Penurunan Usia Pensiun Hakim

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jikapun ada yang mempersoalkan kaitan "penurunan usia pensiun" ini dengan persoalan integritas, hal tersebut jauh dari relevan.

Binsar M. Gultom 

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Rencana penurunan usia pensiun para hakim, dari pengadilan tingkat pertama, banding, hingga kasasi, seperti diatur dalam Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim terkesan dipaksakan. Selain bisa disebut tak rasional, konsep penurunan usia tersebut dapat menimbulkan keresahan di kalangan hakim.

Aturan baru penurunan usia itu terdapat pada Pasal 52 ayat 2 huruf c RUU Jabatan Hakim usulan DPR. Pasal ini membatasi usia pensiun hakim tingkat pertama maksimal 60 tahun (sebelumnya 65 tahun), hakim tinggi maksimal 63 tahun (sebelumnya 67 tahun), dan hakim agung maksimal 65 tahun (sebelumnya 70 tahun). Selain itu, bagi para hakim akan diadakan periodisasi setiap lima tahun, yakni diseleksi dan dipilih kembali bersama Komisi Yudisial.

Yang aneh, pada Pasal 31 ayat 2 huruf e ditetapkan bahwa syarat menjadi hakim agung bagi hakim karier tingkat pertama adalah berusia 45-60 tahun. Adapun hakim dari jalur nonkarier tak diberi batasan usia. Ini jelas sangat berbahaya bagi tatanan sistem pengkaderan hakim yang profesional, yang pada akhirnya merugikan hak konstitusional para hakim karier yang tergabung dalam wadah Ikatan Hakim Indonesia.

Syarat usia calon hakim agung mustahil dipenuhi para hakim karier tingkat pertama. Sebab, untuk menjadi hakim agung, hakim karier harus lebih dulu menjadi hakim tinggi minimal selama tiga tahun, sesuai dengan Undang-Undang Mahkamah Agung. Dari fakta ini, juga perbandingan usia hakim di berbagai negara, sesungguhnya usia pensiun hakim pengadilan tingkat pertama adalah 65 tahun, hakim tingkat banding 67 tahun, dan hakim tingkat kasasi 70 tahun. Adapun usia rata-rata hakim pengadilan tingkat pertama 55-58 tahun.

Karena hakim secara spesifik mengadili perkara di pengadilan-yang memiliki ciri khusus dan berbeda dengan pegawai negeri sipil atau politikus-profesi hakim merupakan jabatan karier. Jabatan ini dimulai dari bawah hingga ke jenjang karier yang lebih tinggi-jabatan pemimpin sesuai dengan kelas pengadilan-tanpa "periodisasi". Periodisasi hanya berlaku bagi jabatan politis, bukan hakim. Jika hakim agung, misalnya, tidak mampu menjalankan kewajibannya karena sakit terus-menerus atau meninggal dunia, atau karena melanggar hukum hingga yang bersangkutan berstatus terdakwa dan dijatuhi pidana, secara mutatis mutandis yang bersangkutan dengan sendirinya harus berhenti sebagai hakim agung, sekalipun belum masuk usia pensiun.

Jikapun ada yang mempersoalkan kaitan "penurunan usia pensiun" ini dengan persoalan integritas, hal tersebut jauh dari relevan. Perihal integritas, serahkan kepada pribadi para hakim. Negara ini memiliki Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka yang bertugas mencegah dan menindak hakim yang melakukan pelanggaran etika serta tindak pidana. Dengan argumentasi inilah saya berpendapat tak perlu ada periodisasi. Jika periodisasi tetap dipaksakan terhadap profesi hakim, berarti pemerintah telah mengintervensi lembaga yudikatif-hal yang dilarang konstitusi. Sebagai perbandingan, usia hakim di Belanda untuk semua tingkat pengadilan maksimal 70 tahun. Adapun di Australia jabatan hakim malah bisa dipegang "seumur hidup", sepanjang kesehatannya memungkinkan.

Penurunan usia para hakim akan berimplikasi terhadap kualitas putusan hakim dan bakal mengancam independensi hakim dalam memutus perkara. Sebab, hampir setiap waktu akan dilakukan seleksi terhadap hakim di level terbawah hingga hakim agung untuk sekadar mengisi kuota hakim tanpa memperhatikan kualitas (mutu) dan profesionalitas hakim.

Jika DPR tetap memaksakan pasal periodisasi dalam RUU Jabatan Hakim, begitu RUU tersebut disahkan oleh pemerintah dan DPR, penulis akan mendorong Ikatan Hakim Indonesia meminta uji materi kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pasal yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat 1 menyangkut "hak untuk meningkatkan kualitas hidupnya", Pasal 28H ayat 2 mengenai "hak mendapat perlakuan khusus dan memperoleh kesempatan yang sama" dan Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 tentang "hak dan perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif".

Penulis berharap, dalam RUU Jabatan Hakim ini, DPR menitikberatkan pembahasan hak dan kewajiban para hakim sebagai pejabat negara yang selama ini terabaikan. Tak perlu membahas usia pensiun dan syarat-syarat menjadi hakim agung, hal yang sudah diatur dalam UU MA serta UU Peradilan Umum, Agama, Tata Usaha Negara, dan Militer.

Tulisan ini sudah dimuat di Koran Tempo edisi 21 Juni 2016

Bagikan Artikel Ini
img-content
Redaksi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua