Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Kartini: Terbitnya Pemikiran Feminisme dalam Terang Modernis

Selasa, 22 April 2025 08:54 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kartini
Iklan

Meski meninggal di usia muda, 25 tahun, pemikiran progresif Kartini tentang feminisme dalam konteks modernitas terus bergema.

***

Raden Ayu Kartini merupakan sosok pionir dalam perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang lahir pada 21 April 1879 dalam lingkungan keluarga bangsawan Jawa. Meski hidup dalam era yang membatasi perempuan, Kartini memiliki pemikiran yang jauh melampaui zamannya. Ia menentang praktik-praktik budaya yang mengekang kebebasan perempuan, termasuk poligami dan pernikahan paksa. Melalui korespondensinya dengan teman-teman di Belanda, Kartini mengungkapkan keresahannya terhadap kondisi perempuan Jawa saat itu yang terkungkung oleh adat dan tradisi patriarki.

Pemikiran Kartini tentang feminisme tidak terlepas dari pengaruh modernisme Barat yang ia peroleh melalui pendidikannya di ELS (Europese Lagere School). Meski hanya mendapatkan pendidikan formal hingga usia 12 tahun, Kartini terus mengembangkan wawasannya melalui membaca buku dan berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya di Eropa. Ia meyakini bahwa pendidikan merupakan kunci utama untuk membebaskan perempuan dari belenggu ketidakadilan gender. "Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia," katanya, menunjukkan keyakinan kuatnya bahwa pendidikan dapat mengubah paradigma masyarakat.

Perjuangan Kartini dalam mewujudkan kesetaraan gender diwujudkan melalui sekolah yang ia dirikan untuk anak-anak perempuan di Jepara, yang mengajarkan keterampilan dan pengetahuan modern tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya lokal. Visinya adalah menciptakan perempuan yang terdidik namun tetap memegang teguh identitas kulturalnya. Menurut Suwardi Endraswara dalam bukunya "Kartini: Sang Pencerah Kaum Perempuan" (2018), pemikiran Kartini tentang feminisme bersifat moderat, memadukan nilai-nilai modernitas dengan kearifan lokal.

Kontribusi terbesar Kartini terhadap perkembangan feminisme di Indonesia terangkum dalam kumpulan suratnya yang kemudian diterbitkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang oleh J.H. Abendanon pada 1911. Surat-surat tersebut menggambarkan pergulatan pemikiran Kartini dan visinya tentang kemajuan perempuan Indonesia. Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (2000) menyebut Kartini sebagai feminis pertama Indonesia yang menyadari pentingnya kemandirian ekonomi bagi perempuan, selain pendidikan dan hak-hak sosial.

Warisan pemikiran Kartini terus hidup hingga saat ini, menginspirasi generasi perempuan Indonesia untuk terus berjuang mewujudkan kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan. Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia (2004) menegaskan bahwa pemikiran feminisme Kartini menjadi fondasi bagi gerakan perempuan Indonesia modern. Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April bukan sekadar perayaan ritualistik, tetapi momentum untuk merefleksikan dan melanjutkan perjuangan emansipasi perempuan yang telah dirintis oleh Kartini lebih dari seabad yang lalu.

Meski meninggal di usia muda, 25 tahun, pemikiran progresif Kartini tentang feminisme dalam konteks modernitas terus bergema, mendorong lahirnya generasi perempuan Indonesia yang berdaya, berpendidikan, dan memiliki kesadaran akan hak-hak mereka. Dr. Gadis Arivia dalam "Feminisme: Sebuah Kata Hati" (2006) menyebut Kartini sebagai ibu feminisme Indonesia yang meletakkan dasar-dasar pemikiran tentang keadilan gender dalam konteks keindonesiaan, membuktikan bahwa feminisme bukan semata-mata produk pemikiran Barat, tetapi juga berakar dari kesadaran dan refleksi kritis perempuan Indonesia terhadap realitas sosial-budaya mereka.

 

Akar Pemikiran Feminis: Perlawanan Dari Hati Nurani - Kejujuran Atas Kepedulian Sesama

Etika Kepedulian: Etika Berperspektif Feminis | by ɴᴀʏᴀᴅʜᴇʏᴜ | Medium

Pemikiran feminis dalam konteks Indonesia tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan berakar pada kesadaran nurani yang tumbuh dari pengalaman langsung akan ketidakadilan. Perlawanan terhadap struktur patriarki tidak semata-mata didorong oleh ideologi politis, tetapi bersumber dari kejujuran dan kepedulian terhadap penderitaan sesama. Hal ini terlihat jelas dalam perjalanan tokoh-tokoh feminis Indonesia sejak era kolonial hingga kontemporer.

Nilai dan Etika Bisnis: Mengulas Peran Tata Kelola dalam Menyuarakan Kepedulian Sosial Halaman 1 - Kompasiana.com

R.A. Kartini, sebagai pelopor gerakan perempuan Indonesia, mendasarkan perjuangannya pada kejujuran menghadapi realitas ketimpangan yang ia saksikan dan alami langsung. Surat-suratnya kepada sahabat di Belanda merupakan curahan hati nurani yang merespons penderitaan perempuan Jawa pada zamannya. Pemikiran feminis Kartini tidak sekadar hasil dari pembacaan teori-teori Barat, tetapi berasal dari kepekaan nuraninya terhadap ketidakadilan di sekitarnya. Sebagaimana dicatat oleh Pramoedya Ananta Toer, Kartini bukan sekadar korban dari struktur patriarki, tetapi juga saksi yang berbicara dari kejujuran hati.

Tingkat Kejujuran: Indonesia di Jajaran Bawah, Unggul dari Malaysia

Perjuangan feminis pascakemerdekaan yang dimotori tokoh-tokoh seperti S.K. Trimurti dan Rasuna Said juga menunjukkan bahwa feminisme Indonesia digerakkan oleh solidaritas mendalam terhadap sesama. Mereka tidak memisahkan perjuangan kesetaraan gender dari perjuangan kemanusiaan secara luas. Kepedulian terhadap nasib kaum buruh, petani, dan kelompok marjinal lainnya menjadi bagian integral dari gerakan feminis mereka. Trimurti, misalnya, menggabungkan aktivisme feminis dengan perjuangan hak-hak buruh, menunjukkan kepedulian yang melampaui batas-batas identitas gender.

Dalam perkembangan kontemporer, feminisme Indonesia semakin jelas menampilkan dimensi kepedulian antarmanusia sebagai pondasinya. Gerakan-gerakan feminis grassroots yang muncul di berbagai daerah tidak hanya berfokus pada isu-isu abstrak tentang kesetaraan, tetapi langsung menangani masalah-masalah konkret seperti kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, dan diskriminasi di tempat kerja. Mereka bergerak dari kejujuran dalam mengakui penderitaan dan ketidakadilan yang nyata.

Ayu Utami: Pendobrak Tatanan Sosial Penulis Perempuan Indonesia - Semilir

Kepedulian terhadap sesama dalam gerakan feminis Indonesia juga terlihat dari perluasan fokus pada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi berlapis. Feminisme tidak lagi dipahami secara sempit sebagai perjuangan perempuan kelas menengah urban, tetapi mencakup pula kepedulian terhadap nasib perempuan pedesaan, buruh migran, masyarakat adat, dan kelompok minoritas lainnya. Ini menunjukkan bahwa akar pemikiran feminis Indonesia adalah kesadaran akan interkoneksi berbagai bentuk ketidakadilan.

Buku Ayu Utami - Larung, Saman, Siparasit Lajang, Maya, Buku & Alat Tulis, Buku di Carousell

Sastra Indonesia kontemporer, sebagaimana terlihat dalam karya-karya Ayu Utami, Dee Lestari, hingga Intan Paramaditha, juga merefleksikan dimensi nurani dan kepedulian dalam pemikiran feminis. Tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel mereka seringkali digambarkan berjuang bukan sekadar untuk kebebasan pribadi, tetapi juga untuk keadilan yang lebih luas. Kepedulian antarmanusia menjadi motor penggerak narasi feminis dalam karya-karya tersebut.

7 Novel Dewi 'Dee' Lestari yang Wajib Kamu Baca: Dari 'Supernova' Hingga 'Rapijali' - Konde.co

Kekhasan feminisme Indonesia terletak pada kemampuannya memadukan unsur spiritual dengan perjuangan sosial-politik. Berbeda dengan beberapa aliran feminisme Barat yang cenderung sekular, feminisme Indonesia seringkali menjadikan nilai-nilai spiritual sebagai landasan perjuangan. Kejujuran hati nurani yang mendorong kepedulian terhadap sesama tidak dipertentangkan dengan dimensi spiritualitas, melainkan justru diperkuat olehnya.

Yang menarik, gerakan feminis Indonesia kontemporer semakin menyadari pentingnya melibatkan laki-laki sebagai sekutu dalam perjuangan kesetaraan. Ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap sesama dalam gerakan feminis tidak membatasi diri pada solidaritas antar-perempuan, tetapi mencakup keprihatinan terhadap seluruh kemanusiaan. Perjuangan feminis dipahami sebagai upaya membebaskan semua gender dari belenggu patriarki yang pada akhirnya merugikan semua pihak.

 

Dalam lanskap global, feminisme Indonesia dengan akarnya pada kejujuran nurani dan kepedulian sesama menawarkan perspektif yang memperkaya wacana feminisme internasional. Ia menunjukkan bahwa perjuangan kesetaraan gender dapat sekaligus menjadi perjuangan untuk keadilan sosial yang lebih luas, dengan fondasi spiritual yang kokoh. Pemikiran feminis yang berakar pada hati nurani ini memiliki potensi transformatif yang mendalam, tidak hanya mengubah struktur sosial tetapi juga menyentuh dimensi kemanusiaan yang paling inti.

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua