Transisi Energi dan Patalogi Ekologis
Kamis, 25 Mei 2023 12:24 WIBArtikel ini menjelaskan praktik dan wacana treansisi energi di tengah Green Paradox dan autocratic legalism.
Akhir-akhir ini kita cukup sering melihat berita bahwa negara secara tegas menyatakan keseriusannya terhadap transisi energi, demi menjangkau target yang telah ditegaskan di Glasgow 2021 yang lalu, dalam menekan berbagai potensi buruk dari perubahan iklim. Selain juga menegaskan komitmennya terhadap sustainable development goals (SDGs) di Brazil pada 2012 silam. Jadi, transisi energi jelas merupakan isu populer akhir dekade ini, dan sekaligus menjadi bagian penting dari gerakan mengantisipasi perubahan iklim. Media tempuhnya dengan SDGs.
Akan tetapi, Hannah Ritchie, peneliti Our World in Data, mencatat bahwa ketergantungan produksi listrik terhadap energi fosil di seluruh dunia saat ini masih di atas 60%. Artinya, tidak mudah melepas ketergantungan ini tanpa komitmen yang kuat. Lebih-lebih 36%-nya berasal dari batu-bara.
Menariknya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai ekspor batu bara di Indonesia pada 2022 naik 76% lebih dari tahun sebelumnya, sekaligus menjadi rekor tertinggi ekspornya dalam 20 tahun terakhir. Negara tujuan teratas ada India (90,14 juta ton) dan Tiongkok (45,85 juta ton) dalam rentan bulan Januari-September 2022. Dalam catatan International Energy Agency (IEA), rupanya Indonesia pada tahun 2022 menjadi negara eksportir batu bara terbesar di dunia, dengan total lebih dari 470 juta ton diekspor ke berbagai negara. Disusul oleh Australia (350 juta ton), Rusia (192 juta ton), lalu Amerika (76 juta ton).
Data ini nampaknya menjadi tontonan paradoks ekologis, selain mekanisme kompensasi Credit Carbon (CC); kewajiban penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) oleh negara industri yang bergeser menjadi skema bantuan dagang dan bisnis. (Memunah & M. Lukman Hakim, 2009) Padahal, manajemen ekologi yang tidak bijak mendorong iklim dunia berubah dahysat; bumi yang dihuni manusia ini tidak hanya menghadapi pergeseran cuaca yang hampir tak mampu diprediksi, tapi juga makin memanas. Peringatan soal climate change yang berdampak pada meningkatnya temperatur Bumi (bertambah sebesar 3-5 derajat Celcius) pada akhir abad ini (Adirini, 2012) benar-benar menjadi kampanye besar (global warming) bagi negara-negara dunia.
Maka, wajar ketika The Habibie Center mencatat bahwa Indonesia sejatinya belum melakukan hal besar dalam kepeduliannya terhadap perubahan iklim. (Gallen, 2020) Bahkan secara spesifik, majalah The Economist menyebutkan bahwa batu bara merupakan salah satu sektor kroni, yang dampaknya tidak hanya merusak lingkungan dan lingkar komunitas sekitar, tapi juga mengguncang perekonomian dan sistem politik. Sebab ada hubungan kuat antara korupsi politik dan penerbitan izin pertambangan. (Jatam, 2018) Selain itu, budaya money politic telah menegaskan kekuatan korporasi di daerah bermuara pada (1) lemahnya penegakan hukum, (2) menyandera pemangku kebijakan publik, dan (3) rendahnya kepedulian pemerintah daerah terhadap upaya sosialisasi & edukasi. (Bahri et al., 2021)
Oleh sebab itu, kerusakan lingkungan yang multi-impact dianggap sebagai akibat dari minimnya pemerataan pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya, sebagai dampak dari hegemoni power and authority yang memaksa masyarakat mengeksploitasi alam. (Arifin, 2012) Di sini kita dapat melihat bahwa negara seperti tidak sungguh-sungguh dalam menghadapi perubahan iklim.
Bahkan Walhi mencatat, atas nama Proyek Strategi Nasional (PSN) tidak jarang akhirnya regulasi yang memberikan perlindungan lingkungan, partisipasi publik, dan tahapan perizinan justru dianggap memberikan hambatan. Hadirnya PP Online Single Submission (OSS) melalui PP No. 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, begitu juga dengan Omnibus Law dianggap menggeser tata kelola ekologi secara dahsyat. Regulasi-regulasi yang tumpang tindih ini bukan hanya memangkas proses administrasi, tetapi juga mendorong hilangnya ruang-ruang partisipasi publik. Sehingga, laju bencana ekologis yang makin tinggi merupakan potret situasi krisis multidimensi yang kesemuanya itu bermula dari hubungan gelap gurita investasi dan cengkraman oligarki. (Walhi, 2020)
Selain itu, wajah lain dari tata kelola transisi energi adalah tindakan represifnya aparat yang banyak dicatat oleh pemerhati lingkungan. (Tim YLBHI, 2017) Penyelenggara negara juga dianggap terlalu eksesif dan cenderung sewenang-wenang (arbitrary) dalam mengelola dinamika dissent dan kritik yang justru dapat memperburuk kondisi kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat. (KontraS, 2018)WALHI juga cukup fasih mengurai bagaimana kritik publik diredam dengan delik. (Walhi, 2020)
Misalnya, pada 2011-2020 tercatat 22 orang menjadi korban pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing). Lalu pada 2019-2022 ditemukan paling tidak ada 153 orang menjadi korban kekerasan dari impunitas aparat saat mereka demonstrasi, 9 diantaranya meninggal dunia. Pada rentan waktu yang sama juga terdapat 7.632 orang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang. Selain itu, tercatat 37 aktivits menjadi korban kriminalisasi. (LBH Jakarta, 2022)
Kita tidak tahu apakah itu menjadi salah satu penyebab pada 2021 The Economist Intelligence mengkategorikan Indonesia sebagai flawed democracy. Atau bagian dari penyebab “regresi demokrasi”, meminjam Thomas Power. Belum lagi ditambah catatan merah dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) terhadap mereka yang dirampas ruang hidupnya dan dikorbankan keselamatannya dengan dalih “pembangunan”. (JATAM & Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air, 2022).
Ada indikasi kuat bahwa praktik bisnis kroni makin menguat, sehingga akses pengusaha untuk masuk ke jantung kuasa makin mudah. Lebih-lebih mengisi ruang ekskutif dan legislatif. (LBH Jakarta, 2022)
Tentu kita perlu memastikan bahwa negara tidak sedang menari di panggung desersi-ekologis; membelot dari konstitusi dengan mengotak-atik legislasi, mengesampingkan keselamatan rakyat di tengah eksploitasi, dan mengabaikan kewajiban-kewajiban substatif negara demokrasi dalam proses transisi energi. Yah, “kita” seperti yang Bronwyn Hayward uraikan dalam Children, Citizenship and Environment (2012) tentang pentingnya “youth-led climate activism” yang bisa menjadi bagian penting penentu arah kekuatan politik.
Hal ini menjadi menarik karena hasil survei yang diikuti 28.720 responden dari seluruh Indonesia oleh U-Report dari UNICEF tahun 2021 menyebutkan bahwa generasi muda benar-benar menaruh empati terhadap tata kelola lingkungan. (UNICEF, 2021) Artinya, “youth-led climate activism” memiliki tugas besar dalam memastikan bahwa demokrasi tidak digilas dengan peluasan kekuasaan eksekutif dan pelemahan supremasi hukum, seperti yang dijelaskan Thomas Power. Perlu ada upaya serius memompa legal empowerment; langkah konkrit menguatkan akses hukum dan pengawasan kebijakan publik sebagai bagian dari hak warga negara. Dengan demikian, toxic positivity yang memaksa “kita sedang baik-baik saja” dapat direspon secara naratif-argumentatif.
Hans-Werner Sinn dalam Green Paradox pernah jauh hari mengingatkan bahwa aturan perundangan dan kebijakan publik soal tata kelola lingkungan yang bertujuan untuk mengendalikan pemanasan global dan kerusakan iklim justru mengancam ekologi itu sendiri karena culasnya korporasi dan rakusnya relasi kuasa dengan para pemodal untuk menghasilkan produk hukum yang “berpihak dan konstitusional”. Bila negeri ini seperti apa yang Hans-Werner Sinn jelaskan, maka kita sedang mengandalkan proses legislasi yang sehat di lingkaran setan. (Hans-Werner Sinn, 2012)
Memang tren rezim kekinian, kata Kim Lane, memiliki corak autocratic legalism; kerap merekayasa instrumen hukum untuk meredam kritik sambil melemahkan sistem pengawasan kekuasaan, demi memperbesar kekuasan modal dan politik. Karena masuk ke ranah legislasi yang konstitusional, maka publik merasa negara ini baik-baik saja.
Dan bila benar demikian, maka jelaslah bahwa persoalan lingkungan dan berbagai mata rantai ketidakteraturan alam tidak melulu kesalahannya ditimpakan dan diarahkan kepada masyarakat sebagai aktor utama. Justru pada perilaku kuasalah kewajiban itu bertumpu. (Gallen, 2020)
Pada akhirnya, di depan mata kita saat ini ada ancaman neo-ekstraktivisme yang mengundang bencana berkelanjutan dan kapitalisasi yang dipayungi aturan legal. Keduanya menjadikan rakyat sebagai pengungsi sosial ekologis permanen. Benar kata Baele (1980), masyarakat industri yang ada di tengah-tengah kita ini merupakan masyarakat yang menghancurkan dunia (merusak lingkungan), karena kemajuannya dalam teknologi tidak hanya berdampak pada meningkatkan eksploitasi sumber daya alam tapi juga memperluas buatan manusia yang tidak berpihak pada lingkungan. (Beale, 1980) Kita juga nampaknya perlu mempertimbangkan saran Jared Diamond ketika mengatakan bahwa persoalan perubahan iklim, penumpukan racun, kekurangan energi, dan penggunaan fotosinteis bumi secara radikal adalah bagian paling penting yang mendorong runtuhnya masa depan. (Jared Diamond, 2005)
Jadi, trayek transisi energi dengan legitimasi PSN perlu mendapat perhatian yang serius mengingat laju proyek besar ini di satu sisi terlihat mengedepankan ekspansi industri energi, di sisi lain menomorduakan keselamatan rakyat dan ekologinya. Pada akhirnya, kita tidak ingin melihat palu godam “transisi energi” bergeser menjadi salah satu warna transisi oligarki dan potret nyata patalogi ekologis.
Penulis: Luqman Rico Khashogi
#LombaArtikelJATAMIndonesia
Rujukan
Adirini, P. (2012). Inter-Parliamentary Union (IPU) dan Lingkungan Hidup. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 3(1), 111–134.
Arifin, Z. (2012). Politik Ekologi: Ramah Lingkungan Sebagai Pembenaran. Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, 1(1), 11–16. https://doi.org/10.22202/mamangan.v1i1.88
Bahri, S., Kusmanto, H., Broven, F., & Ardian, M. (2021). Politik Kebijakan: Sebuah Studi Pada Implementasi Kebijakan Politik Ekologi Terhadap Perlindungan dan Pelestarian Hutan di Kabupaten Rokan Hilir. Jurnal Transformative, 7(2), 241–260. https://doi.org/10.21776/ub.transformative.2021.007.02.5
Beale, J. G. (1980). The Manager and The Environment: General Theory and Practice of Environmental Management. Pergamon Press.
Gallen, L. (2020). Konsekuensi dari Kebijakan Perubahan Iklim yang Buruk: Peringatan dari Tetangga Indonesia. Habibiecenter.or.Id, 12. https://www.habibiecenter.or.id/img/publication/4a9668e65114d1069145892a983c795e.pdf
Hans-Werner Sinn. (2012). The Green Paradox; A Supply-Side Approach to Global Warming. Massachusetts Institute of Technology (MIT) Press.
Jared Diamond. (2005). Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (First Edit). Viking Press.
Jatam. (2018). Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu bara. Jatam, 48. www.jatam.org
JATAM, & Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air. (2022). CATATAN TUTURAN WARGA TAPAK INDUSTRI EKSTRAKTIF MENYOAL JEBAKAN COP26 : MENUAI BENCANA IKLIM DARI SOLUSI PALSU. https://www.jatam.org/menuai-bencana-iklim-dari-solusi-palsu-pembangunan-rendah-karbon/
KontraS. (2018). Catatan Evaluasi 4 Tahun Kinerja Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla Kabinet Indonesia Kerja Sektor Hak Asasi Manusia HAM Bukan Prioritas. https://kontras.org/2018/10/19/catatan-evaluasi-4-tahun-kinerja-pemerintahan-joko-widodo-jusuf-kalla-kabinet-indonesia-kerja/
LBH Jakarta. (2022). Catatan Akhir Tahun 2022.
Memunah, S., & M. Lukman Hakim. (2009). Perubahan Iklim dan Adaptasi Kapitalisme. Legislasi Indonesia, 6(1), 122–145.
Tim YLBHI. (2017). Catatan Akhir Tahun Yayasan Bantuan Hukum Indonesia Tahun 2017; Demokrasi Indonesia dalam Pergulatan. In Badan Pengurus YLBHI.
UNICEF. (2021). Pengarusutamaan Partisipasi Remaja di Indonesia dalam Upaya Kesiapsigaaan, Respons, dan Pemulihan untuk Bencana. https://www.unicef.org/indonesia/id/laporan/pengarusutamaan-partisipasi-remaja-di-indonesia-dalam-upaya-kesiapsiagaan
Walhi. (2020). Tinjauan Lingkungan Hidup 2020: Menabur Investasi, Menuai Krisis Multidimensi. https://www.walhi.or.id/tinjauan-lingkungan-hidup-2020
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Transisi Energi dan Patalogi Ekologis
Kamis, 25 Mei 2023 12:24 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler