Pemikiran Feminisme Dalam Konteks Transaksi Sosial

Kamis, 13 Maret 2025 12:17 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Simon De Beauvoir
Iklan

Pemahaman mengenai feminisme harus mempertimbangkan dimensi historis dan sosiologis yang membentuk realitas perempuan.

***

Feminisme sebagai sebuah gerakan dan filosofi telah mengalami evolusi panjang dalam upaya memahami dan menganalisis kondisi perempuan dalam masyarakat. Pemikiran bahwa "perempuan itu diciptakan" sebagaimana diungkapkan oleh Simone de Beauvoir dalam karyanya "The Second Sex" (1949) menjadi landasan penting dalam diskursus feminisme kontemporer. Beauvoir menyatakan bahwa "seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan," yang mengindikasikan bahwa identitas gender perempuan bukanlah semata-mata ditentukan oleh faktor biologis, melainkan dikonstruksi oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan politik yang melingkupinya.

Dalam konteks transaksi sosial, pemahaman mengenai feminisme harus mempertimbangkan dimensi historis dan sosiologis yang membentuk realitas perempuan. Kontelasi politik menjadi faktor determinan yang tidak dapat diabaikan dalam menganalisis posisi perempuan dalam struktur masyarakat. Berbagai sistem politik—mulai dari feodalisme, kapitalisme, hingga sosialisme—telah menciptakan kondisi-kondisi spesifik yang membentuk pengalaman perempuan secara berbeda-beda. Misalnya, dalam masyarakat kapitalis, subordinasi perempuan sering dikaitkan dengan pembagian kerja berbasis gender yang menempatkan perempuan pada posisi domestik dan tidak dibayar, sementara laki-laki mendominasi ranah publik dan produktif.

Inklusi konotatif dari feminisme yang dimaksudkan sebagai pencapaian keadilan bagi kaum perempuan mengharuskan adanya pemahaman mendalam tentang interseksionalitas. Konsep yang dikembangkan oleh Kimberlé Crenshaw ini menjelaskan bahwa penindasan terhadap perempuan tidak dapat dipahami hanya dari satu dimensi (gender), tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti ras, kelas, seksualitas, dan disabilitas. Dengan demikian, feminisme yang komprehensif harus mengakui dan mengakomodasi keberagaman pengalaman perempuan yang dibentuk oleh berbagai latar belakang sosial dan historis.

Domain estetika dalam feminisme menawarkan ruang eksplorasi tentang bagaimana representasi perempuan dalam seni dan budaya popular turut membentuk persepsi masyarakat tentang femininitas. Laura Mulvey, dalam esainya "Visual Pleasure and Narrative Cinema" (1975), mengkritisi bagaimana tatapan (gaze) maskulin dalam sinema telah menjadikan perempuan sebagai objek visual bagi kesenangan laki-laki. Pemikiran ini kemudian menginspirasi banyak kritik feminis terhadap berbagai bentuk produksi budaya yang melanggengkan stereotip dan objektifikasi perempuan.

Sementara itu, domain etika feminisme mempertanyakan prinsip-prinsip moral yang selama ini didominasi oleh perspektif maskulin. Carol Gilligan, melalui karyanya "In a Different Voice" (1982), menantang teori perkembangan moral Kohlberg yang ia anggap bias gender karena mengabaikan suara dan pengalaman perempuan. Gilligan menawarkan "etika kepedulian" (ethics of care) sebagai alternatif terhadap etika keadilan yang lebih menekankan pada hubungan, empati, dan konteks spesifik dalam pengambilan keputusan moral.

Pemikiran feminisme juga tidak terlepas dari analisis tentang bagaimana bahasa dan wacana turut membentuk realitas sosial perempuan. Julia Kristeva, Luce Irigaray, dan Hélène Cixous—sering disebut sebagai tokoh-tokoh feminisme Prancis pascamodern—mengeksplorasi bagaimana struktur bahasa yang patriarkal telah membatasi ekspresi dan pengalaman feminin. Mereka menawarkan konsep "écriture féminine" atau tulisan feminin sebagai strategi untuk mensubversi dominasi maskulin dalam bahasa dan wacana.

Dalam konteks kontemporer, feminisme telah berkembang menjadi gerakan yang semakin inklusif dan interseksional. Judith Butler, dengan teori performativitas gendernya, memperluas pemahaman tentang gender sebagai sesuatu yang tidak esensial atau tetap, melainkan dikonstruksi melalui tindakan dan praktik yang diulang-ulang. Pemikiran ini membuka ruang bagi pengakuan terhadap identitas gender non-biner dan menantang dikotomi gender tradisional.

Transaksi sosial dalam feminisme juga berkaitan dengan bagaimana relasi kuasa beroperasi dalam interaksi sehari-hari. Michel Foucault, meskipun bukan seorang feminis, memberikan kerangka teoretis yang berguna bagi feminisme untuk menganalisis bagaimana kuasa bekerja melalui wacana dan praktik sosial yang seringkali tidak disadari. Feminis seperti Sandra Lee Bartky telah mengadaptasi pemikiran Foucault untuk menganalisis bagaimana disiplin tubuh perempuan—melalui praktik diet, mode, dan kosmetik—merupakan manifestasi dari kuasa patriarki yang bekerja pada level mikro.

Perspektif global dan postkolonial dalam feminisme, sebagaimana dikembangkan oleh Chandra Talpade Mohanty, Gayatri Chakravorty Spivak, dan lainnya, mengkritisi tendensi universalisme dalam feminisme Barat yang seringkali mengabaikan kekhususan pengalaman perempuan di negara-negara berkembang. Mereka menekankan pentingnya memahami bagaimana kolonialisme, imperialisme, dan globalisasi telah membentuk kondisi perempuan di berbagai belahan dunia secara berbeda-beda.

Dengan demikian, pemikiran feminisme dalam konteks transaksi sosial mencakup analisis komprehensif tentang bagaimana berbagai faktor—politik, ekonomi, budaya, dan sosial—berinteraksi dalam membentuk kondisi dan pengalaman perempuan. Keadilan bagi kaum perempuan, sebagai tujuan utama feminisme, hanya dapat dicapai melalui pemahaman mendalam tentang kompleksitas dan keberagaman pengalaman perempuan yang dibentuk oleh konteks historis dan sosial spesifik di mana mereka hidup.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
A.W. Al-faiz

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua