Kesadaran, Bukan Sekadar Kecerdasan
Jumat, 11 April 2025 23:30 WIB
Ferry Irwandi, seorang influencer dan kreator konten yang memiliki kesadaran kritis, mengusung gagasan yang patut mendapat dukungan.
Ia bermimpi untuk membuka akses pendidikan yang terjangkau dan gratis. Tahap awalnya adalah menyediakan konten digital yang diisi oleh para ahli, sementara gagasan lanjutan sekaligus tujuan akhirnya adalah mendirikan universitas dengan biaya murah. Singkatnya, cita-cita utama yang ia sampaikan kepada publik adalah agar banyak orang dapat belajar tanpa perlu khawatir keuangan mereka terganggu. Sebuah ide yang cemerlang, brilian, dan layak didukung. Namun, apakah hal itu cukup sampai di situ saja?
Mari kita coba tinjau realitas tempat kita hidup. Perhatikan orang-orang yang saat ini menduduki jabatan publik, baik di ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dari tingkat pusat hingga provinsi dan daerah. Amati bagaimana mereka merumuskan kebijakan yang tidak masuk akal tanpa mempedulikan keinginan serta kebutuhan rakyat. Mereka yang tunduk pada kepentingan oligarki, atau bahkan menjadi bagian dari oligarki itu sendiri.
Banyak di antara mereka adalah individu berpendidikan tinggi. Mereka lulus dari universitas-universitas ternama, baik di dalam maupun luar negeri, dan sangat mungkin memiliki kecerdasan yang melebihi kita semua. Namun, meskipun demikian, mereka memilih menjadi alat kekuasaan. Mereka menjadi instrumen dan pendukung penindasan. Oleh karena itu, sebenarnya masalahnya bukan hanya soal kecerdasan, melainkan kesadaran.
Saya mendukung cita-cita Ferry Irwandi untuk mengubah Indonesia melalui akses pendidikan. Namun, untuk benar-benar membawa perubahan menuju arah yang lebih baik—karena, sejujurnya, tidak semua perubahan bersifat positif—kita memerlukan lebih dari sekadar menciptakan rakyat yang pintar. Kita membutuhkan pendidikan yang tidak hanya mengasah intelektual, tetapi juga mempertajam kesadaran sipil.
Pendidikan yang membuat rakyat menyadari bahwa mereka bukan sekadar penonton pasif dalam panggung demokrasi tanpa daya, melainkan aktor yang mampu menentukan arah cerita. Rakyat harus disadarkan bahwa mereka memiliki kekuatan. Rakyat bukan sekadar objek tak berdaya yang hanya menjadi "pihak terdampak." Pendidikan yang harus diwujudkan adalah pendidikan yang memungkinkan rakyat membedakan mana kebijakan yang benar-benar ditujukan untuk kesejahteraan mereka dan mana yang hanya tipu muslihat untuk menguntungkan segelintir orang atau kelompok.
Model pendidikan semacam ini dapat kita rujuk dari gagasan Paulo Freire. Dalam bukunya, Pedagogy of the Oppresed, Freire menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu dari guru ke murid, melainkan harus bersifat membebaskan dan memiliki tujuan pembebasan. Pendidikan seharusnya memberdayakan individu untuk memahami struktur sosial yang menindas mereka serta memberikan alat untuk melawan ketidakadilan tersebut.
Jika pendidikan hanya berorientasi pada menciptakan orang pintar yang tetap patuh pada sistem yang tidak adil, maka itu disebut Freire sebagai "pendidikan gaya bank"—murid hanya dipandang sebagai wadah kosong yang diisi dengan fakta-fakta tanpa pernah diajak berpikir kritis dan struktural.
Orang yang telah menginternalisasi pendidikan gaya bank akan memandang kemiskinan sebagai masalah kemalasan atau kurangnya kesempatan semata. Sementara itu, mereka yang mampu melihat pengaruh struktur terhadap individu tidak akan berpikir sesederhana itu. Kemiskinan bukan hanya soal kemalasan atau kerajinan, juga bukan hanya soal kesempatan. Kemiskinan erat kaitannya dengan aturan, kebijakan, hingga desain besar yang dibuat oleh segelintir elit untuk mempertahankan status quo mereka.
Seharusnya, kita telah menyadari bahaya jika pendidikan hanya berfokus pada mencetak individu pintar tanpa kesadaran sipil dan solidaritas sosial. Orang yang cerdas, tetapi tidak memiliki kesadaran sipil justru dapat menjadi perpanjangan tangan sistem yang menindas. Mereka mungkin memahami cara membebaskan diri dari tekanan finansial, tetapi tidak peduli pada buruh yang upahnya tidak cukup untuk hidup layak. Mereka bersikap acuh ketika karyawati mereka sedang hamil atau baru melahirkan. Mereka mampu merancang kebijakan ekonomi yang canggih, berbicara tentang kemajuan dan keberlanjutan, tetapi tetap mengabaikan dampaknya terhadap kelas pekerja dan masyarakat miskin kota.
Tanpa kesadaran sipil, pendidikan justru dapat memperkuat ketimpangan sosial. Mobilitas sosial yang diharapkan tidak sejalan dengan kesadaran keadilan sosial. Orang-orang yang memperoleh akses pendidikan tinggi mungkin berhasil naik kelas sosial, tetapi tidak memiliki empati maupun tanggung jawab terhadap masyarakat. Mereka berubah menjadi raja kecil yang baru, hanya menggantikan elit lama dengan generasi yang lebih muda.
Pendidikan harus lebih dari sekadar mencetak manusia pintar. Pendidikan harus mampu menanamkan nilai-nilai solidaritas, kesadaran akan ketimpangan, dan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Tanpa itu, kita hanya melahirkan generasi yang tahu cara mengelola sistem, tetapi tidak peduli bagaimana sistem tersebut menghancurkan kehidupan dan harapan banyak orang.
Entah bagaimana model pendidikan yang ada dalam benak Ferry Irwandi, tetapi dengan gagasannya untuk membuka akses luas terhadap ilmu pengetahuan, ia jelas ingin menciptakan masyarakat yang berpengetahuan. Namun, rakyat berhak atas lebih dari sekadar pengetahuan; rakyat juga berhak memiliki kesadaran akan realitas di sekitarnya. Untuk benar-benar mencapai perubahan, kita tidak cukup hanya menyediakan pendidikan murah dan berkualitas. Kita harus memastikan bahwa pendidikan tersebut membangun kesadaran, memberdayakan, dan mendorong individu untuk mempertanyakan status quo.
Jadi, jika cita-cita Ferry—dan kita semua—adalah menciptakan masyarakat yang lebih maju, maka pendidikan harus melampaui sekadar mengajarkan integral atau menghafal teori ekonomi. Tidak boleh ada lagi teknokrat yang mengabaikan hak-hak masyarakat miskin kota atau masyarakat adat, misalnya. Pendidikan harus membuat rakyat memahami apa itu hak sipil, apa batasan kekuasaan negara, dan yang terpenting: kapan mereka harus marah dan turun ke jalan.
Untuk mencapai perubahan sistemik yang diimpikan, Indonesia benar-benar membutuhkan individu yang tidak hanya pintar, tetapi juga tidak egosentris atau tunduk pada sistem yang menindas. Kita tidak kekurangan orang yang tahu cara menghitung pajak, tetapi tetap diam ketika negara memeras mereka tanpa sedikit pun protes.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Bahasa Otoritarian dalam Lisan Presiden Prabowo Subianto
Jumat, 2 Mei 2025 09:09 WIB
Kesadaran, Bukan Sekadar Kecerdasan
Jumat, 11 April 2025 23:30 WIBArtikel Terpopuler