Bahasa Otoritarian dalam Lisan Presiden Prabowo Subianto

Jumat, 2 Mei 2025 09:09 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pelantikan Prabowo sebagai Presiden RI
Iklan

Pada tanggal 6 April lalu, Presiden Prabowo Subianto mengundang tujuh jurnalis senior ke kediamannya di Hambalang.

Hal ini ditujukan untuk membuktikan bahwa penguasa membuka dirinya dari salah satu pilar demokrasi, yakni kebebasan pers. Selama beberapa jam yang dilalui dengan dialog terbuka tersebut, pertanyaan dilayangkan dan jawaban diberikan. Publik banyak yang menilai bahwa Prabowo menjawab dengan bahasa yang defensif. Dan itu memang bisa kita dengar dengan jelas, namun ada bahasa lain yang menggema dalam wawancara tersebut, yakni bahasa otoritarianisme.

Hal ini paling jelas terdengar saat Prabowo berbicara mengenai gelombang protes dan demonstrasi perihal pengesahan UU TNI. Dalam wawancara tersebut, Prabowo melemparkan beberapa tuduhan, seperti aksi yang “dibayar” hingga “antek asing”. Sejatinya, tuduhan ini tidak bisa dilihat sebagai pernyataan spontan yang kosong semata, namun ia adalah pola dan bahasa lama yang digunakan oleh para penguasa otoriter.

Kita harus melihat bahwa bahasa adalah instrumen kekuasaan juga, sama seperti halnya dengan senjata, hukum, dan ideologi. Dan dalam pola kekuasaan yang otoritarian, ia adalah senjata untuk membungkam. Hal ini sudah terjadi dan dipraktikan sepanjang sejarah kekuasaan, dimana para penguasa otoriter menggunakan pola bahasa yang secara jelas begitu seragam. Mereka akan menstimatisasi kritik, kemudian membingkai pembangkangan sebagai pengkhianatan serta mereduksi rakyat sebagai sebatas pion dalam narasi besar yang mereka ajukan, mengabaikan aspek agensi yang sesungguhnya sangat dominan ada pada rakyat. Dan pola ini bukanlah sekedar retorika belaka, namun merupakan cara untuk mempertahankan dominasi dan hegemoni, terlepas apakah ia dipakai dalam panggung politik modern yang murni militeristik atau yang sudah dibalut dengan demokrasi.

Kita bisa melihat contohnya pada Amerika Serikat di era Perang Vietnam. Demonstran yang mayoritasnya berasal dari kalangan mahasiswa, aktivis dan intelektual sipil turun ke jalan untuk menentang intervensi militer di Asia Tenggara (khususnya Vietnam), kabinet Lyndon Johnson dan Richard Nixon melabeli mereka dengan “Anti-Amerika” ataupun “Commie”. Noam Chomsky, salah satu intelektual yang terlibat dalam protes tersebut, mencatat dalam Manufacturing Consent bahwa istilah-istilah itu memang sengaja dipilih agar terjadi pergeseran diskursus publik. Yang tadinya membahas mengenai sisi moralitas perang, digeser menjadi persoalan loyalitas nasional. Melalui tuduhan dan pelabelan tersebut, tuntutan para demonstran yang sebenarnya hanya ingin dihentikannya perang atas dasar kesadaran moral mereka, dibuat seolah menjadi musuh negara, boneka Soviet, hingga sebagai ancaman terhadap “American way of life”. Disini kita bisa melihat bahwa Bahasa Otoritarianisme tidak memerlukan bukti, yang ia butuhkan hanyalah emosi.

Hal ini juga terjadi saat Brasil berada dalam cengkeraman rezim militer pada era 1964-1985. Skenario serupa juga dimainkan, dimana para disiden yang memprotes pola diktatoriat akan dicap “Anti-Brasil” serta “subversif”. Bahkan Jenderal Emilio Garrastazu Medici berkata bahwa kritik yang diarahkan pada Junta merupakan bentuk “pengkhianatan terhadap tanah air”. Hal ini ditujukan untuk menegaskan bahwa kekuasaannya adalah identik dengan tanah air. Gelombang demonstrasi karenanya dibubarkan atas dalih stabilitas keamanan dan ketertiban. Mereka yang melawan dilenyapkan dengan tuduhan bahwa mereka adalah agen asing, dan banyak di antara mereka yang tidak dibawa terlebih dahulu ke pengadilan. Bahasa ini efektif karena kekuasaan berhasil mengidentikkan dirinya dengan nasionalisme dan patriotisme.

Dalam The Great Terror, Robert Conquest juga turut mencatat bahwa Stalin juga menggunakan bahasa untuk membenarkan tindakan pembersihan massal. Tanpa mendatangkan bukti yang cukup, seseorang dapat dikirim ke Gulag atau langsung ke tiang eksekusi. Tuduhan berupa label “kontrarevolusioner” atau “kolaborator kapitalis” menjadi senjata untuk memberangus oposisi, bahkan yang datangnya dari dalam Partai Komunis sendiri. Hal ini karena bahasa kekuasaan otoritarian digunakan tidak sebatas untuk menutup dialog, namun juga untuk menghapus kemanusiaan lawan-lawan kekuasaan (dengan kata lain, dehumanisasi).

Rezim Partai Nasional di Afrika Selatan era apartheid juga memberikan pada kita variasi lainnya dari bahasa kekuasaan otoritarian ini. Ia melabeli pejuang dan aktivis anti-apartheid seperti mendiang Nelson Mandela sebagai “teroris”, “pengacau”, hingga “agen komunis”. Pemerintahan PW Bortha kerap menyebut kritik internasional terhadap politik apartheid di negaranya sebagai “campur tangan asing”. Varian yang semacam ini telah menjadikan perlawanan yang datang dari dalam sebagai sebuah bentuk ancaman eksternal. Sehingga, di dalam negerinya, penindasan yang demikian brutal terhadap para disiden anti-apartheid ini mendapatkan semacam pembenaran.

Lalu sekarang, apa benang merah dari contoh-contoh diatas? Yang pertama adalah, bahwa otoritarianisme selalu akan mencari lawan. Ia akan menciptakan musuh, entah itu “komunis”, “antek asing”, atau “pengkhianat”. Tujuannya adalah untuk menyatukan suara dukungan terhadapnya dan di saat yang bersamaan akan mengisolasi para penentangnya. Dan yang kedua adalah bahasa otoritarianisme akan menolak fakta demi narasi besar yang ingin mereka kembangkan. Karena itulah tuduhan seperti “disusupi” atau “dibayar” kerap kali disampaikan tanpa adanya disertai bukti. Karena memang tujuannya bukanlah untuk membuktikan tuduhan ini, namun untuk mengisolasi dan mengintimidasi lawan-lawan kekuasaan.

Dan yang terakhir adalah untuk memonopoli kebenaran. Penguasa otoriter akan mengklaim sebagai satu-satunya penutur yang terlegitimasi. Ia berbicara atas dasar stabilitas seakan bukan ia yang mengganggu stabilitas. Ia akan berbicara atas dasar patriotisme, untuk  memberi sinyal bahwa lawannya adalah pihak yang tidak patriotik. Ia juga bicara atas nama kemajuan, seakan mereka yang melawan adalah para penghambat.

Chomsky menyebut tindakan ini sebagai “pembingkaian” atau framing. Penguasa mengemas realitas dalam bahasa dan kata yang berpihak pada kelanggengan dominasi mereka. Saat demonstran dicap bayaran, maka pertanyaan “apa yang mereka tuntut” akan serta merta bergeser pada pertanyaan “siapa yang membayar mereka? Apa tujuan pihak yang membayar mereka?” Begitu juga ketika suara-suara penentangan disebut sebagai antek asing, maka diskursus yang tadinya membahas mengenai kebijakan akan bergeser kepada diskursus yang sifatnya berupa paranoia dan konspiratif.

Dan bahasa maupun pola ini tidaklah mati bersama keruntuhan rezim otoriter dari masa ke masa. Ia terus muncul bahkan negara yang melabeli dirinya sebagai negara demokrasi, bahkan dari kepala negara yang menyebut dirinya sebagai seorang demokrat. Penguasa tidak harus selalu mengandalkan bedil dan meriam tank. Penguasa bertahan dengan melakukan eksploitasi terhadap bahasa untuk menuduh tanpa bukti, untuk memberikan stigma terhadap tindakan perlawanan, serta untuk mengglorifikasi penindasan dengan kedok menjaga stabilitas dan keamanan dari aparatur represif negara.

Sehingga, saat Presiden Prabowo menyebut kata kunci “bayaran/dibayar”, “antek asing” dan yang serupa dengan itu, selama tidak adanya bukti konkret, maka ia telah mereplikasi naskah otoriter klasik. Kritik bukan lagi ekspresi ketidakpuasan rakyat, namun manipulasi pihak eksternal, persis sebagaimana yang dilakukan oleh para penguasa otoriter dari masa ke masa.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Bambang Putra Ermansyah

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua