Kekuasaan dan Nilai Kekuasaan

Kamis, 13 Maret 2025 20:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
The Capital
Iklan

Artikel ini mengeksplorasi teori nilai kekuasaan dengan meninjau tiga level manifestasinya.

Diskursus mengenai kekuasaan telah menjadi tema sentral dalam filsafat politik, sosiologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dari Machiavelli hingga Foucault, kekuasaan selalu menjadi fokus analisis yang memahami dinamika sosial, politik, dan budaya. Namun, perspektif yang sering kali terabaikan adalah hubungan antara kekuasaan dan nilai—bagaimana kekuasaan menciptakan, mentransformasi, dan kadang mendistorsi nilai-nilai dalam masyarakat.

Artikel ini mengeksplorasi teori nilai kekuasaan dengan meninjau tiga level manifestasinya: struktur prioritas (primer), mekanisme sekunder, dan bentuk parasitisme tersier dalam aspirasi sosial-politik.

I. Kekuasaan sebagai Pembentuk Nilai Primer

Kekuasaan, dalam manifestasi primernya, berfungsi sebagai pembentuk nilai yang menentukan apa yang dianggap penting dan tidak penting dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Nietzsche (1887) dalam "Genealogi Moral," nilai-nilai moral bukan entitas yang objektif dan abadi, melainkan produk dari relasi kekuasaan historis. Mereka yang memiliki kekuasaan primer memiliki kemampuan untuk menentukan "hierarki nilai" yang berlaku dalam masyarakat.

Bourdieu (1979) memperluas pemahaman ini melalui konsep "kekerasan simbolik," di mana kelas dominan memaksakan kategori persepsi dan apresiasi mereka sebagai kategori yang legitimate dan universal. Proses ini terjadi melalui institusi-institusi seperti pendidikan, agama, dan media massa yang mengkonsolidasikan dan menaturalisasi nilai-nilai tertentu sebagai "common sense."

Dalam konteks politik kontemporer, kekuasaan primer ini dapat diamati dalam kemampuan elit politik dan ekonomi untuk mendefinisikan apa yang dianggap sebagai "kepentingan nasional," "kemajuan," atau "keamanan." Sebagaimana diargumentasikan oleh Chomsky (2002), kemampuan untuk membentuk nilai-nilai primer ini adalah bentuk hegemoni yang jauh lebih efektif daripada dominasi melalui kekerasan fisik.

II. Mekanisme Sekunder: Reproduksi dan Transformasi Nilai

Jika kekuasaan primer berfokus pada penciptaan nilai, kekuasaan sekunder beroperasi melalui mekanisme reproduksi dan transformasi nilai. Ini adalah level di mana nilai-nilai yang telah dibentuk diterjemahkan ke dalam praktik sosial, regulasi, dan institusi.

Gramsci (1971) menjelaskan proses ini melalui konsep "hegemoni" yang beroperasi melalui konsensus dan bukan semata-mata koersi. Kekuasaan sekunder bekerja melalui "intelektual organik" dan institusi masyarakat sipil yang menterjemahkan nilai-nilai abstrak menjadi norma konkret yang diinternalisasi oleh masyarakat.

Foucault (1975) melengkapi analisis ini dengan menunjukkan bagaimana kekuasaan sekunder beroperasi melalui "teknologi disiplin" yang membentuk tubuh dan pikiran individu untuk berkonformitas dengan nilai-nilai dominan. Sekolah, rumah sakit, penjara, dan bahkan tata ruang urban menjadi instrumen kekuasaan sekunder yang "mendisiplinkan" subjek social.

Weber (1978) mengidentifikasi peran birokrasi sebagai mekanisme sekunder yang mengkonversi nilai-nilai abstrak menjadi prosedur administratif yang rasional dan impersonal. Dalam konteks ini, birokrasi adalah perangkat kekuasaan sekunder yang melegitimasi dan mengoperasionalisasi nilai-nilai yang dibentuk oleh kekuasaan primer.

III. Parasitisme Kekuasaan dalam Bentuk Tersier Aspirasi

Level ketiga—dan mungkin yang paling kompleks—adalah apa yang disebut sebagai "parasitisme kekuasaan." Ini adalah kondisi di mana aspirasi sosial-politik yang awalnya bertujuan untuk mentransformasi atau menantang nilai-nilai dominan justru dikooptasi dan diparasiti oleh kekuasaan yang ada.

Marcuse (1964) dalam "One-Dimensional Man" menggambarkan bagaimana sistem kapitalisme lanjut mampu mengasimilasi kritik dan perlawanan terhadapnya menjadi komoditas yang justru memperkuat sistem itu sendiri. Fenomena ini menciptakan "toleransi represif" di mana kritik dan perlawanan diperbolehkan sejauh tidak mengganggu operasi fundamental dari sistem yang dikritik.

Žižek (2009) memperluas analisis ini dengan menunjukkan bagaimana kritik kontemporer terhadap kapitalisme seringkali menjadi "ideologi dalam bentuk negasinya sendiri"—di mana kritik justru menjadi elemen integral dari reproduksi sistem. Contohnya adalah bagaimana gerakan anti-konsumerisme dapat dengan mudah dikomodifikasi menjadi bentuk konsumerisme baru yang "etis" atau "berkelanjutan."

Dalam konteks politik, parasitisme tersier ini dapat diamati dalam fenomena seperti "astroturfing"—di mana gerakan yang tampak akar rumput sebenarnya dibiayai dan direkayasa oleh elit politik atau ekonomi—atau dalam kasus di mana partai-partai politik progresif, setelah berkuasa, justru mengadopsi kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal yang tadinya mereka kritik (Mouffe, 2018).

IV. Dialektika Nilai dan Kekuasaan dalam Aspirasi Politik

Tinjauan terhadap tiga level manifestasi kekuasaan dalam pembentukan nilai mengungkapkan kompleksitas dialektika antara kekuasaan dan nilai. Namun, bagaimana dialektika ini beroperasi dalam konteks aspirasi politik?

Aspirasi politik, pada dasarnya, adalah ekspresi dari keinginan untuk mentransformasi atau mempertahankan nilai-nilai tertentu. Dalam proses ini, aspirasi politik dapat beroperasi pada ketiga level kekuasaan:

  • Aspirasi Primer: Usaha untuk mendefinisikan kembali nilai-nilai fundamental dalam masyarakat. Contohnya adalah gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat yang mengubah pemahaman dasar tentang kesetaraan dan keadilan.

  • Aspirasi Sekunder: Usaha untuk mereformasi institusi dan mekanisme yang mereproduksi nilai. Gerakan reformasi birokrasi atau reformasi pendidikan masuk dalam kategori ini.

  • Iklan
    Scroll Untuk Melanjutkan

    Aspirasi Tersier: Respons terhadap kooptasi dan parasitisme kekuasaan. Ini adalah "kritik terhadap kritik" yang berusaha mengembalikan aspirasi yang telah dikooptasi ke arah transformatifnya yang asli.

Castoriadis (1975) mengidentifikasi ketegangan ini dalam analisisnya tentang "institusi imajiner masyarakat," di mana aspirasi politik radikal selalu berisiko menjadi dogma baru yang justru mereproduksi struktur kekuasaan yang ingin ditransformasi.

V. Implikasi Praktis: Menuju Politik Nilai yang Refleksif

Pemahaman tentang kompleksitas hubungan antara kekuasaan dan nilai memiliki implikasi praktis bagi politik kontemporer. Alih-alih menerima dikotomi sederhana antara "kekuasaan" dan "resistensi," atau antara "dominasi" dan "emansipasi," politik nilai yang refleksif mengakui dialektika kompleks ini dan berusaha beroperasi di dalamnya dengan kesadaran kritis.

Beberapa elemen kunci dalam politik nilai yang refleksif:

  • Kesadaran Genealogis: Pemahaman bahwa nilai-nilai yang kita perjuangkan selalu memiliki sejarah dan berakar dalam relasi kekuasaan tertentu. Kesadaran ini tidak menyebabkan relativisme moral, tetapi justru memungkinkan kritik yang lebih tajam terhadap nilai-nilai dominan.

  • Refleksivitas Institusional: Pengakuan bahwa institusi yang dibentuk untuk memperjuangkan nilai-nilai tertentu dapat mengalami "drift" dan mulai beroperasi dengan logikanya sendiri yang dapat bertentangan dengan nilai-nilai awal. Ini memerlukan mekanisme untuk terus-menerus mengevaluasi dan mereformasi institusi tersebut.

  • Vigilansi terhadap Kooptasi: Kewaspadaan terhadap cara-cara di mana aspirasi transformatif dapat dikooptasi oleh kekuasaan dominan dan diubah menjadi instrumen reproduksi kekuasaan itu sendiri.

  • Politik Prefiguratif: Praktik yang berusaha mengembangkan relasi sosial dan nilai-nilai yang diinginkan dalam struktur dan organisasi gerakan itu sendiri, alih-alih menundanya hingga "setelah revolusi" (Graeber, 2002).

Rancière (1999) mengusulkan bahwa politik sejati selalu merupakan "ketidaksepakatan" (disagreement) yang menantang kategorisasi dan pembagian yang sudah ada. Ini adalah momen di mana mereka yang tidak dihitung dalam tatanan yang ada menuntut untuk dihitung, dan dengan demikian mentransformasi tatanan itu sendiri.

Tiga Level Manifestasi.

Teori nilai kekuasaan yang ditinjau melalui tiga level manifestasinya—primer, sekunder, dan parasitisme tersier—menawarkan kerangka analitis yang kaya untuk memahami dinamika kompleks antara kekuasaan dan nilai dalam masyarakat kontemporer. Dengan mengakui dan memahami kompleksitas ini, kita dapat mengembangkan praktik politik yang lebih refleksif dan efektif dalam mentransformasi relasi kekuasaan dan nilai.

Alih-alih utopia yang mengandaikan penghapusan kekuasaan secara total, atau pragmatisme yang menerima relasi kekuasaan yang ada sebagai tak terhindarkan, politik nilai yang refleksif berusaha untuk terus-menerus mendemokratisasi kekuasaan dan memperluas ruang bagi nilai-nilai yang berakar pada keadilan, kebebasan, dan solidaritas. Ini adalah proyek politik yang tidak pernah selesai, tetapi justru karena ketidakselesaian inilah ia tetap mempertahankan potensi emansipatorisnya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
A.W. Al-faiz

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua