Pembelajar di Maiyah. Suluk Kebudayaan Cinta. Kangen Desa. Bukan Orang Baik. Bajingan. Pensiunan Aktivis. Menulis Buku. Mendirikan SURAU.
Prabowo: Menghadapi Badai Berbagai Penjuru Tanpa Para Wali
Kamis, 22 Mei 2025 09:59 WIB
Transisi kekuasaan yang disertai para ‘Wali’ dimungkinkan proses berjalan tanpa guncangan besar.
Oleh: Muhammad Yudha IF
Pertemuan Prabowo Subianto dengan sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai figur oposisi menimbulkan tafsir yang lebih dalam daripada sekadar isyarat persatuan nasional. Di tengah menyongsong semester awal kekuasaan, langkah Prabowo justru menyiratkan kekhawatiran: bahwa sesuatu sedang ia persiapkan, atau justru sedang ia antisipasi. Dan seperti banyak hal dalam politik, yang tak diucapkan justru lebih penting dari yang diumumkan.
Banyak yang menafsirkan pertemuan itu sebagai strategi politik rangkulan. Namun pertanyaannya sederhana: mengapa sekarang? Dan, untuk apa?
Tidak ada pengumuman resmi, tidak ada kesepakatan terbuka. Bahkan kelompok pendukung Prabowo sendiri tidak membaca sesuatu yang monumental dari pertemuan itu. Yang muncul justru spekulasi. Adakah agenda yang tidak bisa dibicarakan di ruang publik? Atau, apakah ini pertanda bahwa Prabowo sedang mempertimbangkan jarak dari sosok kunci di lingkaran kekuasaan saat ini—yang juga alasan dibalik suara oposisi para tokoh, yaitu “J”?
Ada dua dugaan besar yang muncul. Pertama, bahwa Prabowo meminta kepada tokoh-tokoh tersebut untuk mulai menurunkan tensi kritik terhadap “J” demi stabilitas politik. Untuk berhenti meneruskan tagar Adili “J”. Kedua, bahwa Prabowo tengah menyusun peta jalan jika ia memilih jalur independen, memisahkan diri dari bayang-bayang kekuasaan sebelumnya.
Kedua dugaan ini menunjukkan satu hal: ada potensi pergeseran besar dalam peta kekuasaan, dan Prabowo tampaknya sedang menyiapkan landasan sebelum pesawat politiknya lepas dari orbit yang selama ini melingkupinya.
**
Langkah ini punya jejak panjang dalam sejarah politik Nusantara. Saat Majapahit runtuh dan Demak bangkit, proses transisinya tak didorong oleh kekerasan, melainkan oleh kebijaksanaan para Wali. Para Wali menjembatani perubahan zaman dengan martabat. Demikian pula saat Demak memberi jalan bagi Mataram Islam, kembali ditemani oleh peran para Wali.
Tradisi ini berulang pada Mei 1998. Ketika Presiden Soeharto menghadapi tekanan untuk mundur, tidak hanya menghadapi krisis dan kerusuhan. Di balik layar, lima tokoh—Emha Ainun Nadjib, Nurcholish Madjid, dkk.—mengirimkan surat berisi tawaran jalan keluar yang berjudul “Semuanya Harus Berakhir Dengan Baik (Husnul Khatimah). Soeharto menerima mereka saat sudah menjadi sembilan orang, mendengar langsung, dan hanya meminta satu hal: jaminan bahwa jika ia turun, Indonesia tidak jatuh ke dalam kekacauan yang lebih parah. Dan setelah ada kepastian itu, ia pun mundur. Transisi kekuasaan yang dramatis itu berlangsung kondusif, bukan hanya karena gerakan massa, tapi juga karena kehadiran para “Wali” yang menjadi jembatan.
**
Yang menarik, peran para “Wali” dalam sejarah transisi kekuasaan Indonesia ini bukan sekadar simbol. Mereka adalah representasi dari suara publik, sekaligus pemilik kredibilitas moral yang mampu menenangkan kegaduhan politik. Bukan tokoh partai, bukan elit dagang, apalagi sekadar buzzer politik. Mereka adalah figur yang dipercaya lintas kelompok, baik oleh masyarakat akar rumput maupun elite politik. Peran ini sangat menentukan, karena kekuasaan tak hanya membutuhkan kekuatan struktural, tapi juga restu alam dan sosial.
Transisi yang disertai para “Wali” memungkinkan proses berjalan tanpa guncangan besar. Seperti pada saat setelah Suharto lengser, apakah ada yang mendemo ke rumah Suharto? Apakah Suharto diburu? Apakah Suharto kabur ke luar negeri? Menurut informasi, esok setelah lengser, Suharto momong cucu dan menyiram tanaman. Namun bisa juga dilihat bagaimana kisah presiden yang lengser tanpa ditemani “Wali”. Ini bukan menyatakan Suharto lebih baik, tapi fokus pada bagaimana para “Wali” ini mendinginkan keadaan.
Pertanyaannya kini: jika Prabowo memang akan mengambil langkah besar dalam relasi kuasa yang ada hari ini, kepada siapa ia bersandar? Siapa yang akan menjamin bahwa setiap keputusan politiknya tidak akan memicu gejolak baru? Jika Suharto patuh kepada sembilan orang “Wali” yang menjadi simbol pendinginan krisis, kepada siapa Prabowo akan bersandar ketika badai datang?
Dalam lanskap politik saat ini, tampaknya sosok yang memiliki otoritas moral dan legitimasi publik yang besar tidak digubris oleh Prabowo dan lingkaran kekuasaannya. Entah karena alasan apa, yang jelas Prabowo sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, tampak berdiri sendirian di tengah panggung, dengan banyak kekuatan berputar di sekelilingnya, tanpa penopang simbolik yang bisa menjamin stabilitas jika keputusan sulit harus diambil.
Yang mengitari Prabowo kini lebih banyak adalah loyalis politik, teknokrat, dan elite partai. Tidak tampak figur simbolik yang punya kemampuan mendinginkan suhu. Seorang presiden tidak cukup hanya dikelilingi penasihat, tetapi juga harus ditemani penjaga akal sehat. Tanpa mereka, politik bisa kehilangan arah, dan sejarah akan mencatatnya sebagai kegagapan.
Inilah beban tersembunyi Prabowo hari ini: bukan sekadar mengurus kabinet atau menjaga stabilitas politik, melainkan menyiapkan infrastruktur moral jika nanti badai datang. Politik bukan hanya soal naik, tapi juga bagaimana turun dengan kepala tegak dan tanpa meninggalkan krisis. Dan untuk itu, seorang pemimpin tak cukup dikelilingi loyalis. Ia butuh “Wali”.
Jika tidak, Prabowo bisa saja menjadi presiden secara formal, tapi berjalan sendiri di tengah kerapuhan legitimasi. Sejarah Indonesia telah mengajarkan: pemimpin yang kehilangan jembatan simbolik akan mudah goyah ketika krisis datang. Ia bisa menang dalam pemilu, tapi kalah dalam cinta dan ingatan kolektif bangsa.
Hari ini, Prabowo mungkin tidak sedang berada di tengah krisis seperti 1998. Tapi jika ia tidak segera membangun jembatan ke arah publik dan ke arah nurani kolektif bangsa, maka ia akan menghadapi risiko besar: menjadi presiden tanpa penjaga malam.
Ini bukan tentang Prabowo harus dijaga atau presiden harus dimuliakan—karena justru presiden-lah yang harusnya memikirkan bagaimana melindungi rakyat. Tapi ini tentang nasib bangsa kemudian. Presiden tidak boleh salah langkah.
Meskipun, para ‘wali’ sebenarnya sudah mengingatkan jauh hari tentang situasi hari ini.
Media daring: surauindonesia.wordpress.com
1 Pengikut
Saatnya Orang Batak yang Jadi Presiden; Jika Putus Asa Mending Tumbuhkan Harapan
Senin, 2 Juni 2025 16:02 WIB
Berita Pilihan


