Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
RUU TNI: Di Balik Narasi Penguatan dan Dilema Pergeseran Fungsi
Selasa, 18 Maret 2025 09:32 WIB
RUU TNI membuka ruang diskusi fungsi pertahanan dengan fungsi sipil yang juga memiliki peran dalam penegakan hukum.
***
Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang tengah dibahas menimbulkan berbagai pertanyaan krusial tentang arah kebijakan pertahanan Indonesia. Esensi yang belum terpahami secara utuh adalah tujuan fundamental di balik revisi undang-undang ini. Apakah revisi ini benar-benar dimaksudkan untuk menyederhanakan peranan pertahanan dalam konteks bernegara, atau justru berpotensi menciptakan kompleksitas baru dalam hubungan sipil-militer?
Jika dicermati lebih dalam, RUU TNI membuka ruang diskusi tentang posisi dan interaksi antara fungsi pertahanan dengan fungsi sipil yang juga memiliki peran dalam penegakan hukum. Kekhawatiran yang muncul adalah potensi tumpang tindih kewenangan yang dapat mengganggu ekosistem penegakan hukum yang sudah terbangun. Ketika batas-batas kewenangan tidak digariskan dengan jelas, maka akan sangat mungkin terjadi konflik kelembagaan yang kontraproduktif bagi sistem bernegara.
Pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah: apakah RUU ini merupakan bentuk tawar-menawar dalam menumpukan pijakan pada terminologi institusi di wilayah yang strategis? Jika benar demikian, maka perlu dikaji secara mendalam apakah proses tawar-menawar tersebut telah mempertimbangkan kepentingan publik sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, atau hanya sebatas pada kepentingan elite dan institusional semata.
Efektivitas kebijakan semestinya diukur dari seberapa besar manfaat yang diberikan kepada masyarakat luas. Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah: efektivitas kebijakan ini sebenarnya diperuntukkan bagi siapa? Kepentingan siapa yang terwakili dalam perubahan regulasi ini? Apakah publik secara umum, atau justru kepentingan sektoral dari institusi TNI sendiri?
Warisan (legacy) dari reformasi 1998 telah menempatkan TNI pada posisi profesional sebagai alat pertahanan negara dengan fungsi yang jelas dan terpisah dari ranah politik dan sipil. Pertanyaannya adalah, apakah perluasan peran TNI melalui RUU ini justru berpotensi menggerus capaian reformasi tersebut? Selain itu, perlu dipertanyakan juga apakah perluasan peran ini didasari pada pemahaman bahwa sebagian besar komponen bangsa adalah pertahanan dalam arti formal kelembagaan seperti TNI.
Kekhawatiran lain yang muncul adalah apakah RUU ini merupakan respons atas kondisi "tentara yang tidak punya kerjaan karena perang telah usai" sehingga mencari perluasan peran untuk "tambahan uang saku"? Jika benar demikian, maka pendekatan ini sangat problematis karena mengabaikan esensi dari eksistensi TNI sebagai komponen pertahanan yang profesional dan berorientasi pada ancaman eksternal.
Di tengah berbagai pertanyaan dan kekhawatiran tersebut, masyarakat sipil telah menunjukkan respons kritis, sebagaimana terlihat dari aksi pembacaan petisi penolakan RUU TNI di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Aksi ini merefleksikan kekhawatiran bahwa RUU tersebut berpotensi membuka kembali praktik-praktik dwifungsi yang telah ditinggalkan sejak era reformasi.
Pada akhirnya, diskusi tentang RUU TNI harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas tentang bagaimana Indonesia membangun sistem pertahanan yang efektif dan profesional tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Revisi UU TNI semestinya memperkuat—bukan menggerus—capaian reformasi dalam membangun hubungan sipil-militer yang sehat dan demokratis. Tanpa arah yang jelas dan partisipasi publik yang bermakna, RUU ini berisiko menciptakan ketidakseimbangan baru dalam arsitektur keamanan dan pertahanan Indonesia.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Artikel Terpopuler