Reklamasi Membunuh Demokrasi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBNamun jika bersikeras melanjutkan reklamasi maka akan membunuh demokrasi sebab opini publik yang menolak reklamasi telah diabaikan.
Demokrasi adalah kerangka interaksi politik modern. Di dalamnya kesetaraan hak warganegara dijamin. Terhadap kesejahtraan, tanggung jawab negara dituntut aktif, yaitu dengan menyediakan kondisi minimal bagi keberlangsungan hidup yang layak bagi warga negara.
Kini, konsep demokrasi itu bertumbuh mengikuti kebutuhan-kebutuhan baru tentang konsep kesejahteraan. Demokrasi kini harus bisa diuji berdasarkan parameter keadilan publik dan tidak hanya berdiri pada instrumennya saja seperti pemilu, parpol, dan juga parlemen.
Sejak awal memang teorisasi tentang demokrasi dimaksudkan untuk demikian, bahwa demokrasi pada akhirnya harus menyentuh keadilan publik, artinya demokrasi menjamin tanpa adanya demarkasi antara warga negara. Yang kaya harus sama dengan yang miskin yang miskin tidak boleh lebih diperhatikan dari yang kaya. Intinya semua orang diperlakukan sama sebagai warga negara
Kita telah banyak kehilangan waktu untuk mengkonsolidasikan demokrasi menuju tingkat nilai peradabannya. Kita hanya membangun perangkat-perangkat keras sistem demokrasi (partai, pemilu, peradilan), tapi tidak mengembangkan perangkat lunaknya yaitu etika publik dan penghormatan individu.
Sesungguhnya, suara-suara bening untuk memajukan demokrasi telah jauh terhalau oleh kegaduhan politik kekuasaan yang ditabuh oleh ambisi-ambisi pragmatik. Inilah jebakan reformasi kita: bangunan politik elektoral tak bertumpu pada infrasruktur nilai.
Kekerasan berdemokrasi
Dalam studi John Keane, banyak kasus yang menjelaskan bahwa pemerintah demokratis justru melakukan kekerasan terhadap sebagian warganya. Kekerasan jenis itu disebut penegakan hukum dan aturan (law and order), perlindungan bagi kepentingan publik atau menjaga keamanan.
Bagi Keane, dimasyarakat sipil yang memiliki afinitas kuat atas demokrasi terdapat istilah baru untuk menjelaskan kekerasan, yakni “democratise violence” atau membuat kekerasan menjadi seakan-akan bagian dari demokrasi (Keane, 2004). Artinya kekerasan dalam demokrasi menjadi “demokratis” pada saat ia dilekatkan pada penanda seperti penegakan hukum dan aturan. Ini bukan semata-mata suatu bentuk kekerasan yang diinstitusikan, namun juga sekaligus dilegalkan.
Reklamasi dan Demokrasi
Hari-hari ini menjelang pelantikan Anies dan Sandi, kita dikejutkan dengan isu reklamasi, penghentian sementara reklamasi pada tahun 2016 lalu karena ditemukan berbagai pelanggaran aturan dan hukum akhirnya dilanjutkan lagi oleh pemerintah setelah merevisi beberapa regulasi. Padahal kita tahu bahwa sejak awal reklamasi dibuat hanya untuk menguntungkan pengembang dan menutup akses sosial ekonomi nelayan tradisional di sepanjang bibir pantai teluk Jakarta.
Selain di pusat-pusat kota yang semakin “bersih” dan tertib dari lalu lalang orang-orang kere dengan gedung-gedung pencakar langit, jalan-jalan bebas hambatan, sekarang pembersihan orang-orang kere hendak dilakukan di pinggiran kota Jakarta melalui proyek reklamasi.
Reklamasi hampir pasti memungkinkan lahirnya pusat-pusat bisnis dan perdagangan, kota-kota dan taman artifisial, serta hunian-hunian penjamin privalise yang semunya hanya bisa dikuasai orang-orang berduit.
Garis demarkasi makin hari semakin tegas membujur di Jakarta antara yang berduit dan yang tak berduit. Kontradiksi antara kebutuhan dan eksistensi kelas kakap ibu kota dengan kebutuhan dan penyingkiran orang-orang kelas teri semakin nyata.
Pada titik ini democratise violence sedang berlangsung dan akan semakin meluas. jika garis demarkasi itu terus digaris diatas Jakarta bukan tidak mungkin akan meluber kemana-mana. Dan sejujurnya cita-cita tentang demokrasi itu sekali lagi hanya narasi yang jauh dari esensi.
Mempertimbangkan opini publik
Ujian bagi pasangan Anies Sandi telah ada didepan mata, bahkan sebelum dilantik. Kepada pasangan ini diberikan dua pilihan antara membatalkan reklamasi seperti janji-janji saat kampanye, atau menuruti tekanan pengembang melalui tangan-tangan pemerintah pusat untuk melanjutkan reklamsi.
Pada titik ini penting bagi Anies Sandi untuk mendengarkan opini publik yang menolak reklamsi. Hasil survey Indo Barometer pada 2016 yang lalu menempatkan mayoritas publik sebesar 57,3 persen menilai proyek reklamasi merugikan warga Jakarta. Hanya 34,8 persen publik yang menilai proyek tersebut justru menguntungkan warga Jakarta, dan 8,0 persen publik menyatakan tidak tahu atau tidak jawab.
Mempertimbangkan suara mayoritas yang menolak reklamasi menunjukan bahwa ada penghormatan atas parameter demokrasi yang bertumpuh pada suara mayoritas. Namun jika bersikeras melanjutkan reklamasi maka akan membunuh demokrasi sebab opini publik yang menolak reklamasi telah diabaikan. Pada titik ini keadilan publik juga akan lenyap.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Oligarki dan Masalah yang Mengakar dalam Demokrasi Indonesia
Rabu, 21 Agustus 2019 20:39 WIBReklamasi Membunuh Demokrasi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler