Pengusaha, Pelatih Dan Aktivis

Intelektual dan Iklim Akademik yang Semu

Rabu, 21 Mei 2025 22:38 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Akibat Tersembunyi dari Ketidakjujuran Akademik
Iklan

Pendidikan itu pengabdian, bukan rutinitas sekadar masuk ruang kelas, atau kegiatan KKN/KKM sebulanan.

***

Beberapa hari kemarin, tersiar sebuah tulisan lumayan panjang di media sosial berjudul Krisis Independensi Intelektual yang ditulis Zezen Zaenal Mutaqin, salah seorang pengajar di UIII. Tulisan tersebut banyak mendapatkan apresiasi dari warganet yang membacanya. Tulisan tersebut dianggap cocok dan tepat dengan sejumlah krisis yang dialami hampir semua Perguruan Tinggi di Indonesia. Hanya sayangnya, warganet agak kurang teliti karena tulisan tersebut hanya sebuah refleksi dengan studi kasus beberapa Perguruan Tinggi di Timur Tengah dan Barat yang menerapkan konsep wakaf dalam membangun lembaga pendidikan dan intelektual yang independen. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oleh karena itu, tulisan tersebut anti klimaks dan tidak menyentuh jantung persoalan yang dihadapi Perguruan Tinggi di Indonesia. Entah karena tulisan tersebut belum tuntas atau memang karena kesulitan mencari Perguruan Tinggi di Indonesia yang juga menerapkan konsep wakaf pendidikan. Karena anti klimaks, maka tulisan tersebut cenderung absurd. Sebab sekarang ini kita membutuhkan para intelektual atau akademisi yang mampu beraksi secara konkret, bukan sekadar yang pandai bernarasi dan berteori. 

Inilah yang saya sebut sebagai intelektual dan iklim akademik yang semu. Falsafah Tri Dharma Perguruan Tinggi yang selama ini dipedomani masih bermakna absurd dan tidak relevan dengan segala problem sosial di masyarakat. Mestinya Perguruan Tinggi fokus pada penguatan literasi, entrepreneurship dan pengabdian sosial. Sehingga iklim akademik yang dimaksud bukan sekadar diskusi mata kuliah di ruang-ruang kelas maupun di aula. Diskusi yang dibahas adalah diskusi kritis, sesuai dengan kebutuhan sosial di masyarakat dan mampu membangun mental mandiri terhadap mahasiswa dan dosen. 

Diskusi yang dimaksud juga bukan diskusi formalitas, diskusi omong kosong dan berhenti di ruangan. Para intelektual yang bertanggungjawab jawab menggelorakan diskusi dan iklim akademik, harus tahu masalah yang dibutuhkan masyarakat. Ini tidak lain agar perkuliahan, diskusi (seminar, workshop dan kegiatan serupanya), dan riset-riset yang biasa dilakukan betul-betul menjadi solusi atas problem sosial. 

Umpamanya ada para para mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah, bersama para dosen tentu akan bergelut aktivitas diskusi di ruang kelas, juga dilengkapi dengan berbagai diskusi/seminar ekonomi di luar ruang kelas. Lakukan pemetaan riset, terkait dengan sumber daya, relasi/jejaring dan problem sosial di masyarakat. Jadi selama ini aktivitas perkuliahan terjebak rutinitas dan formalitas. Tidak ada laboratorium konkretnya, misal ada unit usaha Koperasi Syariah, Mini Bank Syariah dan segala produk ekonomi syariah di Perguruan Tinggi tersebut. Segala produk ekonomi syariah tersebut bagaimana bisa bermanfaat untuk masyarakat kampus maupun masyarakat secara luas secara konkret dan praktikal. 

Selain ada penguatan literasi yang sungguh-sungguh, mahasiswa dan dosen fokus pada penerapan entrepreneurship yang nantinya bermanfaat untuk pengabdian sosial. Pengabdian sosial yang lazim disebut KKN atau KKM yang selama ini ada pun, masih terjebak formalitas. Sangat aneh sekali, salah satu ruh pendidikan Perguruan Tinggi yakni pengabdian sosial hanya diberi waktu satu bulan, padahal mahasiswa berstudi di kampus tidak kurang dari 4 tahun.

Pendidikan itu pengabdian, bukan rutinitas sekadar masuk ruang kelas, atau kegiatan KKN/KKM sebulanan. Pendidikan juga bukan pembuatan tugas makalah mahasiswa dan riset formalitas dosen. Pendidikan adalah proses literasi, di mana iklim intelektual dapat dibangun secara serius secara terus-menerus. Dosen dan mahasiswa yang terus beradu gagasan melalui tulisan di media kampus, koran, dan buku. Tanpa penguatan literasi seperti itu, Perguruan Tinggi hanya akan menghasilkan para mahasiswa dan dosen yang buta literasi dan maraknya plagiasi. 

Terlebih soal independen intelektual, mau berharap seperti apa. Perguruan Tinggi Islam di mana saya belajar, demikian di banyak Perguruan Tinggi yang lain sangat awam dengan konsep wakaf. Perguruan Tinggi Islam dan umum kita hanya berlomba menaikkan biaya kuliah, sampai sering menimbulkan demostrasi dari para mahasiswanya. Selain rebutan jabatan, praktik korupsi, kasus-kasus pelecehan, dan masih banyak lagi. Sekali lagi, inilah realitas intelektual dan iklim akademik yang semu yang telah menjadi penyakit kronis bagi para mahasiswa dan dosen. 

Wallahu a'lam 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mansyur Ash-Shafah

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua