Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Idul Adha dan Idul Qurban, Iman yang Melangkah dalam Kasih Persaudaraan
Jumat, 6 Juni 2025 08:41 WIB
Idul Adha dan Idul Qurban adalah perayaan yang menekankan keseimbangan antara dimensi spiritual dan sosial.
Oleh Anselmus Dore Woho Atasoge – Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Allah, Sang Mahapengasih dan Mahadekat, memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menjaga keseimbangan antara ibadah vertikal (hablum minallah) dan ibadah horizontal (hablum minannas). Kedua aspek ini adalah dua sisi dari satu realitas yang tak terpisahkan, menyatu dalam dialektika spiritual yang memperkaya jiwa dan membentuk solidaritas kemanusiaan. Dalam perayaan Idul Adha, ajaran kesetiaan kepada Allah dan pengorbanan demi kebaikan sesama menjadi renungan mendalam yang melintasi batas ruang dan waktu.
Qurban bukan sekadar menyembelih hewan lalu membagikannya, tetapi sebuah perjalanan spiritual menuju kedekatan dengan Allah. Dari akar kata qarib, yang berarti "dekat," qurban mengajarkan bahwa pengorbanan sejati adalah tentang keikhlasan, tentang memberi tanpa pamrih, tentang memahami bahwa segala yang kita miliki hanyalah titipan. Tradisi ini, yang juga dikenal sebagai udhiyah, adalah bentuk ketakwaan yang bukan hanya mengalir dalam darah hewan yang disembelih, tetapi juga dalam ketulusan hati mereka yang berbagi—membawa berkah, menguatkan iman, dan menanamkan rasa syukur dalam setiap langkah kehidupan.
Lebih dari sekadar persembahan, qurban adalah refleksi ketulusan. Di balik darah yang mengalir, tersimpan doa yang mengudara. Di balik pengorbanan yang nyata, ada keikhlasan yang menguatkan iman. Dalam ketaatan dan kepedulian sosial, seorang Muslim memahami bahwa harta bukanlah hak miliknya semata, melainkan titipan yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab.
Allah yang kita dekati melalui qurban bukan hanya Mahabesar (Akbar), tetapi juga Mahadekat (Akrab). Ia bukan hanya Tuhan yang menuntut penyembahan, tetapi Tuhan yang menawarkan kedekatan. Maka, Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan, melainkan perayaan spiritual yang mengajarkan bahwa keimanan sejati harus selalu beriringan dengan kepedulian terhadap sesama.
Dalam dimensi sosial, Idul Adha menjadi cermin bagi kehidupan yang harmonis. Islam bukanlah agama yang membangun tembok pemisah, tetapi agama yang menanam benih persaudaraan. Seorang Muslim tidak berjalan sendiri, melainkan berdampingan dengan yang lain, dalam perbedaan dan keberagaman.
Fethullah Gülen, seorang cendekiawan Muslim, dalam Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, menegaskan bahwa Islam adalah agama inklusif yang merangkul kemanusiaan. Islam mengajarkan cinta dan toleransi, bukan perpecahan dan diskriminasi. Dalam filosofi keislaman, manusia adalah khalifah di bumi—penjaga keseimbangan dan pembangun kemakmuran.
Al-Qur’an menggariskan prinsip kebersamaan dalam Surah Al-Hujurat (49:13):
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu."
Begitu pula dalam Surah Ali Imran (3:159), Islam mengajarkan bahwa kelembutan dan musyawarah adalah dasar kehidupan sosial yang damai—tanpa kekerasan, tanpa pemaksaan.
Persatuan yang sejati tidak lahir dari dogma yang mengekang kebebasan berpikir. Abdul Karim Soroush, seorang intelektual Muslim, dalam Reason, Freedom, and Democracy in Islam, menekankan bahwa otoritarianisme dalam agama adalah ancaman bagi keberagaman. Tafsir yang tunggal dan tidak terbuka terhadap perbedaan justru menjauhkan umat dari nilai Islam yang sejati.
Idul Adha dan Idul Qurban adalah gema dari ketulusan dan pengorbanan, bukan sekadar ritual, tetapi sebuah perjalanan menuju makna yang lebih dalam. Di dalamnya, iman diuji dalam keikhlasan, dan kasih diteguhkan dalam berbagi. Kesalehan bukan hanya milik hati yang tunduk kepada Allah, tetapi juga milik tangan yang memberi, milik langkah yang mendekati sesama dalam kehangatan persaudaraan. Seperti jejak Ibrahim yang tak ragu dalam taat, begitu pula kita diajak merelakan bukan hanya harta, tetapi ego, keangkuhan, dan segala yang membatasi cinta terhadap sesama.
Dalam setiap tetes darah yang jatuh, ada doa yang mengalun menuju langit. Dalam setiap daging yang terbagi, ada keberkahan yang mengalir dari tangan ke tangan. Idul Adha bukan sekadar perayaan, tetapi sebuah irama kehidupan yang mengajarkan bahwa iman yang sejati harus berwujud dalam aksi nyata—menguatkan yang lemah, menghidupkan yang redup, dan merangkul yang terasing. Semoga perayaan ini menjadi lantunan doa yang menembus batas, mengakar dalam sanubari, dan menyuburkan kebersamaan dalam cahaya keberkahan.
Selamat Hari Raya Idul Adha! Semoga setiap tetes pengorbanan menjadi hujan berkah yang menyuburkan hati, setiap keikhlasan menjadi cahaya yang menerangi langkah, dan setiap doa yang terucap mengalun lembut menuju langit, membawa kedamaian dan kebaikan yang abadi dalam hidup kita semua.***

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Idul Adha dan Idul Qurban, Iman yang Melangkah dalam Kasih Persaudaraan
Jumat, 6 Juni 2025 08:41 WIB
Laudato Si’ dan Kita, Secercah Harapan di Hari Lingkungan Hidup Sedunia
Kamis, 5 Juni 2025 09:29 WIBArtikel Terpopuler