Berpijak di Bawah Sabda Pancasila
Kamis, 2 Juni 2022 06:41 WIB"Berpijak Di Bawah Sabda Pancasila", merupakan lukisan hidup seorang anak bangsa dalam memaknai Kebhinnekaan yang Tunggal dan Ika. Dia milihat kelima sila sebagai peziarahan hidup manusia Indonesia yang sejati.
“Hidup itu sebuah peziarahan, peziarahan akan apa yang kita yakini di dunia ini. Kemanapun kaki melangkah, kemanapun keberadaan kita, sadarlah bahwa hidup kita selalu berada dalam relung peziarahan. Aku tahu dan menyadari bahwa seluruh perjalanan hidupku memberikan sejuta pengalaman yang tidak dapat ku rangkai sekecil mungkin, untuk ku tunjukan kepada dunia bahwa aku dapat melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidup ini. Tetapi aku percaya akan semangatku, optimismeku akan setiap perjalanan hidup yang kupilih sendiri. Sebab dari padanya ku menemukan jati diriku sebagai seorang manusia yang terus berjalan menelusuri relung-relung peziarahan hidupku”. Demikian sebuah catatan kecil yang ditinggalkan Rama di kamar tidurnya sebelum ia mengejar mimpi yang tidak diketahui keluarga.
Rama adalah seorang anak desa dari salah satu pulau kecil di bagian Indonesia Timur yang bernama Pulau Timor. Pulau yang sangat ia cintai akan semerbak harum kayu cendana di kala itu. Kini, apa daya kecintaan itu jika yang tertinggal hanyalah kenangan. Seluruh cinta dan kebanggaan akan tanah kelahiran telah berubah seakan-akan telah sirna dari bumi ini. Jauh di dasar hati yang terdalam si anak desa mengeyam mimpi tuk berlabuh keluar dari kampung halaman dan bahkan keluar dari jati dirinya.
Rama menyadari dengan keterbatasan hidup dan sejuta mimpi yang kian hari kian bertambah seiring berhembusnya nafas kehidupan tatkala memaksanya untuk terus melangkah. Adakah ia mewakili sejuta anak Timor atas mimpi-mimpi yang belum terpikirkan oleh mereka karena keterbatasan ruang peziarahan terhadap kehidupan layak yang boleh mereka terima?? Tak ada jiwa lain selain dia yang tahu dan mengerti akan jalan hidupnya saat ini.
Malam itu, bulan tidak menampakan diri seperti biasanya bahkan bintang-bintangpun menyembunyikan diri dalam peraduan malam. Rama berjalan keluar rumah tidak berbekal, hanya sebuah tas sarung yang kelihatan menemani dirinya. Ia berjalan menyusuri jalan-jalan kecil yang telah dibuat oleh segerombolan sapi dan ia tahu bahwa jalan ini menuju ke kali (sungai). Ia terus berjalan menembusi udara dingin di malam itu tanpa menghiraukan suara-suara binatang malam yang seakan-akan terus mengikutinya. Ia tahu bahwa perjalanan yang ia tempuh cukup jauh kurang lebih empat puluh lima kilo meter dari desa ke kota. Bagi Rama, jarak tempuh ini tidak menjadi penghalang untuk seorang anak desa seperti dirinya, yang telah duabelas tahun mengayun langkah sejauh Sembilanbelas kilo meter. Jika Sembilanbelas kilo meter dapat ia tempuh selama duabelas tahun apa artinya empatpuluh lima kilo meter dalam waktu satu malam demi sebuah cita-cita di masa yang akan datang.
Rama bukanlah pribadi yang takut akan kegelapan, bukan pula pribadi yang gila berjalan semalam suntuk sejauh empat puluh lima kilo meter tetapi Rama adalah pribadi berjiwa patriot. Seorang kesatria yang selalu berpegang teguh akan komitmen hidupnya. Perjalanannya menyusuri lorong-lorong bumi seakan mengantar dia untuk bertemu fajar baru di hari itu. Dengan tangan kekarnya ia mencoba menepis embun yang kian detik menyentuh tubuhnya. Tubuh itu telah terendam keringat sepanjang malam sampai fajar merekah, langkah kakinya kini kian tak menentu untuk membawa tubuh yang terasa lemas tak bertumpuan lagi, namun semangat itu masih tetap ada dalam dirinya.
Setibanya di kota Rama berjalan menuju sebuah toko tradisional. Dalam keadaan lemas ia memberi tas sarung yang ia bawa dari rumah. Pemilik toko itu kebingungan dan dengan segera meminta salah satu pelayannya untuk mengambil dan membuka tas tersebut. Ketika dibuka pelayan itu terkejut akan aroma kayu cendana yang begitu tajam. Pelayan itu meyerahkan tas sarung beserta isinya kepada majikan dan tanpa berpikir panjang majikan memberikan sejumlah uang untuk harga kayu cendana yang dibawa Rama.
Hasil dari kayu cendana mengantar Rama untuk mendaftarkan diri di salah satu perguruan tinggi dan mengambil ilmu filsafat. Kecintaannya pada ilmu filsafat bertitik tolak dari sang proklamator Bangsa Indonesia. Tidak pernah terpikirkan oleh dirinya bahwa Sang Proklamator bukanlah seorang filsuf,namun dari setiap rekam jejak akan setiap pemikirannya ia adalah sang pencinta kebijaksanaan untuk negeri dan bangsa. Dengan demikian Rama menjuluki sang proklamator sebagai filsuf tanah air. Bagi Rama siapa yang mencintai Bangsa dan Negara dengan setiap kebijaksanaannya adalah filsuf. Jelaslah itu dalam kata dan makna Pro Patria Et Primus Patrialis yang masih tertanam erat dalam benak Rama.
Semenjak kecil Rama telah dilatih untuk menulis huruf elok. Ia pada awalnya menulis pada batu sebab waktu itu buku-buku untuk menulis masih sangat terbatas. Karena kecintaannya untuk belajar begitu besar maka hari demi hari ia mencoba mendatangi kakeknya untuk belajar menulis. Kala itu bahan ajar sangat terbatas. Dalam keterbatasan itu kakeknya memberikan sebuah buku tua di mana hanya terdapat dua lembar kertas. Lembaran pertama bertuliskan UUD
1945 dan lembaran kedua berisikan kelima sila. Karena ukuran batunya tidak mungkin baginya untuk menulis tulisan yang ada pada lembaran pertama. Dengan demikian tulisan pada lembaran kedua menjadi obyek belajar.
Hari demi hari berlalu Rama terus belajar mengukir setiap huruf, kata dan bahkan kalimat - kalimat itu ke dalam batu tulisan tanpa ia mengetahui makna di balik setiap kata dalam kelima rumusan itu. Hingga pada suatu waktu kakeknya bertanya “sudahkah kamu menghafal Pancasila”? Seperti seorang yang baru bangun Rama bertanya balik “apa itu Pancasila”? Dengan spontan kakek memukul dahinya dengan keras, sambil berkata “Tuhan…, hampir setiap hari kamu menulis ini, tetapi kamu tidak tahu apa yang kamu tulis”? “anak..? apa yang kamu tulis tiap hari, inilah yang disebut Pancasila”. “ pancasila adalah dasar Negara kita yang digagas oleh beberapa tokoh pejuang kemerdekaan dan apa yang kamu tuliskan ini adalah rumusan dari sang proklamator”. “ouhh.. ia Kek, kan saya belum bisa baca,” sambung Rama demikian. “ya sudah, yang terpenting kamu sudah tahu kalau itu namanya Pancasila, besok-besok sudah pintar baru tahu lebih banyak,” sambil pergi meninggalkan Rama yang tertegun dalam kebingungan.
Pancasila.. “Ketuhanan yang Maha Esa”, “adakah suatu gagasan lain yang mampu menggambarkan begitu indah kata-kata ini”? inilah pemikiran seorang Rama si anak desa yang baru saja mengerti tentang apa itu Pancasila. Tak ada satu manusiapun yang mampu mengalihkan kebesaran Tuhan semesta Alam untuk menopang bangsa dan negeri ini, maka dari itu Allah Yang Esa menjadi pokok utama bagi bangsa dan Negara pun masyarakat Indonesia berlindung kepada- Nya. “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tak pernah terpikirkan oleh Rama si anak desa dari pelosok terdalam di ufuk Timur dididik untuk menjadi seorang manusia yang teguh berjiwa patriot. Untuk mencintai sesamanya” Rama sadar ada begitu banyak teori yang ia peroleh dari rumusan kedua tentang siapa itu manusia? Namun, bagi Rama, menjadi seorang pencinta kehidupan adalah tugas dan kewajiban seorang manusia indonesia.
Rama menyadari bahwa seluruh dirinya tidak pernah terlepas dari makna akan sebuah cinta. Cinta yang dimaknai oleh Rama menyemburkan luka terdalam dari setiap sudut penderitaan semasa sekolah. Ia bertemu berbagai macam orang dari suku dan bahasa yang berbeda. Ada persaingan, ada iri hati, ada kedengkian, marah ada konflik. Tetapi Rama tahu di balik semua itu ada satu alasan bahwa setiap orang ingin diperhatikan, ingin dicintai. Cinta akan semuanya ini Rama sadari sebagai bagian dari “Persatuan Indonesia”. Cinta itu menyatukan bukan menceraiberaikan.
Tatkala Rama berpikir tentang cinta universal ia pun takut akan kekuatan cinta itu sendiri. Keterlibatan dalam setiap organisasi membuat Rama menghadirkan satu pemahaman baru untuk bagaimana ia berlangkah tatkala awal ia memulai perjalanan. Ia tidak pernah merasa risau akan satu kegagalan dalam hidupnya sebab ia selalu optimis untuk tetap percaya pada diri sendiri dan setiap pilihan hidupnya. ketika ia merenungkan ini, ia sadar pada bagian “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan”. Bagi Rama seorang anak desa, setiap pilihan adalah bagian terindah dari kepercayaan. Selama manusia masih dikatakan manusia ia memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun di satu sisi ia memiliki akal budi untuk mensejajarkan keduannya agar menjadi seorang yang bijaksana.
“Hidup adalah sebuah peziarahan” demikian kata Rama dalam suratnya beberapa tahun silam. Ia kini menyadari bahwa dirinya tidak begitu berarti bila ia tidak melakukan sesuatu yang lain dari pada sebelumnya. Kecintaan pada tanah air, Bangsa dan Negara membuat dia terasa dilema antara ingin beranjak dari negeri ini atau tetap berada dalam negeri dengan kondisi yang tidak menentu. Semuannya telah ia peroleh dalam hidupnya kesulitan berjalan sejauh Sembilan belas dan empat puluh lima kilometer telah ia lalui. Kini bayangan masa lalunya terhenti sejenak untuk berpikir. “Kesulitan hidupku tidak sesulit para pejuang dan fondatorku. Aku hanya mampu berjalan sejauh tujuanku, tetapi aku tidak mampu untuk berjalan sejauh mereka. Mereka berjalan sejauh mata memandang akan suatu kesuksesan yang terpampang pada sang merah putih’ keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia’ menjadi motto hidupku yang tidak akan ku gantikan se lama hayatku.” Aku harus kembali pada semangatku sebab aku terlahir dalam Rahim ibu pertiwi. Aku telah berada dalam satu naungan sabda yang takkan pernah tergantikan..untukmu Pancasila dan untukmu indonesiaku.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Berpijak di Bawah Sabda Pancasila
Kamis, 2 Juni 2022 06:41 WIBAwalku adalah Akhir Bersama Ganjuran
Selasa, 17 Mei 2022 13:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler