Kebijakan Barak Militer: Solusi atau Mencederai Sistem Pendidikan
Jumat, 30 Mei 2025 20:10 WIB
Apakah kekerasan bisa diselesaikan dengan kekerasan juga?
***
SEJAK Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menerapkan kebijakan pengiriman siswa “nakal” ke barak militer, masyarakat seperti mendapat angin segar atas permasalahan kenakalan remaja yang tidak ada hentinya. Harapan berkurangnya “kenakalan” siswa, meningkatkan kedisipilanan dan moralitas, bukan lagi sebuah utopia. Harapan itu semakin nyata, ketika siswa yang dibina di barak militer menjadi petugas upacara Hari Kebangkitan Nasional.
Sekilas kebijakan pengiriman siswa ke barak militer terlihat efektif menekan “kenakalan” siswa. Masyarakat dibuat kagum melihat hasil atas kebijakan tersebut melalui konten-konten di kanal media sosial pribadi Dedi Mulyadi, atau potongan video yang seliweran di media sosial oleh warganet. Tetapi apakah kebijakan tersebut merupakan jalan keluar permasalahan atau malah mencederai sistem pendidikan kita?
Pergeseran Perspektif Sistem Pendidikan Nasional
Pemberlakuan kebijakan pengiriman siswa “nakal” ke barak militer seakan menunjukkan pesimistis pemerintah provinsi Jawa Barat terhadap sistem pembinaan siswa di sekolah. Program-program di sekolah seperti dipandang tidak memiliki dampak signifikan untuk menanggulangi “kenakalan” dan tidak efesien pembentukan karakter siswa. Alhasil permasalahan “kenakalan” siswa yang seharus bertumpu pada tenaga pendidik, kini diambil alih negara.
Kebijakan ini pula memicu pandangan miring bahwa tenaga-tenaga pendidik tidak memiliki kompetensi profesi. Tenaga pendidik dianggap tidak sanggup dalam menghadapi siswa yang dianggap “nakal”. Sebab itu, pembinaan karakter yang semula di dalam lingkugan sekolah, kini migrasi ke barak militer. Pembinaan karakter yang semestinya oleh tenaga kependidikan, beralih dibina oleh tentara.
Anggapan tersebut sekaligus melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan karakter di sekolah. Masyarakat jauh lebih mempercayai barak militer dibanding dengan ruang-ruang kelas. Barak militer dinilai tepat sasaran dan praktis membentuk karakter siswa dalam 1 bulan, dibanding dengan tiga tahun bersekolah. Lantas jika sudah begini apakah peran tenaga pendidik untuk membina karakter tidak lagi diperlukan?
Selain itu, kebijakan tersebut bertolak bekalang dengan prinsip pendidikan diferensiasi. Bertahun-tahun tenaga pendidik belajar dan menerapkan diferensiasi pada siswa, memahami bahwa setiap siswa memiliki latar belakang yang beragam, dan penangannya pun tidak bisa disama-ratakan. Sedangkan kebijakan pengiriman siswa “nakal” ke barak tidak mengklasifikasikan latar belakang baik secara pengaruh internal atau eksternal siswa. Seluruh “kenakalan” siswa dipukul rata memalui satu pintu, yaitu pendidikan ala militer. Apakah kekerasan bisa diselesaikan dengan kekerasan juga?
Tenaga pendidik di sekolah bukanlah orang-orang tidak mengerti tentang penanganan siswa, dan di setiap sekolah pun memiliki regulasi penanganan kenakalan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kultur setempat. Kendati penganganan “kenakalan” siswa di sekolah dianggap lamban, tetapi segalanya selalu diupayakan tidak merampas hak anak. Tenaga pendidik di sekolah sangat hati-hati dan terukur dalam penanganan siswa “nakal”, jangan sampai penanganan yang dilakukan menambah luka psikologis atau traumatik yang lama. Terlihat tidak praktis, tapi selalu dilakukan secara masif dan konstruktif.
Daripada mengirim peserta didik ke barak militer, lebih baik memberikan hak penuh sekolah untuk memberikan pembinaan. Sekolah dengan sistem pendidikan saat ini memiliki kemampuan mengatur ulang regulasi pembinaan siswa “nakal” sesuai dengan arah pendidikan pemerintah provinsi. Hal ini dapat mengembalikan marwah dunia pendidikan kita yang berpegang teguh pada falsafah menusiakan manusia.
Pemerintah provinsi bisa memenentukan bagaimana sistem pembinaan siswa “nakal” secara seragam dan merata, baik secara militer ataupun tidak. Atau memberikan keluasaan sekolah mengatur sistem pembinaan sesuai dengan kebutuhan siswa. Sekolah dapat melakukan pelbagai kolaborasi dengan dinas-dinas terkait pembinaan karakter. Tentunya tenaga pendidik perlu mendapatkan pelatihan atau sosialiasasi dalam pemberian membina siswa “nakal” sesuai rambu-rambu pemerintah.
Dalam pemberian wewenang pembinaan pada sekolah, juga tidak luput dengan pemberian perlindungan hukum tenaga pendidik. Tidak sedikit tenaga pendidik kita berakhir di jeruji besi setelah memberikan pembinaan karakter. Ini bukan lagi rahasia umum, atau bahkan menjadi normalisasi. Perlindungan hukum tenaga pendidik ini sanagt diperlukan untuk menjaga integritas tenaga pendidik dan supaya tenaga pendidik kita tidak dibayang-bayangi treralis besi.
Akses media sosial yang kian deras tidak menutup kemungkinan penggiringan opini negatif atas pembinaan karakter di sekolah. Dalam konten-konten media sosial kita seringkali melihat penggiringan opini negatif terhadap pendidik. Akibatnya tenaga pendidik mendapat kekerasan verbal di kolom-kolom komentar. Hal tersebut berdampak pada gangguan psikoogis tenaga pendidik dan mempengaruhi proses pembinaan karakter siswa.
Solusi selain barak adalah memperbanyak kuota guru Bimbingan Konseling(BK) setiap sekolah. Idealnya dalam satu sekolah rasio antara guru BK dengan siswa ialah 1:150 atau bahkan paling idelanya 1:10. Kebutuhan guru BK yang tercukupi dapat mempermudah melakukan pendekatan terhadap berbagai latar belakang permasalahan siswa, menentukan perlakukan yang tepat sasaran dan berkelanjutan dan tidak kalah pentingnya yaitu memperbaiki permasalahan siswa melalui pemulihan psikologis. Pendeketan yang humanis jauh lebih mudah menggali persoalan yang beragam, jika dibanding dengan pendekatan militer.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kebijakan Barak Militer: Solusi atau Mencederai Sistem Pendidikan
Jumat, 30 Mei 2025 20:10 WIB
Waspada! Jangan Rusak Kesenangan Anda belanja Online akibat Salah Pilih Toko di Marketplace
Kamis, 13 Juni 2024 18:34 WIBArtikel Terpopuler