Jangan Ajari Kami Toleransi
Jumat, 19 November 2021 15:12 WIBSebab toleransi adalah kehidupan kami, tentang persahabatanku dengan Roland yang hampir berbeda segalanya termasuk agama
Aku dan Roland adalah sepasang sahabat, umur kami berbeda setahun lebih tua Roland, hampir semua hal dari kami adalah berbeda, dari warna kulit sampai agama kami berbeda. Ada satu hal kesamaan kami, kami sama-sama miskin, kemiskinan itulah yang mungkin sebagai awal yang mempertemukan kami. Kami mengontrak rumah bersebelahan, dipisahkan oleh dinding triplek yang sama, serta memiliki sumur yang sama.
Aku di didik oleh keluarga dengan didikan Islam yang kuat, umur 5 tahun aku sudah khatam Qur’an, sholat lima waktu tak pernah lepas, puasa sunnah dan wajib tak pernah lepas, banyak pengajian diikuti, terus berusaha melaksanakan perintah agama.
Roland pun di didik oleh keluarganya dengan didikan Kristen yang taat, saban minggu ke Gereja mengikuti kebaktian, Injil tak pernah lepas di baca, rendah hati seperti Paulus nya.
Kami terus bersama selama 5 tahun, harus berpisah disebabkan suatu peristiwa yang nanti akan aku ceritakan. Saban hari kami pasti bermain bersama, terutama sepulang sekolah dan di hari libur. Pabila ingin bermain di waktu setelah dhuhur, Roland selalu bertanya, “Kamu sudah sholat lohor?” (lohor adalah istilah Roland untuk sholat dhuhur), jawabanku harus selalu “sudah”, jika aku menjawab “belum”, maka Roland memaksaku untuk sholat terlebih dahulu, jika aku tak mau sholat dulu, ia pun tak mau bermain. Sepak bola adalah permainan terfavorit kami, tiada hari tanpa sepak bola.
Pernah suatu ketika, pemain sepak bola terkenal datang ke kampung kami, aku yang sangat mengaggumi pemain tersebut, sudah menunggu dari sebelum subuh di lapangan sepak bola kampung kami. Hingga aku terlupa untuk menjalani kewajibanku sebagai muslim di subuh hari, Roland tahu kondisi itu, ia menarikku dengan paksa menuju musholla sambil berkata, “Sholat, pemain sepak bola itu tidak bisa menyelamatkanmu diakhirat!” Sering, aku terselamatkan dari lupa untuk menjalankan kewajiban dari agamaku karena ia, sahabat yang tak seagama dengan ku.
Kami berdua adalah pasukan elit dari tim sepak bola kampung kami. Oh ya nama kampung adalah spiongot. Saban tujuh belasan, tim sepak bola kampung kamilah juaranya, tandem kami seperti tandemnya Messi dan Neymar, tim lawan manapun pasti kewalahan jika kami mengocek bola. Di tahun akhir kebersamaan kami, tim sepak bola kampung kami dengan sangat terpaksa merelakan juara kepada kampung sebelah. Saat pertandingan final kami di habisi tim lawan, sebab pasukan elitnya tidak bermain.
Pertandingan final diadakan pada hari Minggu pagi, dimana tiap minggu pagi Roland harus pergi ke Gereja untuk mengikuti kebaktian. Saat itu, Roland memaksa bermain, “Sangat sayang jika kita kalah saat final ini”, katanya. Namun, aku memaksanya untuk tetap pergi ke gereja dengan menarik paksa tangannya sambil terus berkata. “Kebaktianlah, sepak bola tidak bisa menyelamatkanmu di akhirat” (balas dendam yang manis bukan?). Akupun nungguin ia di luar gereja sampai ia selesai, setelah selesai kami pun bergegas dengan lari sekencang-kencangnya ke lapangan, setiba di lapangan waktu permainan tinggal 1 menit dengan skor 4-0 untuk tim lawan.
Manager tim, yang tak bukan dan tak lain adalah bapakku, menanyai kami kenapa terlambat, aku menjawabnya seperti kejadian yang aku ceritakan, mendengar jawaban itu, bapakku dengan bangga berteriak sekeras-kerasnya, “Biarlah kali ini kami kalah bermain sepabola, tapi kami menang untuk kebhinekaan”, dan semuanya bertepuk tangan mendengar teriakan itu, termasuk pendukung tim lawan pun ikutan tepuk tangan, mereka sepertinya lebih senang mendengar teriakan bapakku, dari pada kemenangan kesebelasan mereka.
Karena kemiskinan kami sering bergantian memberi makan, kadang kami kadang mereka, saat bapakku yang seorang kuli bangunan tidak mendapatkan proyek bangunan, keluarga Rolandlah yang membantu kami, sangat sering aku makan nasi yang aku ambil sendiri dari periuk nasi mereka. Demikian pula, jika ayah Roland yang pengayuh becak itu tidak dapat uang sepeser pun, kamilah yang membantu mereka, tak jarang pula Roland makan nasi yang ia ambil langsung dari periuk nasi kami.
Dalam masa kebersamaan kami, pernah sekali ada sekelompok anak-anak seusia yang memaksaku untuk tak berteman lagi dengan Roland, dengan banyak argumentasi, salah satunya, “Jangan berteman dengan nya, dia tidak seaqidah dengan kita, nanti aqidah mu akan dirusak oleh nya”, aku menjawab argumen mereka dengan tegas, “Hhai...ia lebih sering mengingatkanku akan perintah agamaku dari pada kalian”.
Tiga hari setelah peristiwa kami kalah tapi terasa menang dalam pertandingan sepak bola itu, ayah Roland mengalami kecelakaan, becaknya ditabrak oleh sebuah truk, ayah Roland terpental sejauh 2 meter, dan nyawanya pun tak tertolong lagi. Beliau meninggal di tempat. Peristiwa itu adalah awal perpisahan kami, karena seminggu setelah itu, keluarga Roland harus pindah ke kampung, ibunya memutuskan untuk menjadi petani penggarap di kampung. Sebelum berpisah aku memberi Roland sebuah Qur'an dan ia memberiku sebuah Injil. Injil itu masih kusimpan hingga sekarang, dan aku pun yakin Roland masih menyimpan Qur'an itu hingga sekarang.
Semoga kita bisa bertemu lagi sobat, kangen...
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Kajian Sosiologi Konflik Pada Pelaporan Pencemaran Nama Baik Pejabat Publik
Rabu, 24 November 2021 06:24 WIBJangan Ajari Kami Toleransi
Jumat, 19 November 2021 15:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler