Gowes Menyusuri Flores: Secercah Harapan dari Seminari Pius XII Kisol (#5)
Selasa, 6 Mei 2025 08:43 WIB
Di tengah perjalanan Rute-Bajawa kami menginap di sebuah seminari. Interaksi satu harmal yang menunbhkan harapan bagi kelangsungan bangsa ini.
Wajah puluhan anak-anak--remaja, persisnya--yang memenuhi aula di seminari Pius XII Kisol, Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, terlihat berhias keriangan sekaligus mengandung antusiasme yang tinggi. Tapi tamu yang duduk di meja di hadapan mereka, dua pensiunan, tak mengira antusiasme itu mendasari pertanyaan-pertanyaan tajam dan bertenaga; pertanyaan-pertanyaan yang untuk menjawabnya perlu berpikir keras dan berhati-hati.
Setting pertemuan pada malam itu adalah kedua tamu dari jauh, Yosep dan saya, akan berbagi tentang dunia kewartawanan dan terbuka untuk ditanya apa saja. Harapannya, sebagaimana dikemukakan Romo Ardus Tanis, yang menerima dan mendampingi kami beranjangsana (menumpang bermalam, persisnya) di seminari yang mulai dibangun pada 1955 tersebut, adalah "memberi motivasi agar mereka punya bekal pilihan yang cukup setelah lulus, mau melanjutkan ke mana".
Anak-anak itu adalah siswa kelas 1 dan 2 SMA. Tidak ada yang dari kelas 3 karena mereka baru saja kembali ke daerah asal masing-masing setelah menyelesaikan ujian akhir.
Salah satu panorama mengesankan di rute Ruteng-Bajawa, Flores. Foto: Istimewa
Kami sempat berbincang-bincang dengan beberapa orang dari mereka ketika baru saja tiba di seminari dalam perjalanan dari Ruteng menuju Bajawa. Obrolan di teras salah satu bangunan di kompleks seminari itu sama sekali tak mengisyaratkan minat dan perhatian mereka yang bukan saja pada subyek pelajaran di sekolah atau hal-hal yang berkaitan dengan tren di kalangan remaja; mereka rupanya juga dengan cermat dan kritis mengikuti isu-isu politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan mutakhir.
Dalam hal isu lingkungan, umpamanya, perhatian mereka berfokus pada perkembangan konflik yang timbul akibat proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Manggarai, Flores. "Mengapa proyek ini dipaksakan kalau jelas merusak lingkungan dan merampas tanah masyarakat adat?" kata siswa yang bertanya.
Akses anak-anak yang menjalani pendidikan sebagai calon pastor itu terhadap dunia luar sebenarnya terbatas. "Mereka hanya dibolehkan menggunakan handphone pada akhir pekan selama tiga jam," kata Romo Ardus. Tapi tampaknya mereka memanfaatkan waktu yang pendek ini untuk hal-hal yang lebih berguna ketimbang berupaya menghindari fomo (fear of missing out) untuk perkara-perkara remeh.
Proses pendidikan yang mereka lalui berperan di situ. kepada mereka ditanamkan kebiasaan membaca buku, berpendapat, bahkan berefleksi. Tak jauh dari aula, kami sempat membaca artikel-artikel berupa esai di majalah dinding yang dikelola siswa seminari. Topik dan penulisan esai-esai itu sangat mengesankan--beragam dan mengandung argumentasi dengan alur yang baik.
Persoalan-persoalan yang mereka ajukan demi memperoleh respons atau pendapat kami dalam pertemuan di aula jadinya bukanlah sesuatu yang mengherankan. Saya tak yakin dapat sepenuhnya memberikan jawaban yang memuaskan. Tapi saya senang bahwa anak-anak itu menunjukkan, betapapun klisenya, dan sekalipun kecil signifikansinya di tengah kerusakan tatanan sosial yang berlaku, masih ada harapan bagi kelangsungan eksistensi bangsa dan negara ini. Hal ini bukan optimisme buta; Ini harapan radikal.
Ketika keesokan harinya kami mulai mengayuh sepeda setelah berpamitan, menyusuri jalan masuk ke kompleks seminari yang memanjang menuju jalan raya Ruteng-Bajawa, saya merasa pengalaman sejenak yang kami dapatkan adalah bekal yang membantu menguatkan batin untuk, ya, menghadapi rute yang masih akan berat sampai trip kami selesai.

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
4 Pengikut

Yang Absen dari Opini Menteri Raja Juli
Kamis, 5 Juni 2025 23:34 WIB
Gowes Menyusuri Flores: Tersangkut Kopi Juria (#7)
Senin, 12 Mei 2025 14:11 WIBArtikel Terpopuler