linguistik.
Lokusi dalam Teori Tindak Tutur
Lokusi (locutionary act) merupakan salah satu dimensi dalam teori tindak tutur yang dikembangkan oleh J.L. Austin dalam karyanya "How to Do Things with Words" (1962). Lokusi merujuk pada tindakan dasar mengucapkan kata-kata dengan makna dan referensi tertentu—yakni tindakan mengatakan sesuatu yang memiliki arti linguistik.
Austin membedakan tiga jenis tindak tutur:
- Tindak lokusi - tindakan mengatakan sesuatu dengan makna tertentu
- Tindak ilokusi - fungsi komunikatif dari ucapan (menjanjikan, memperingatkan, dsb)
- Tindak perlokusi - efek yang dihasilkan pada pendengar
Contoh kalimat "Apakah Yang Kamu Ketahui Tentang Apakah" secara lokusi dapat diidentifikasi sebagai rangkaian kata-kata yang membentuk kalimat tanya, namun lokusinya menjadi problematik karena pengulangan kata tanya "apakah" di akhir kalimat menciptakan ambiguitas referensial.
John Searle (1969) dalam "Speech Acts" memperluas pemahaman tentang lokusi dengan mengklasifikasikan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar lokusi berhasil, termasuk kondisi proporsional yang mensyaratkan referensi jelas—sesuatu yang tidak terpenuhi dalam struktur yang dibahas.
Maksim Relevansi dalam Prinsip Kerja Sama
Maksim relevansi adalah salah satu dari empat maksim dalam Prinsip Kerja Sama yang dikemukakan oleh H.P. Grice dalam artikelnya "Logic and Conversation" (1975). Maksim ini menyatakan bahwa kontribusi dalam percakapan harus relevan dengan topik yang sedang dibicarakan.
Empat maksim Grice meliputi :
- Maksim kuantitas (memberikan informasi secukupnya)
- Maksim kualitas (mengatakan hal yang benar)
- Maksim relevansi (berkontribusi yang relevan)
- Maksim cara (berbicara dengan jelas, tidak ambigu)
Struktur "Apakah Yang Kamu Ketahui Tentang Apakah" melanggar maksim relevansi karena kata "apakah" kedua tidak memiliki fungsi yang jelas dalam memajukan percakapan, menciptakan ketidakjelasan terkait apa yang sebenarnya ditanyakan.
Interaksi Lokusi dan Maksim Relevansi
Dan Sperber dan Deirdre Wilson dalam "Relevance: Communication and Cognition" (1986) mengembangkan Teori Relevansi yang mengargumentasikan bahwa pemrosesan kognitif selalu berorientasi pada maksimalisasi relevansi. Berdasarkan teori ini, lokusi yang gagal memenuhi ekspektasi relevansi akan memerlukan upaya pemrosesan yang lebih besar dari penerima.
Laurence Horn dalam "A Natural History of Negation" (1989) dan Stephen Levinson dalam "Presumptive Meanings" (2000) mengembangkan analisis tentang bagaimana implikatur percakapan dapat muncul ketika maksim-maksim Grice, termasuk relevansi, tampaknya dilanggar secara sengaja. Namun, dalam kasus struktur yang dibahas, pelanggaran terhadap maksim relevansi tampaknya bukan untuk menghasilkan implikatur, melainkan menggambarkan kegagalan konstruksi sintaksis.
Relevansi dalam Berbagai Teori Pragmatik
Teori Relevansi Sperber dan Wilson mereduksi prinsip Grice menjadi satu prinsip tunggal yaitu relevansi. Mereka berargumen bahwa pikiran manusia cenderung berorientasi pada relevansi maksimal—menghasilkan efek kognitif maksimal dengan usaha pemrosesan minimal.
Dalam pandangan Jacob Mey ("Pragmatics: An Introduction", 1993), kegagalan memenuhi maksim relevansi dapat berakar pada ketidaksesuaian antara konteks linguistik dan sosial. Selaras dengan ini, Alessandro Duranti dalam "Linguistic Anthropology" (1997) menunjukkan bagaimana persepsi tentang relevansi dapat bervariasi secara kultural.
Implikasi untuk Analisis Bahasa
Struktur "Apakah Yang Kamu Ketahui Tentang Apakah" menarik karena:
- Lokusinya problematik karena pengulangan kata tanya yang sama menciptakan ambiguitas referensial.
- Melanggar maksim relevansi karena kata "apakah" kedua tampaknya tidak berkontribusi pada kemajuan informatif kalimat
- Dapat diinterpretasikan sebagai contoh dari apa yang Chomsky sebut sebagai "grammatical but meaningless" — struktur yang sintaksisnya mungkin berterima namun semantiknya kosong
Robyn Carston dalam "Thoughts and Utterances" (2002) menawarkan perspektif tentang bagaimana pemahaman pragmatik melibatkan proses inferensial yang kompleks untuk menyelesaikan ketidaktentuan semantik. Dalam kasus struktur yang dibahas, proses inferensial ini terhambat oleh ketiadaan titik referensi yang jelas untuk kata "apakah" kedua.
Melalui analisis lokusi dan maksim relevansi, kita dapat memahami lebih dalam bagaimana struktur bahasa tertentu dapat mengganggu ekspektasi komunikatif dan menghasilkan ketidakbermaknaan pragmatis meskipun secara sintaksis mungkin dapat diterima.
Sastra Dekonstruksi Bahasa - Sastra.
Sastra dalam manifestasinya yang paling radikal dapat dipandang sebagai bentuk dekonstruksi bahasa yang menantang batasan-batasan linguistik konvensional. Proses kreatif dalam sastra seringkali melibatkan perusakan dan pembongkaran struktur bahasa yang telah mapan, mirip dengan proses penuaan dalam sistem biologis yang secara perlahan mengubah dan mendegradasi fungsi-fungsi yang sebelumnya optimal. Dalam kedua fenomena ini—sastra dan penuaan—terdapat paradoks produktif: perusakan yang justru membuka kemungkinan-kemungkinan baru.
Para sastrawan eksperimental seperti James Joyce dalam "Finnegans Wake" atau Gertrude Stein dalam "Tender Buttons" secara sengaja mematahkan aturan sintaksis, semantik, dan pragmatik untuk menciptakan bahasa yang baru. Joyce, misalnya, menciptakan portmanteau dan neologisme yang menggabungkan berbagai bahasa, menciptakan teks yang menolak interpretasi tunggal. Tindakan dekonstruktif ini mirip dengan bagaimana proses penuaan memecah fungsi sel dan jaringan, namun dalam prosesnya menciptakan kondisi-kondisi baru yang memiliki sifat uniknya sendiri.
Dalam perspektif Derridean, sastra dapat dilihat sebagai ruang dimana différance—penundaan makna yang terus-menerus—dirayakan sebagai potensi kreatif. Roland Barthes dalam "The Pleasure of the Text" (1973) juga menggambarkan bagaimana teks sastra yang paling menggairahkan adalah yang menciptakan "kenikmatan" melalui gangguan terhadap ekspektasi linguistik, mirip dengan bagaimana sistem biologis yang mengalami gangguan fungsi terkadang menghasilkan adaptasi dan jalur-jalur kompensasi yang inovatif.
Puisi, sebagai bentuk sastra yang paling terkompresi, mendemonstrasikan bagaimana perusakan terhadap tata bahasa normatif justru dapat mengintensifkan ekspresi makna. Para penyair seperti E.E. Cummings dengan tipografinya yang tidak konvensional atau Stéphane Mallarmé dengan ruang kosong yang bermakna, menunjukkan bagaimana dekonstruksi aspek visual dan struktural bahasa dapat memperluas, bukan mempersempit, kapasitas ekspresifnya. Dalam proses penuaan biologis pun, degenerasi struktur fisik tertentu terkadang memunculkan peningkatan kapasitas reflektif dan kontemplasi yang lebih dalam.
Pergeseran bahasa dalam karya-karya sastra postmodern menurut Ihab Hassan dalam "The Dismemberment of Orpheus" (1971) mencerminkan fragmentasi pengalaman kontemporer yang menyerupai fragmentasi fungsi dalam organisme yang menua. Sastrawan seperti Thomas Pynchon atau Don DeLillo menciptakan narasi yang disintegratif yang justru mampu menangkap kompleksitas realitas dengan cara yang tidak mungkin dilakukan oleh bahasa yang terstruktur rapi.
Dalam konteks linguistik eksperimental, perlu diakui bahwa apa yang tampak sebagai dekonstruksi atau perusakan bahasa dalam sastra sebenarnya adalah bentuk rekonstruksi—menciptakan kembali bahasa dalam bentuk yang dapat mengekspresikan yang tak terkatakan. Sama halnya dengan penuaan yang tidak hanya merusak tetapi juga mentransformasi, sastra dekonstruktif tidak hanya menghancurkan konvensi bahasa tetapi juga memberikan kelahiran pada bahasa yang diperbarui, lebih kaya akan nuansa dan kemungkinan ekspresif.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Artikel Terpopuler