Jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan
Yang Bertahan dari Tubuh dan Ingatan
Senin, 2 Juni 2025 07:02 WIBTubuh yang mengingat, pada akhirnya, tak perlu podium untuk tetap hidup. Ia cukup diam. Tapi hadir.
Di suatu siang yang sunyi, seorang anak kecil berdiri di tengah gedung serbaguna yang belum lama selesai dibangun. Matanya lurus menatap lawan, tapi yang sebenarnya ia tatap adalah sesuatu yang tak kelihatan: bayangan leluhurnya, yang datang dari tubuhnya sendiri.
Anak itu tak tahu siapa yang menciptakan jurus-jurus itu pertama kali. Tapi ia mempelajarinya saban sore. Ia hafal geraknya, tapi mungkin tak paham maknanya. Tapi bukankah begitu pula kita memahami doa-doa yang kita warisi?
Di Gedung Serbaguna Al Ikhlas, Tamberan, Panjangrejo, Pundong, Bantul, akhir Mei, 136 anak dari 17 kapanewon saling mengukur jurus, dalam sebuah pertandingan yang mereka sebut BAJA CUP #2. Ini kejuaraan pencak silat. Diselenggarakan oleh Persinas ASAD. Tapi bukan kemenangan yang dicari.
Ketua IPSI Bantul, Sri Harijanto, datang membuka acara. Ia menandatangani prasasti peresmian padepokan. Ia menyebut pesilat-pesilat muda itu sebagai "aset budaya". Kalimat yang biasa. Tapi diucapkan dengan kesungguhan yang tak biasa.
Saya bayangkan, di kepalanya mungkin berkelebat sebuah kekhawatiran: bahwa silat—seperti halnya gamelan, batik, atau tembang Jawa—sedang kehilangan ruang hidupnya. Ia masih ada, tapi makin lama makin tak terdengar.
Pencak silat, kata penyair Goenawan Mohamad dalam sebuah esai pendek, adalah "tubuh yang mengingat." Ia bukan hanya teknik bela diri, tapi semacam bahasa tubuh yang menyimpan masa lalu. Seperti tarian. Seperti upacara. Seperti cara kita menunduk ketika bersalaman dengan yang lebih tua.
Jurus-jurus itu bukan hanya gerakan. Ia adalah cara sebuah kebudayaan berbicara tanpa suara.
Tapi zaman telah berubah. Kekerasan kini bisa dikirim lewat komentar. Keangkuhan bisa dilatih dengan swipe layar. Ketenangan bukan lagi sebuah keutamaan, tapi semacam kekalahan.
Maka ketika anak-anak itu berdiri dengan sikap pasang, diam, lalu bergerak dalam keheningan yang dipotong hentakan kaki—mereka sebenarnya sedang belajar sesuatu yang tak diajarkan dalam buku: *kesadaran tubuh*.
Ada yang menarik di sana: tak ada hadiah besar. Tak ada siaran langsung. Tak ada panggung megah. Tapi semua yang hadir, dari Danramil, Polsek, Lurah desa, Ketua RT, Ketua LDII, Senkom, sampai tokoh agama dan masyarakat, duduk rapi. Seolah ini bukan pertandingan. Tapi semacam ritual. Semacam janji sunyi untuk menjaga sesuatu yang rapuh tapi penting: akar.
Darto Winarso, Ketua Persinas ASAD Bantul, menyebut kejuaraan ini bukan hanya soal teknik tanding. Tapi pendidikan karakter. Bahwa silat bukan hanya urusan menang-kalah. Tapi soal mengenali diri. Dan batas. Seperti halnya filsafat Jawa yang tak pernah gegabah menjawab, silat juga mengajarkan bahwa tak semua harus dilawan. Kadang yang perlu adalah mundur. Kadang cukup menunduk.
Hari ini kita sering kehilangan tubuh dalam pikiran. Tapi anak-anak itu justru belajar berpikir lewat tubuhnya. Lewat jurus yang mereka hafal dari pelatih yang juga menghafalnya dari pelatihnya. Mereka tak pernah bertemu pencipta jurus itu. Tapi seperti puisi yang dibaca tanpa tahu siapa pengarangnya, tubuh mereka tahu caranya menghayati.
Saya tak tahu apakah kelak salah satu dari mereka akan menjadi juara nasional. Tapi barangkali bukan itu tujuannya. Sebab tubuh yang mengingat, pada akhirnya, tak perlu podium untuk tetap hidup.
Ia cukup diam. Tapi hadir.
***

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Mimbar yang Sunyi: In Memoriam Ustaz Yahya Waloni
Sabtu, 7 Juni 2025 09:35 WIB
Judi Online, Bank, dan Regina
Sabtu, 7 Juni 2025 12:27 WIBArtikel Terpopuler