Bukan Jokowi, Prabowo, dan Demokrasi yang Ciptakan Polarisasi, tapi Proxy

Sabtu, 31 Agustus 2019 11:05 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Para proxy-lah yang sesungguhnya menciptakan polarisasi anak bangsa, bukan demokrasi, bukan pemilu, bukan  pula pilpres. Mereka juga yang menunggangi pesta demokrasi sehingga membuat kualitas demokrasi menurun, Dan mereka telah menanam bibitnya sejak Pilgub DKI 2012.

Sejak kapankah simbol-simbol agama Islam meramaikan pesta demokrasi di tanah air? Penulis menenggarai hal itu terjadi sejak dirilisnya hasil hitung cepat Pilgub DKI Jakarta 2012, pada 19 Juli 2012. Sejak itu, ayat-ayat suci semakin liar dimainkan. Begitu juga dengan kampanye hitam yang diharamkan dalam pesta demokrasi di manapun. Sejak Pilgub DKI 2012 putaran kedua benih-benih polarisasi mulai disemai.

Pola-pola penggunaan simbol-simbol agama kembali dimainkan pada saat Pilpres 2014. Anehnya, Prabowo Subianto yang pada Pilgub DKI  2012 distempeli “antek China”, “antek komunis”, “anti-Islam”, dan lain sebagainya gegara mencalonkan Ahok sebagai cagub justru mendapat dukungan penuh dari kelompok-kelompok yang sebelumnya gencar menyerangnya. Bahkan, pada 1 Juli 2014 mantan Danjen Kopassus itu dinobatkan sebagai Panglima Perang Umat Islam Indonesia.

Sejak saat itu “peluru-peluru” kampanye hitam yang pada Pilgub DKI 2012 putaran kedua ditembakkan ke arah Prabowo dialihkan ke arah Jokowi. Malah, untuk melumasi kampanye hitamnya kepada Jokowi, “oli” PKI pun disiramkan. Ini membuktikan jika polarisasi bukan diciptakan oleh Jokowi, Prabowo, bukan pula oleh demokrasi.

Menariknya, sekalipun Jokowi sudah dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2014 dan dilantik sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2014, serangan-serangan terhadap Jokowi tidak juga mereda. Bahkah, saat Jokowi masih berstatus presiden terpilih versi quick count, pada 21 Juli 2014 Hizbut Tahrir Indonesia menyerukan kepada militer untuk mengambil alih kekuasaan.

Menyusul polarisasi yang semakin dikristalkan, proxy war pun digelindingkan. Pada 2015, Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) gencar mengumbar propaganda hitam kepada Syiah. Kelompok ini bukan saja bermain di ranah media sosial, tetapi juga di medan darat. ANNAS yang memikiki banyak cabang di daerah tidak sendirian. Bersama kelompok ini, sejumlah kelompok-kelompok Islam lainnya turut menyebarkan propaganda kebencian terhadap Syiah.

Sejak saat itulah anyir proxy war mulai menyengat. Ketika itu juga Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, beserta jajarannya mengingatkan tentang ancaman proxy war yang tengah mengintai bangsa Indonesia.

Sepanjang tahun itu pula potensi bentrok fisik antara kelompok-kelompok Islam tertentu dengan penganut Syiah terus meningkat. Upaya suriahisasi Indonesia Pada 2 Desember 2015, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan mengumumkan informasi intelijen yang menyatakan akan adanya ancaman terhadap penganut Syiah di Indonesia.

Ancaman terhadap Syiah baru menyurut setelah meledaknya kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok pada akhir September 2016. Tetapi tidak dengan ancaman proxy war, sebab jejak saat itu sasaran beralih dari Syiah ke penganut Kristen dan Tionghoa.

Menariknya, dalam berbagai kasus atau peristiwa yang melibatkan emosi massa dan menjurus ke arah konflik horisontal, Barisan Ansor Serbaguna (Banser) selalu menjadi sasaran propaganda hitam, termasuk dalam kerusuhan massa yang terjadi di Papua saat ini. Jika Banser sampai terpancing, maka skenario proxy war akan lebih mudah dieksekusi.

Para proxy inilah yang sesungguhnya menciptakan polarisasi anak bangsa, bukan demokrasi, bukan pemilu, bukan  pula pilpres. Mereka jugalah yang menunggangi pesta demokrasi sehingga membuat kualitas demokrasi menurun. Dan para proxy sudah menanam bibitnya sejak Pilgub DKI 2012.

Terbukti polarisasi terus berlanjut meski pesta demokrasi lima tahunan sudah berakhir. Hasutan-hasutan para proxy jugalah yang menyebabkan pertemuan Jokowi-Prabowo yang digelar pada 13 Juli 2019 tidak berhasil meredupkan polarisasi.

Dan, sebenarnya, kelompok-kelompok tersebut bukan mengincar Jokowi, tetapi kehancuran NKRI. Jokowi hanyalah sasaran antara karena statusnya sebagai RI 1. Inilah yang membuat mereka berupaya keras menghasut satu kutub untuk tidak mengakui Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2019.

Lantaran umat Islam Indonesia merupakan penduduk mayoritas. Dan, tingkat pendidikan Indonesia masih rendah yang artinya, sebagai mayoritas, tingkat pendidikan umat Islam Indonesia pun masih rendah. Di sisi lain, semangat berkeislaman umat Islam Indonesia tengah meningkat. Maka hasutan-hasutan untuk mendelegitimasi pemerintah dan juga negara dialamatkan ke arah umat Islam.

Sayangnya, negara seolah belum juga menemukan “jampi-jampi” yang dapat membebaskan bangsa ini dari pengaruh hitam para proxy. Lebih parahnya lagi, negara seolah tanpa daya sama sekali. Padahal, setelah usianya yang ke-74 tahun, bangsa Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih berat, baik dari dalam maupun dari luar.

Bagikan Artikel Ini
img-content
gatot

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua