Selamat Hari Jadi Bogor, Boleh Kami Kritik Sebentar?
Selasa, 3 Juni 2025 13:34 WIB
Catatan kritis tentang luka pembangunan dan kerusakan lingkungan di Kabupaten Bogor di tengah perayaan ulang tahunnya yang ke-543.
***
Kabupaten Bogor merayakan hari jadinya yang ke-543. Angka yang besar, usia yang panjang, lebih dari cukup untuk menagih kedewasaan dalam tata kelola dan keadilan pembangunan. Namun, di tengah gegap gempita perayaan, spanduk-spanduk warna-warni, dan pidato pejabat yang berseliweran di ruang-ruang publik, ada kenyataan lain yang mengendap di jalanan berlubang, di bukit-bukit yang dikeruk, dan di sawah-sawah yang semakin kehilangan ruang. Perayaan menjadi paradoks, karena di saat sebagian merayakan kemajuan, sebagian lain justru masih berjuang untuk hak-hak dasar yang tak kunjung terpenuhi.
Lihatlah jalan kabupaten yang membentang di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga. Sebuah akses yang seharusnya menjadi urat nadi mobilitas, penggerak ekonomi warga, dan jendela peradaban desa. Hari ini, jalan itu justru menjadi pengingat betapa timpangnya pembangunan. Lubang-lubang menganga tak ubahnya jebakan celaka bagi anak-anak sekolah, pengendara motor, hingga ibu-ibu. Beberapa waktu lalu, warga bahkan menyebar ikan di lubang jalan sebagai bentuk protes, aksi yang barangkali terlihat lucu di media sosial, tetapi mungkin lahir dari keresahan yang nyata. Camat setempat terpantau sudah tiga kali meninjau, dan proposal demi proposal diajukan dalam musrembang. Namun semua itu, hingga hari ini, hanya menjadi dokumen-dokumen dingin di meja birokrasi yang macet.
Jalan tersebut merupakan aset Pemerintah Kabupaten Bogor, dan kegagalannya dalam merespon harapan soal perbaikan yang hingga hari ini tak pernah terealisasikan mencerminkan persoalan yang lebih dalam daripada sekadar tambal sulam aspal. Ia menunjukkan sebuah pola: pembangunan tidak menjangkau ke pinggiran. Dana mengalir deras ke pusat-pusat wisata, proyek-proyek mercusuar, dan jalan-jalan utama yang dilewati tamu, sementara wilayah yang lebih sepi, desa-desa yang tenang dan produktif, justru dibiarkan menganga, becek, dan terabaikan. Bila cinta kepada tanah kelahiran diwujudkan dalam bentuk perbaikan berkelanjutan dan keadilan infrastruktur, maka sudah sepantasnya dipertanyakan: mengapa cinta itu terasa tidak sampai ke ujung-ujung desa?
Jalan rusak pun bukanlah satu-satunya luka yang masih menganga. Kabupaten Bogor hari ini sedang berdiri di atas tanah yang terus diperebutkan dan dieksploitasi. Di banyak titik, terutama di wilayah barat dan selatan, tambang-tambang liar terus mencakar tubuh ibu bumi. Bukit-bukit dikuliti, sungai-sungai dikotori, dan jalan-jalan desa hancur akibat lalu lalang truk-truk tambang yang mengangkut hasil perut bumi entah ke mana. Ironisnya, di balik kegiatan itu terdapat celah hukum, pembiaran struktural, bahkan keterlibatan oknum aparat. Tambang-tambang itu tak hanya menggerus alam, tetapi juga menenggelamkan harapan akan lingkungan yang sehat, air bersih, dan udara yang layak dihirup.
Data menunjukkan bahwa setiap tahun, ratusan titik rawan longsor muncul di kabupaten ini. Banyak di antaranya berkorelasi langsung dengan alih fungsi lahan yang tak terkendali, perambahan hutan, dan kegiatan pertambangan. Di tengah gemuruh narasi pembangunan, mudah sekali melupakan bahwa pembangunan sejati adalah yang mengakar dan menjaga alam, bukan yang merampasnya.
Kabupaten Bogor memang terus berubah. Gedung-gedung bertambah, investasi dan arus wisata tak pernah sepi. Tapi perubahan ini tampaknya terlalu sering berpihak pada pemilik modal dan kepentingan jangka pendek. Pembangunan kehilangan roh-nya ketika ia tak lagi melihat manusia dan alam sebagai yang utama. Jalan rusak di Dramaga, tambang liar di Rumpin, konflik lahan di Parung, Siswa tewas karena truk tambang di Parungpanjang, semua itu bukan sekadar daftar masalah teknis, tapi gambaran bahwa arah pembangunan sedang kehilangan kompas moral.
Pembangunan bukan musuh. Tapi pembangunan tanpa keberpihakan pada lingkungan dan rakyat kecil adalah pembangunan yang pincang, dan pada akhirnya akan tumbang. Tak ada yang diharapkan lebih besar selain keadilan: jalan yang layak, bukit yang tak dilubangi, tanah yang tak dirampas, dan alam yang tetap menjadi warisan untuk anak-anak kelak.
Kritik ini adalah bentuk cinta. Cinta yang memilih bersuara daripada tenggelam dalam diam. Kabupaten Bogor bukan milik segelintir elit dan birokrat, tetapi milik rakyat yang hidup dari sawah, sungai, dan jalan setapak yang setiap hari mereka lewati. Maka, dalam usia yang sudah mencapai lima abad lebih ini, satu hal yang paling mendesak: jangan lupakan yang di pinggir. Jangan abaikan luka yang menganga.
Bogor, tanah kelahiran ini, terlalu berharga untuk dibiarkan hancur atas nama pembangunan. Tanah ini layak dicintai dengan tindakan nyata, bukan sekadar slogan dan spanduk perayaan. Dan jika cinta itu benar adanya, maka sudah saatnya suara dari sudut-sudut kabupaten ini didengar lebih dekat, lebih jujur. Karena diam adalah bentuk protes yang paling menyakitkan, dan hari ini suara itu memilih untuk tidak lagi diam.

Penulis
3 Pengikut

Selamat Hari Jadi Bogor, Boleh Kami Kritik Sebentar?
Selasa, 3 Juni 2025 13:34 WIB
Pak Prabowo, Apakah Statistik Itu Bikin Kenyang?
Sabtu, 17 Mei 2025 18:49 WIBArtikel Terpopuler