Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Puisi, Manifestasi dan Integritas Ide Feminisme

Selasa, 22 April 2025 09:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pemikiran Dan Wacana Feminisme
Iklan

Puisi "Ibu di Atas Debu" karya W.S. Rendra merupakan salah satu manifestasi paling kuat dari spiritualitas feminisme dalam sastra Indonesia

 

Puisi WS Rendra IBU DI ATAS DEBU

 

IBU DI ATAS DEBU
Karya: WS Rendra

Perempuan tua yang termangu
teronggok di tanah berdebu.
Wajahnya bagai sepatu serdadu.
Ibu! Ibu!
Kenapa kamu duduk di situ?
Kenapa kamu termangu?
Apakah yang kamu tunggu?

Jakarta menjadi lautan api.
Mayat menjadi arang.
Mayat hanyut di kali.
Apakah kamu tak tahu
di mana kini putramu?

Perempuann tua yang termangu
sendiri sepi mengarungi waktu
kenapa kamu duduk di situ?
Ibu! Ibu!
Di mana rumahmu?
Di mana rumahmu?
Di mana rumah Hukum?
Di mana rumah Daulat Rakyat?
Di mana gardu jaga tentara
yang mau melindungi rakyat tergusur?
Di mana pos polisi
yang mau membela para petani
dari pemerasan pajabat desa

  
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibu! Ibu!
Kamu yang duduk termangu
terapung bagai tempurung di samudra waktu
berapa lama sudah kamu duduk di situ?
Berapa hari? Berapa minggu? Berapa bulan?
Berapa puluh tahun
kamu termangu di atas debu?
Apakah yang kamu harapkan?
Apakah yang kamu nantikan?
Apakah harapan pensiun guru di desa?
Apakah harapan tunjangan tentara
yang kehilangan satu kakinya?
Siapa yang mencuri laba dari rotan di hutan?
Siapa yang menjarah kekayaan lautan?

Ibu! Ibu!
Dari mana asalmu?
Apakah kamu dari Ambon?
Dari Aceh? Dari Kalimantan?
Dari Timor Timur? Dari Irian?
Nusantara! Nusantara!
Untaian zambrud tenggelam di lumpur!
Pengantin yang koyak dandanannya
dicemarkan tangan asing
tergolek di kebun kelapa kaya raya.

Indonesia! Indonesia!
Kamu lihatkah itu ibu kita?
Duduk di situ. Teronggok di atas debu.
Tak jelas menatap apa.
Mata kosong tetapi mengandung tuntutan.
Terbatuk-batuk.
Suara batuk.

Seperti ketukan lemah di pintu.
Tapi mulutnya terus membisu.

Indonesia! Indonesia!
Dengarlah suara batuk itu.
Suara batuk ibu itu.
Terbatuk-batuk.
Suara batuk.
Dari sampah sejarah
yang hanyut di kali.

5 Juni 1998
Pesawat Mandala
Jakarta – Ujung Pandang
WS Rendra

-----------------------------------------------------------------------------------------

Puisi Ibu di Atas Debu karya W.S. Rendra merupakan salah satu manifestasi paling kuat dari spiritualitas feminisme dalam sastra Indonesia modern. Ditulis pada 5 Juni 1998, tidak lama setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya rezim Orde Baru, puisi ini menggunakan figur "ibu" sebagai metafora yang melampaui sekadar representasi gender. Sosok ibu dalam puisi Rendra menjadi lambang spiritual dari kondisi bangsa Indonesia yang terpuruk, tertindas, dan terabaikan oleh kekuasaan.

Spiritualitas feminisme dalam puisi Rendra tidak hadir dalam bentuk perjuangan eksplisit untuk kesetaraan gender, melainkan melalui penggunaan simbol feminin sebagai kekuatan moral dan spiritual yang menuntut pertanggungjawaban. "Perempuan tua yang termangu/teronggok di tanah berdebu" menjadi simbolisasi dari kaum marjinal yang suaranya dibungkam, namun kehadirannya tetap menjadi "tuntutan" meski dalam kebisuan. Sebagaimana dikemukakan Hatley (2002) dalam kajiannya tentang perempuan dalam sastra Indonesia, Rendra menggunakan figur perempuan sebagai simbol perlawanan pasif yang justru sangat kuat dampaknya.

Integritas ide feminisme dalam puisi ini terletak pada bagaimana Rendra mengaitkan penderitaan "ibu" dengan ketidakadilan struktural dan kekerasan sistemik. Perempuan tua yang "duduk di atas debu" bukanlah korban dari ketertindasan gender semata, melainkan korban dari ketidakadilan multi-dimensional yang mencakup ketimpangan kelas, eksploitasi sumber daya alam, dan pengabaian terhadap kesejahteraan rakyat. Pertanyaan "Di mana rumah Hukum?/Di mana rumah Daulat Rakyat?" menunjukkan bagaimana Rendra mengintegrasikan isu feminisme dengan kritik sosial-politik yang lebih luas.

Puisi ini juga menampilkan aspek penting dalam feminisme: representasi perempuan dalam ruang publik versus domestik. Sosok ibu yang hadir di ruang terbuka – "di atas debu" – membalikkan ekspektasi tradisional tentang perempuan yang identik dengan ruang domestik. Sebagaimana ditekankan oleh Hellwig (2007) dalam analisisnya tentang perempuan dalam sastra Indonesia, pemindahan sosok ibu ke ruang publik dalam keadaan termangu dan terabaikan merupakan kritik terhadap marginalisasi perempuan dari diskursus politik nasional.

Spiritualitas dalam puisi ini juga hadir melalui cara Rendra menempatkan "ibu" sebagai saksi sejarah yang abadi. Pertanyaan "berapa puluh tahun/kamu termangu di atas debu?" menegaskan dimensi waktu yang melampaui peristiwa temporal. Ibu menjadi figur transendental yang menyaksikan berbagai babak sejarah bangsa, dari "Jakarta menjadi lautan api" hingga "mayat hanyut di kali" – sebuah referensi yang menghubungkan penderitaan masa kolonial hingga krisis 1998. Seperti dikemukakan oleh Teeuw (1996), Rendra secara konsisten menggunakan simbol feminin sebagai saksi spiritual terhadap kekerasan sejarah.

Yang menarik adalah bagaimana Rendra menjadikan sosok ibu sebagai representasi dari Nusantara itu sendiri – "Indonesia! Indonesia!/Kamu lihatkah itu ibu kita?" Dalam tradisi feminisme spiritual yang dikemukakan oleh Spivak (1988), perempuan sering menjadi metafora tanah air atau bangsa yang terjajah. Rendra mengadopsi pandangan ini dengan menyebut Indonesia sebagai "Pengantin yang koyak dandanannya/dicemarkan tangan asing/tergolek di kebun kelapa kaya raya" – sebuah metafora yang menggabungkan eksploitasi gender dan eksploitasi kolonial.

"Suara batuk" ibu yang "seperti ketukan lemah di pintu" menjadi manifestasi dari resistensi feminin yang tidak menggunakan kekerasan, namun tetap persisten dan menuntut. Batuk tersebut digambarkan sebagai "suara dari sampah sejarah yang hanyut di kali" – sebuah kritik terhadap bagaimana narasi-narasi perempuan sering diabaikan dalam historiografi resmi. Sebagaimana diargumentasikan oleh Arimbi (2009), feminisme dalam sastra Indonesia kontemporer sering hadir dalam bentuk "suara-suara kecil" yang justru memiliki kekuatan transformatif.

W.S. Rendra, meski seorang laki-laki, berhasil mengartikulasikan spiritualitas feminisme yang menggabungkan dimensi perlawanan politik, kritik sosial, dan transendensi spiritual. Puisi "Ibu di Atas Debu" menjadi bukti bagaimana ide-ide feminisme dapat terintegrasi secara organik dalam karya sastra yang mengkritisi keadaan sosial-politik suatu bangsa, membuktikan bahwa feminisme bukan sekadar gerakan untuk kesetaraan gender, tetapi juga merupakan perspektif yang kritis terhadap berbagai bentuk penindasan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua