Bayangan dari Hari Esok
Minggu, 11 Mei 2025 06:24 WIB
Cerpen ini mengisahkan seorang perempuan muda yang memiliki kemampuan aneh yang membuat mimpi buruknya menjadi kenyataan
Bayangan dari Hari Esok
Setiap mimpi buruk yang aku alami menjadi kenyataan, pertama aku memimpikan rumah ku kemalingan, esok paginya memang benar kemalingan. Kedua, aku bermimpi nenek ku meninggal, ternyata mimpi itu benar. Ketiga, aku bermimpi menabrak orang, dan lagi-lagi itu ternyata benar. Dulu setiap kali memimpikan hal buruk, aku tidak akan masuk sekolah dengan alasan sakit karena mimpi buruk itu seperti kutukan bagi diriku. Namun, lambat laun kini sudah mulai terbiasa dan menerima kemampuan tersebut. Anehnya hanya mimpi buruk saja yang menjadi nyata, mimpi yang membahagiakan tidak menjadi nyata.
“Aneh hanya yang buruk saja terjadi, sedangkan yang baik tidak?” Tanyaku heran.
Aku tak tahu kemampuan apa yang aku miliki, yang jelas aku memahami kemampuan ku ini saat aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Awalnya aku mengira setiap kejadian yang terjadi hanya kebetulan saja, namun setelah berulangkali terjadi mana mungkin kejadian seperti itu disebut kebetulan. Kemampuan ini aku rahasiakan dari kedua orang tuaku dan orang-orang disekitar, aku takut jika aku bercerita mereka akan menganggapku orang gila.
Hari ini adalah hari pertama ku masuk kerja, setelah lulus dari Universitas dan beberapa bulan nganggur, akhirnya aku diterima kerja disebuah perusahaan berita yang cukup terkenal. Sebelum berangkat aku menyisir rambut yang panjangnya sebahu, memakai bedak, memoleskan lipstick dan blush on agar tidak terlihat pucat tak lupa pula memakai layard ID card yang bertuliskan nama Embun. Semalam aku tidak memimpikan kejadian aneh yang akan menimpaku dihari pertama kerjaku, jadi aku merasa akan baik-baik saja.
Dengan langkah yang sedikit gugup, Embun memasuki lobi kantor berita yang megah. Aroma kertas bercampur wangi kopi menyeruak, suara keyboard dan printer yang menciptakan suasana dunia jurnalistik. Beberapa karyawan tampak lalu lalang dengan wajah serius membawa tumpukan berkas. Aku mencoba bersikap tenang, meskipun jantungku berdebar lebih kencang dari pada biasanya. Seorang lelaki dengan senyum ramah menghampiriku.
“Selamat pagi Anda Embun ya? Selamat datang di tim kami. Saya Jonny dari bagian personalia. Mari saya antar ke meja dan memperkenalkan diri dengan beberapa rekan kerja.”
Aku akhirnya dapat bernapas lega, sambutan yang hangat ini sedikit meredakan rasa gugupku. Aku mengikuti Jonny menyusuri lorong-lorong kantor yang dipenuhi dengan foto-foto berita utama dan penghargaan yang diterima perusahaan. Meja kerjaku ternyata berada di sebuah ruangan yang cukup ramai, diisi oleh beberapa orang yang tampak sibuk di depan computer masing-masing.
“Ini meja anda Embun,” ujar Jonny sambil menunjuk sebuah meja kosong yang sudah dilengkap dengan komputer dan alat tulis. “Nanti aka nada Mbak Riris yang akan membantu anda di awal-awal.
Tak lama setelah itu, seorang wanita yang kira-kira berumur 30-an dengan rambut dicepol rapi menghampiriku dengan senyum yang terukir di wajahnya. “Selamat pagi, saya Riris sedang bertemu dengan anda, semoga kita bisa menjadi rekan yang baik. Jangan sungkan bertanya kalau ada yang bingung.”
“Pagi juga Mbak Riris, saya Embun. Mohon bantuan untuk kedepannya.”
Melihat jam di sudut layar computer sudah menunjukkan pukul 5 sore, aku merasakan hiruk pikuk di dalam kantor semakin menjadi, suara derap langkah kaki, kursi bergeser, dan volume keyboard yang mulai melambat. Sebagain besar karyawan bersiap untuk pulang dan tentu saja diriku yang sudah tak sabar untuk segera memeluk kasur. Aku akhirnya dapat bernapas lega karena tidak ada kejadian buruk, tidak ada mimpi buruk semuanya berjalan dengan lancar.
Hari ini adalah hari keduaku bekerja, aku mengingat-ingat tentang apa yang ku mimpikan semalam. Namun, setelah diingat-ingat aku tidak memimpikan hal buruk semalam. Seperti kemarin, kantor hari ini cukup sibuk. Menjelang sore, ketika sedang fokus membaca beberapa arsip berita di komputer, tiba-tiba aku merasakan sensasi aneh. Bukan seperti kilatan mimpi buruk yang biasanya datang tiba-tiba, melainkan seperti gelombang dingin yang menusuk tulang.
“Aneh, mengapa perasaan ini muncul lagi? semalam sepeti aku memimpikan kejadian buruk sama sekali.”
“Embun, kelihatannya kamu tegang banget, ini kopi biar rileks.” Mbak Riris nyodorkan secangkir kopi kepadaku.
“Terima kasih Mbak, kayaknya aku lagi kurang enak badan.” ucapku.
Setelah meminum beberapa teguk kopi aku kembali melanjutkan pekerjaan, namun perasaan itu semakin kuat. Aku mulai mengingat-ingat mimpi semalam
“Aku yakin tidak ada mimpi buruk semalam, tapi perasaan ini membuatku gelisah.”
Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat kemarin tidak terjadi hal buruk tapi hari ini seperti akan ada sesuatu hal terjadi, tapi tak tau kejadian apa yang akan aku alami. Perasaan gelisah itu semakin intens, kepala terasa pening dan pandanganku kabur. Mbak Riris yang menyadari perubahan ekspresi wajahku tampak panic dan kembali bertanya dengan nada khawatir “Embun, kamu pucat banget, yakin gak kenapa-kenapa?
Aku menggeleng pelan mencoba tersenyum meskipun bibirku terasa kaku
“Aku baik-baik aja Mbak, mungkin cuma kecapean dan kurang tidur aja.” Namun, sebenarnya dalam hati aku merasakan firasat buruk yang semakin kuat. Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengatur kembali irama jantungku yang tidak beraturan. Setelah kembali normal, aku memejamkan mata sejanak, mencoba nepis perasaan kegelisahan tadi “ini hanya perasaan ku saja, tidak akan terjadi hal buruk.” Aku terus berusaha meyakinkan diriku.
Ketika aku membuka mata, pandanganku tertuju pada layar handphone yang tergeletak di atas meja. Saat ku lihat banyak sekali panggilan masuk dari Ayahku. Jantungku kembali berdebar kencang dan napas ku mulai tak beraturan, biasanya Ayah tidak menelponku disaat jam kerja kecuali ada hal mendesak yang ingin disampaikan.
Dengan tangan gemetar aku menelpon kembali Ayahku. Nada sambung terdengar begitu lama meskipun hanya beberapa detik saja. Suara Ayah yang terdengar gemetar mengisyaratkan telah terjadi sesuatu.
“Ayah, ada apa?” tanyaku dengan suara gemetar
“Embun, Ibu…ibumu meninggal kecelakaan.”Napasku tercekat ditenggorokan. Dunia di sekitarku terasa runtuh. Rasa gelisah yang menghampiriku tadi menjadi kenyataan. Air mata langsung membanjiri pipiku, bergegaslah aku pulang.
Setelah beberapa saat menenangkan diri, akhirnya aku menyadari bahwa tidak semua hal yang kurasakan akan benar-benar terjadi. Firasat itu memang kuat, mengingatkan pada kemampuan anehku. Namun, kehilangan Ibu adalah kenyataan pahit yang datang tanpa mimpi sebagai peringatan. Mungkin selama ini aku hanya terpaku pada mimpi buruk.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kisah Sepatu Bolong
Jumat, 23 Mei 2025 15:05 WIB
Bayangan dari Hari Esok
Minggu, 11 Mei 2025 06:24 WIBArtikel Terpopuler