Kisah Sepatu Bolong

Jumat, 23 Mei 2025 15:05 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Laki-laki di Tengah Malam
Iklan

Cerpen ini berkisah tentang seorang laki-laki muda berbekal sepatu loaknya yang setia berjuang untuk menaklukan perlombaan lari.

***

Aku menatap sepatuku yang kini terlihat tersenyum, bukan karena desain yang unik atau sepatu yang baru keluar dari kotak, tetapi karena solnya robek. Sebenarnya robekannya tidak terlalu besar, tetapi dapat memperlihatkan kaus kaki yang tak kalah malang. Banyak yang tanya mengapa aku tak ganti sepatu saja? tentu saja karena menurutku sepatuku ini masih layak pakai. Bagiku sebelum sepatu ini benar-benar rusak dan tak layak pakai pantang untuk membeli yang baru. Yaa, tapi alasan sebenarnya aku masih sayang dengan uangku. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di depanku kini, terpampang papan pengumuman bertuliskan “Juara Lomba Lari Antar Kampus” di situ tertulis namaku Dio Pratama. Aku tetawa, mengingat berapa absurdnya perjalanan menuju momen ini. Siapa sangka, sepatu ini menjadi saksi dari perjuangan yang penuh tawa dan air mata?

Semuanya bermula sebulan lalu, saat aku, Dio, mahasiswa semester lima yang lebih sering nongkrong di kantin ketimbang hadir di kelas, nekat mendaftar lomba lari antarfakultas. Aku mendaftar bukan karena jago olahraga atau atletis, jauh dari itu. Aku hanya ingin membuktikan pada Rina, teman sekelasku yang selalu nyinyir, bahwa aku “si tukang becanda” yang kerjaannya nongkrong di kantin dan kalaupun masuk kelas hanya ketawa ketiwi.

Rina bilang “Dio, mending urus IPK-mu ketimbang ikut lomba lari, sepatumu aja kayak pengemis.”

Aku cuma nyengir, tak merasa sakit hati karena yang dikatakannya memang fakta, tapi di samping itu, ambisiku membara. Aku ingin membuktikan bahwa aku juga bisa serius dan punya ambisi. Salah satu ambisinya supaya Rina melirik aku.

Hari perlombaan tiba, aku berdiri di garis start, dikelilingi peserta yang lain dengan. Mereka menggunakan sepatu terbaik yang mereka punya. Aku? cuma pakai sepatu loak dengan sol yang sudah sedikit bolong. Saat peluit berbunyi, aku melesat. Di kilometer kedua, sepatuku mulai terlihat terengah-engah. Solnya benar-benar lepas, penonton tertawa, dan Rina yang kebentulan jadi panitia berteriak “Dio pulang ajalah!” Aku membalasnya dengan senyum kecil dan mengacungkan jempol sambil berlari, meski kakiku mulai kesemutan.

Di kilometer kelima. Aku berada di posisi belakang, napas ngos-ngosan, dan tiba-tiba aku terjatuh karena tersandung kakiku sendiri. Yaa, sepatuku kini sudah benar-benar rusak dan tidak dapat dipakai. Di saat itu aku hampir menyerah.“Rina benar, aku cuma bisa becanda,” batinku. Tapi, di tengah rasa keputusaan aku teringat Rina, senyumnya yang manis dan rambutnya yang panjang membuatku ingin membuktikan bahwa aku benar-benar bisa serius. Aku mulai bangkit lagi dan mengabaikan tawa penonton, meski aku tertinggal jauh dari peserta yang lain.

Di garis finish, aku bukan juara satu. Bahkan, aku finis di urutan pertama dari belakang. Tapi saat aku memasuki garis finish, sorak penonton lebih kencang dari yang diterima juara pertama. Rina mendekat, wajahnya campur aduk antara kagum dan kesal “Dio, kamu gila ya! Tapi aku salut, selamat walaupun gak dapat juara 1.” Aku hanya tertawa kecil dan sebenarnya aku juga malu “lihat kan aku juga bisa serius, panggilan untuk Dio si tukang becanda sepertinya udah nggak berlaku lagi mulai hari ini.” Ujarku dengan senyum puas.

Rina mengangguk, sorot matanya melembut. “Iya, kali ini kamu benar-benar buat aku kaget. Aku pikir kamu bakal nyerah di kilometer lima.”

“Hampir” ujarku. Tapi entah kenapa aku nggak mau menyerah begitu aja. Salah satu alasan aku nggak nyerah juga karena kamu.”Aku mengedipkan mata mencoba mencairkan suasana.

Rina tertawa kecil. “Alah modus, tapi kali ini aku benar-benar kagum sama kamu.”

Aku hanya tersenyum mendengar Rina memujiku.

Beberapa hari kemudian, terlihat papan pengumuman pemenang lomba lari antarkampus, dan di sana tertulis nama ku sebagai pemenang peserta Paling Bersemangat. Hadiahnya? sepatu lari baru. Aku tertawa, membayangkan sepatuku yang kini pensiun setelah perjuangan panjang.

Setelah menyelesaikan kelas hari ini, aku pulang ke kos, melemparkan diri ke atas kasur dan mengingat kembali bagaimana aku mengikuti lomba beberapa hari yang lalu. Sebenarnya, alasanku ikut lomba itu hanya satu yaitu Rina.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Aminah Lestari

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kisah Sepatu Bolong

Jumat, 23 Mei 2025 15:05 WIB
img-content

Bayangan dari Hari Esok

Minggu, 11 Mei 2025 06:24 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content

Fragmen

Sabtu, 7 Juni 2025 15:29 WIB

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua