Pembelajar di Maiyah. Suluk Kebudayaan Cinta. Kangen Desa. Bukan Orang Baik. Bajingan. Pensiunan Aktivis. Menulis Buku. Mendirikan SURAU.

Pemerintah Pentingkan Chairlift Ketimbang Bangun Jembatan di Daerah Terpencil

Sabtu, 31 Mei 2025 11:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi ironi kebangsaan.
Iklan

Prabowo memilih pasang chairlift di situs Borobudur melayani diplomasi ketimbang bangun jembatan untuk guru dan murid di daerah terpencil.

***

Di negeri yang gemah ripah loh jinawi, tempat kekayaan alam tumpah ruah dari perut bumi hingga pucuk daun, ada sekelompok orang yang harus bertaruh nyawa menyeberangi jembatan reyot demi selembar soal ujian. Mereka bukan penambang emas ilegal atau penyelundup narkoba. Mereka adalah guru—profesi yang di seluruh dunia ditempatkan pada level kemuliaan.

Di negeri ini  guru digelari “pahlawan tanpa tanda jasa”. Di tanah yang diwarisi dari semangat gotong royong dan Pancasila, guru harus berpaut pada tali tambang, meniti papan lapuk di atas arus sungai, hanya demi kewajiban yang tak pernah mereka khianati.

Itu terjadi di Merangin, Jambi. Para guru SDN 117 Desa Limbur mempertaruhkan keselamatan di atas jembatan gantung yang bolong dan separuh runtuh, demi membawa soal ujian. Bukan karena mereka digaji besar, bukan pula karena diberikan fasilitas lengkap. Mereka hanya ingin murid-murid mereka tetap bersekolah. Negara? Entah di mana negara dalam cerita itu.

Ironinya menjadi lebih pahit ketika beberapa hari kemudian, negeri ini viral kembali. Bukan karena infrastruktur yang diperbaiki, bukan karena penghargaan untuk para guru. Tapi karena Candi Borobudur, mahakarya adiluhung warisan leluhur, dipasangi chairlift demi kunjungan presiden dan “menghormati tamu negara”. Tamu itu adalah Presiden Prancis, yang akan didampingi oleh Presiden Prabowo. Konon, demi efisiensi, agar tidak lelah dan menghabiskan banyak waktu menaiki ratusan anak tangga, disiapkanlah kursi angkat ke puncak Borobudur kita. Diberi nama manis: aksesibilitas.

Inilah negeri yang tampaknya telah sampai di kemajuan yang palsu. Di mana guru-guru dibiarkan memeluk maut di pelosok, sementara bangunan suci warisan Mahayana justru diperhinakan dengan dalih protokoler.

Pertanyaannya sederhana: bangsa seperti apakah ini?

Kita bicara tentang Borobudur, bukan sekadar susunan batu, tapi bangunan kosmologis. Ia dibangun bukan untuk ditaklukkan oleh efisiensi logistik kenegaraan, tapi untuk ditapaki dengan adab, kesadaran, dan penyerahan diri. Leluhur kita menata ratusan stupa bukan agar pengunjung menaikinya dengan lift, tapi agar setiap pijakan menjadi perjalanan spiritual. Dan kini, demi tamu negara, kita ringkus semua makna itu ke dalam alat mekanik yang menjinjing manusia ke puncaknya—bukan dengan kesadaran, tapi dengan kursi malas.

Ini bukan sekadar soal alat bantu. Ini tentang cara kita memperlakukan nilai. Ketika sebuah bangsa lebih sibuk menyiapkan kursi untuk pejabat dibanding memperbaiki jalan untuk guru, itu bukan semata kekeliruan. Itu pengkhianatan. Chairlift di Borobudur adalah simbol dari kehancuran makna: bahwa keagungan budaya, keluhuran sejarah, bisa ditaklukkan oleh kehormatan semu kepada kekuasaan.

 

Apa kabar guru-guru Merangin yang jembatannya bolong? Mereka tidak mendapatkan chairlift. Mereka bahkan tak dapat jembatan layak. Mereka hanya dapat instruksi diam dan permintaan maaf, karena video mereka viral. Karena dianggap mempermalukan government daerah.

Justru sebaliknya: government-lah yang telah mempermalukan bangsa ini.

Di era digital ini, banyak hal viral, tapi tidak semuanya menyentuh nurani. Dua berita ini menyentuh—karena menampar. Yang satu menunjukkan pengabdian manusia pada pendidikan meski harus melewati maut. Yang satu lagi menunjukkan pengkhianatan manusia modern terhadap nilai luhur hanya demi “melayani diplomasi”. Keduanya adalah kisah nyata. Tapi narasi besarnya adalah kita hidup pada peradaban yang telah kehilangan orientasi.

Bagaimana mungkin sebuah negara yang punya anggaran ribuan triliun, yang bisa membangun Ibu Kota baru dengan danau buatan, tidak mampu menyediakan jembatan layak untuk guru? Bagaimana mungkin rezim yang terus mempromosikan kebudayaan bisa mengamini pemasangan alat bantu naik di situs meditatif paling luhur? Apakah benar kita bangsa yang maju? Atau kita sekadar manusia yang berilusi modern, padahal tengah menuju zaman kegelapan dengan keangkuhan teknologi?

Masalah kita bukan teknologi. Masalah kita adalah kebodohan dalam memaknai teknologi. Kita menyembah efisiensi, tapi mengorbankan esensi. Kita menghormati tamu, tapi menginjak warisan. Kita memuja modernitas, tapi meninggalkan moralitas. Pemasangan Chairlift di Borobudur adalah produk dari mentalitas instan yang tak ingin bersusah-susah menaiki tangga kearifan. 

Borobudur tidak dibangun untuk dilalui secara instan. Sama seperti pendidikan, tidak bisa diperoleh tanpa perjuangan. Tapi perjuangan para guru di Merangin adalah bukti bahwa pendidikan di negeri ini masih ditopang oleh individu, bukan sistem. Bukan negara. Sebab negara lebih sibuk mencitrakan modernitas di atas batu tua daripada menyambung jembatan putus di pedalaman.

Maka kita patut bertanya: apa yang sesungguhnya sedang menaiki Borobudur? Apakah para tamu negara? Ataukah ego kekuasaan yang tuli terhadap adab?

Jembatan rusak tidak menjadi urusan negara, tapi menjadi beban guru. Candi bukan lagi tempat kontemplasi, tapi sekadar panggung diplomasi.

Negeri ini tidak miskin. Tapi ia keliru memilih mana yang disebut kemajuan. Ia lebih memilih lift daripada langkah. Lebih memilih protokol daripada penghormatan sejati. Dan lebih memilih membungkam guru daripada memperbaiki jembatan.

Ironi ini bukan fiksi. Ia nyata. Ia menyakitkan. Dan ia harus kita tulis, agar sejarah tahu: bahwa di zaman ini, ketika guru mempertaruhkan nyawa, para pemimpin malah dinaikkan ke puncak warisan budaya dengan kursi elektrik.

Mungkin kelak, chairlift itu akan dicatat dalam sejarah sebagai simbol kejatuhan akal sehat. Dan para guru Merangin, sebagai tanda mengkhawatirkannya masa depan pendidikan negeri ini.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Myudhaif

Media daring: surauindonesia.wordpress.com

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua